Oleh: Dahlan Iskan
Data menunjukkan bahwa belum pernah ada kecelakaan pesawat yang disebabkan penggunaan handphone. Tapi, data juga menunjukkan bahwa penggunaan alat-alat elektronik di dalam pesawat memang berpengaruh pada sistem komunikasi dan navigasi.
Data lain menunjukkan, 30 persen handphone penumpang tidak dimatikan, meski umumnya diset silent. Itu berarti saat pesawat sedang meninggalkan landasan atau proses landing, suara maupun data SMS, e-mail, bluetooth, dan lain-lain masuk ke handphone tersebut. Dan tidak pernah terjadi apa-apa.
Data yang lain lagi menunjukkan bahwa persaingan pelayanan di penerbangan kian seru. Perusahaan penerbangan cenderung memenuhi keinginan penumpang, terutama dalam penggunaan handphone (HP). Beberapa perusahaan mulai menyediakan layanan wifi di udara. Kian lama kian banyak pesawat yang dilengkapi wifi. Mula-mula hanya untuk penerbangan jarak jauh. Antarbenua. Kini, di Amerika Serikat, dalam penerbangan dua jam pun, sudah mulai disediakan wifi.
Memang wifi tersebut baru di-on-kan saat pesawat sudah terbang tinggi dan dimatikan ketika pesawat menjelang landing. Tapi, tetap saja terjadi komunikasi saat pesawat berada di udara.
Cathay Pacific, menurut pengalaman saya, sejak dua tahun lalu sudah melonggarkan aturan itu. Saat pesawat baru mendarat, pramugari mengumumkan, “Anda sudah boleh menghidupkan handphone.” Berbeda dengan pengumuman lama yang menyebutkan, “Pesawat baru saja mendarat, tapi Anda baru boleh menghidupkan handphone saat sudah tiba di gedung terminal.”
Di Amerika, kini tidak ada pengumuman itu. Baik yang lama maupun yang baru. Semula saya kaget. Banyak sekali penumpang yang tetap sibuk dengan gadget mereka saat pesawat mau take off. Pramugari yang melihat itu juga tidak menegur. Memang tidak ada yang melakukan pembicaraan suara, tapi HP, iPod, maupun tablet terus difungsikan. Hanya laptop yang tidak boleh digunakan. Bukan soal elektroniknya, melainkan soal besarnya ukuran laptop yang kalau terjadi benturan bisa menyebabkan luka.
Demikian juga waktu pesawat hendak landing. Penumpang tetap sibuk dengan gadget masing-masing. Pramugari juga tidak menghiraukannya. Beberapa jendela yang masih tertutup juga tidak diminta dibuka. Hanya sandaran kursi yang harus ditegakkan.
Ternyata memang ada kebijakan baru yang secara resmi memperbolehkan itu. Setidak-tidaknya tidak melarang itu. Itu berlaku sejak Oktober 2013, sejak Federal Aviation Administration (FAA) mengeluarkan pengumuman bahwa penumpang diperbolehkan menggunakan alat-alat elektronik pribadi. Tapi, FAA tidak mau menegaskan apakah itu termasuk handphone.
FAA sengaja menghindari penyebutan handphone sekadar karena ada aturan yang dikeluarkan lembaga lain yang melarang penggunaan handphone. Kalau menyebutkannya, FAA akan dianggap memasuki wilayah lembaga lain. Yang dimaksud adalah instansi pemerintah Federal Communication Commission (FCC).
Tapi, begitu FAA mengeluarkan pengumuman itu, FCC juga segera menyusulinya dengan pengumuman baru. Memang pengumuman tersebut terasa mengambang, tapi semua pihak menafsirkannya sebagai boleh menggunakan handphone juga.
Inilah bunyi pengumuman itu. “Teknologi modern memang bisa memberikan layanan handphone dengan aman dan tangguh. Dan, ada waktunya nanti untuk merevisi aturan yang sudah kuno dan terlalu ketat itu.”
Aturan yang diakui kuno dan ketat itu ternyata memang dikeluarkan pada 1968. Itu pun, maksud utamanya adalah mengatur penggunaan frekuensi FM.
Tentu semua orang tahu bahwa setiap handphone menyediakan menu airplane mode. Maksudnya, meskipun lalu lintas komunikasi tetap terblokir, handphone tetap bisa digunakan untuk keperluan lain: main game, menulis naskah, menyiapkan teks SMS atau WA yang akan dikirim nanti, dan seterusnya.
Yang terbaru, sejak minggu lalu, perusahaan penerbangan di Amerika mengizinkan boarding dengan menggunakan handphone. Penumpang tidak perlu lagi memiliki boarding pass. Dengan demikian, tidak perlu check-in juga. Mesin-mesin check-in otomatis, yang membuat penumpang bisa check in sendiri, menjadi tidak relevan lagi.
Untuk masuk pesawat, penumpang tinggal menempelkan layar handphone-nya ke alat yang biasanya digunakan untuk mendeteksi barcode pada boarding pass. “Sejak minggu lalu, kami juga melayani boarding dengan menggunakan jam tangan,” ujar seorang petugas boarding Delta Air di Bandara Cleveland. Tentu jam tangan khusus yang kini mulai dipasarkan, yang juga berfungsi untuk handphone itu.
Perkembangan teknologi komunikasi memang seperti tak terbatas. Kini produsen alat-alat rumah tangga seperti AC, mesin cuci, microwave, rice cooker, kulkas, dan sebangsanya mulai khawatir. Produsen handphone yang lagi hot dari Tiongkok seperti Xiaomi bisa menggulung mereka.
Pabrik handphone itu juga akan memproduksi alat-alat rumah tangga yang didesain bisa terhubung dengan handphone. Konsumen akan membeli alat rumah tangga yang bisa dikendalikan dengan handphone tersebut. Jarak jauh.
Persaingan di perusahaan penerbangan memang tidak pernah berhenti. Tiga perusahaan penerbangan Amerika, American Airlines (terbesar di dunia), United, dan Delta, untuk kali pertama berteriak bersama Kamis pekan lalu: Tiga perusahaan penerbangan Timur Tengah tidak fair.
Emirates, Etihad, dan Qatar Airways mereka tuduh menerima subsidi pemerintah sampai 40 miliar dolar AS sejak 2004. Akibatnya, mereka sangat kompetitif. Emirates, misalnya, sekarang terbang langsung dari Dubai ke tujuh kota di Amerika. “Sejak Januari lalu saja naik 25 persen,” bunyi pernyataan mereka.
Rupanya bukan hanya Singapore Airlines yang terpukul oleh Emirates dkk itu. Tiga kali ke AS selama dua tahun terakhir, misalnya, saya memilih salah satu di antara tiga maskapai itu karena ingin merasakan pesawat terbesar dan terbaru A380. Tidak satu pun perusahaan penerbangan Amerika yang mengoperasikan pesawat itu.
Tapi, Emirates ternyata jeli. Ia menyerang balik: Sejak 2000, tiga perusahaan penerbangan Amerika itu menerima bantuan pemerintah AS sebesar 70 miliar dolar. Memang bentuknya bukan subsidi langsung. Tapi, bagi mereka, itu tidak ada bedanya. Begitulah raksasa-raksasa dunia bertempur. (*)