26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Istri Tak Segan Lagi Minta Pisah

Perceraian-Ilustrasi
Perceraian-Ilustrasi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kementerian Agama (Kemenag) mencemaskan tren peningkatan kasus cerai gugat di masyarakat. Tim dari Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kehidupan Keagamaan langsung diturunkan untuk menelusuri apa saja penyebabnya. Sejumlah rekomendasi dikeluarkan untuk melindungi keluarga dari perceraian.

Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag Muharam Marzuki mengatakan, mereka mengumpulkan data kasus perceraian di Badan Pengadilan Agama (Badila) Mahkamah Agung (MA) sejak 2010. “Trennya terus meningkat. Puncaknya ada di 2014,” katanya di Jakarta kemarin.

Selama 2014 kasus cerai gugat di seluruh Pengadilan Agama ada 268.381 kasus. Kemenag semakin cemas karena jumlah kasus cerai gugat itu jauh lebih banyak dibandingkan kasus cerai talak atau cerai biasa. Pada periode yang sama, jumlah cerai talak 113.850 kasus.

Muharam mengatakan penelitian angka cerai gugat ini diawali dengan hipotesa bahwa fenomena kesetaraan perempuan dengan laki-laki. Banyak perempuan yang sudah memiliki akses pekerjaan seperi laki-laki. Selain itu banyak perempuan yang memiliki penghasilan relatif lebih besar. “Ternyata setelah kita telusuri di lapangan, penyebabnya tidak hanya itu. Faktor keharmonisan menjadi penyebab yang dominan,” ujarnya.

Menurut Muharam, faktor keharmonisan yang berujung cerai gugat beragam sekali. Mulai dari hal-hal besar seperti suami berselingkuh atau tidak memberikan nafkah lahir dan batin kepada istri. Hingga ha-hal kecil atau sepele, juga banyak berujung cerai gugat.

Muharam mencontohkan persoalan kecil seperti ketidakcocokan menu makanan yang tersaji di rumah, bisa berujung cerai. Kemudian juga ada kasus gugat cerai yang dipicu SMS “mesra” dari suami kepada orang lain. SMS itu dicurigai dikirim untuk perempuan simpanan. “Gara-gara HP keluarga yang harusnya jadi surga, malah jadi neraka. Tidak ada saling menghargai, ribut terus,” paparnya.

Dilihat dari segi usia pernikahan, Muharam mengatakan paling rentan cerai gugat adalah 1 ” 6 bulan pertama. Kerentanan ini diperparah jika pasangan menikah di usia muda dan belum matang secara psikologi. “Pernikahan sudah mulai tidak dianggap sesuatu yang sakral. Ribut dikit istri menggugat cerai,” katanya.

Pada usia pernikahan setengah tahun hingga tiga tahun, menurut Muharam juga masih rentan terhadap kasus cerai gugat. Namun setelah melewati usia pernikahan lima tahun, potensi cerai gugat mulai menurun. Apalagi jika pada usia pernikahan lima tahun ini sudah dikaruniai satu atau dua orang anak.

Dari penelitian yang mewakili daerah di seluruh Indonesia ini, Muharam mengatakan ada sejumlah rekomendasi untuk Kemenag dan instansi lain. Diantaranya adalah memperkuat pelatihan pranikah atau kursus calon pengantin (suscatin). Dia berharap suscatin tidak digelar hanya seremoni saja dan dalam waktu singkat.

Perceraian-Ilustrasi
Perceraian-Ilustrasi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kementerian Agama (Kemenag) mencemaskan tren peningkatan kasus cerai gugat di masyarakat. Tim dari Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kehidupan Keagamaan langsung diturunkan untuk menelusuri apa saja penyebabnya. Sejumlah rekomendasi dikeluarkan untuk melindungi keluarga dari perceraian.

Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag Muharam Marzuki mengatakan, mereka mengumpulkan data kasus perceraian di Badan Pengadilan Agama (Badila) Mahkamah Agung (MA) sejak 2010. “Trennya terus meningkat. Puncaknya ada di 2014,” katanya di Jakarta kemarin.

Selama 2014 kasus cerai gugat di seluruh Pengadilan Agama ada 268.381 kasus. Kemenag semakin cemas karena jumlah kasus cerai gugat itu jauh lebih banyak dibandingkan kasus cerai talak atau cerai biasa. Pada periode yang sama, jumlah cerai talak 113.850 kasus.

Muharam mengatakan penelitian angka cerai gugat ini diawali dengan hipotesa bahwa fenomena kesetaraan perempuan dengan laki-laki. Banyak perempuan yang sudah memiliki akses pekerjaan seperi laki-laki. Selain itu banyak perempuan yang memiliki penghasilan relatif lebih besar. “Ternyata setelah kita telusuri di lapangan, penyebabnya tidak hanya itu. Faktor keharmonisan menjadi penyebab yang dominan,” ujarnya.

Menurut Muharam, faktor keharmonisan yang berujung cerai gugat beragam sekali. Mulai dari hal-hal besar seperti suami berselingkuh atau tidak memberikan nafkah lahir dan batin kepada istri. Hingga ha-hal kecil atau sepele, juga banyak berujung cerai gugat.

Muharam mencontohkan persoalan kecil seperti ketidakcocokan menu makanan yang tersaji di rumah, bisa berujung cerai. Kemudian juga ada kasus gugat cerai yang dipicu SMS “mesra” dari suami kepada orang lain. SMS itu dicurigai dikirim untuk perempuan simpanan. “Gara-gara HP keluarga yang harusnya jadi surga, malah jadi neraka. Tidak ada saling menghargai, ribut terus,” paparnya.

Dilihat dari segi usia pernikahan, Muharam mengatakan paling rentan cerai gugat adalah 1 ” 6 bulan pertama. Kerentanan ini diperparah jika pasangan menikah di usia muda dan belum matang secara psikologi. “Pernikahan sudah mulai tidak dianggap sesuatu yang sakral. Ribut dikit istri menggugat cerai,” katanya.

Pada usia pernikahan setengah tahun hingga tiga tahun, menurut Muharam juga masih rentan terhadap kasus cerai gugat. Namun setelah melewati usia pernikahan lima tahun, potensi cerai gugat mulai menurun. Apalagi jika pada usia pernikahan lima tahun ini sudah dikaruniai satu atau dua orang anak.

Dari penelitian yang mewakili daerah di seluruh Indonesia ini, Muharam mengatakan ada sejumlah rekomendasi untuk Kemenag dan instansi lain. Diantaranya adalah memperkuat pelatihan pranikah atau kursus calon pengantin (suscatin). Dia berharap suscatin tidak digelar hanya seremoni saja dan dalam waktu singkat.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/