Keluarga Anas Urbaningrum di Blitar ketika Badai Politik Menerpa
Badai politik yang menerpa Anas Urbaningrum tidak terlalu berpengaruh pada keluarganya di Blitar. Mereka tetap yakin Anas bersih dan semua yang terjadi merupakan ujian.
Abdul Aziz Wahyudi, Blitar
Suasana rumah di RT 2, RW 3, Dusun Sendung, Desa Ngaglik, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar, itu terlihat sepi. Di halaman rumah, seorang ibu sibuk mengorek-ngorek nasi yang dikeringkan di terpal warna biru. Tangannya masih terlihat kuat memegang kayu seukuran alu atau penumbuk padi. Di depan rumah itu juga berdiri Musala Darunnajah, tempat warga dusun biasa salat berjamaah.
“Nasi ini tadi malam sisa kenduri megengan (selamatan menyambut Ramadan, Red). Daripada dibuang sia-sia, saya keringkan jadi karak dan saya simpan,” kata perempuan berjilbab putih itu, lirih.
Dialah Sriati, ibunda Anas Urbaningrum, ketua umum DPP Partai Demokrat yang beberapa pekan terakhir menjadi sorotan karena nyanyian Nazaruddin yang menudingnya menerima fee proyek hingga miliaran rupiah dan main politik uang saat kongres Demokrat di Bandung akhir 2010. “Saya sudah dengar kabar itu. Sebagai orang yang mengandung dan ngemong dia dan paham dengan karakternya (Anas) tidak mungkin menerima uang seperti itu. Ada-ada saja,” ujarnya perempuan 65 tahun itu menanggapi berita tersebut.
Pantas Sriati tidak percaya dengan kabar menyakitkan itu. Sebab, menurut pandangannya, selama menapaki karir politik, anak kedua dari empat bersaudara tersebut tidak pernah neko-neko. Apalagi menerima uang.
Rumah Anas di Ngaglik terdiri atas dua bagian. Rumah di belakang atau yang berdempetan dengan Musala Darunnajah merupakan rumah neneknya, Sumilah, 90, yang kini masih terlihat segar. Rumah bergaya joglo itu jauh dari kesan mewah. Yang ada hanyalah kesan ndeso. Kursi reot masih teronggok di teras rumah, lantainya pun masih plester biasa. “Rumah itu ditinggali ibu saya sendirian. Tiap hari lebih banyak menghabiskan untuk salat bersama-sama,” kata Sriati.
Sementara, rumah bagian depan merupakan rumah keluarga Anas sendiri. Rumah itu kini ditinggali ibu dan adiknya, Kholis Fikri. Tidak ada yang istimewa pada rumah tersebut jika dibandingkan dengan rumah-rumah di kampung tersebut. Ukurannya sekitar 100 meter persegi. Kalaupun ada yang sedikit mencolok, itu adalah dindingnya. Sebagian dinding itu dilapisi keramik warna kuning hasil renovasi sekitar sepuluh tahun lalu. Debu tebal menempel di tembok keramik tersebut.
Perbedaan lain, di rumah tersebut nongkrong Toyota Kijang Innova keluaran tahun 2008 bernopol B 7411 WJ warna hitam. Lagi-lagi, terlihat debu tebal menempel pada kaca depan dan belakang. “Mobil itu yang nyetir ya Kholis. Jarang dipakai, wong tidak ke mana-kemana, lebih banyak naik motor,” jelas Sriati.
Anas Urbaningrum merupakan anak kedua dari empat bersaudara pasangan Sriati dan Habib Mughni (alm). Tiga saudara Anas semua laki-laki. Kakak Anas adalah Agus Nasirudin yang kini menjabat sekretaris desa Ngaglik. Kedua adik Anas adalah Anna Lutfi (wakil ketua DPW PAN Jatim dan wakil ketua komisi B DPRD Jawa Timur) serta Kholisul Fikri (PNS di sekretariat DPRD Kabupaten Blitar).
Ayah Anas, Habib Mughni, semasa hidup merupakan guru agama di MTs Al Kamal, Kunir, Kecamatan Wonodadi, Blitar. Pendidikan Anas semasa SD ditempuh di SDN Ngaglik hingga kelas V. Entah apa alasannya, ketika naik ke kelas VI, Anas pindah ke SDN Bendo I, Kecamatan Ponggok, yang jaraknya sekitar satu kilometer dari rumah. Untuk berangkat ke sekolah, dia berjalan kaki. Di SD tersebut, Anas sering didapuk sebagai pengibar bendera ketika upacara hari Senin.
Setamat SD, Anas melanjutkan pendidikannya ke MTs Al-Kamal, Desa Kunir, Kecamatan Wonodadi, kemudian melanjutkan ke SMAN Srengat, Blitar. Sejak SD, dia dikenal memiliki otak encer dan juara kelas. Namun, Sriati menganggap hal itu biasa saja. “Anaknya biasa saja, mungkin nurun bapaknya yang juga guru ilmu agama,” tuturnya.
Selama menempuh pendidikan hingga SMA, Anas merupakan anak “rumahan”. Sesudah bersekolah, langsung pulang. Namun, ada satu kegemarannya yang menurut ibunya tidak pernah dilupakan. Yakni, mencetak batu bata di belakang rumah bersama ayahnya. Batu bata tersebut digunakan untuk mendirikan masjid di kampungnya.
Saking asyiknya, Anas kadang malah dimarahi karena tangan dan kakinya berlepotan lumpur. Tak heran, ketika pulang kampung, kadang Anas menyempatkan diri melongok dan ikut nimbrung tetangga yang mata pencarian membuat batu-bata. Maklum, selama ini Dusun Sendung merupakan dusun penyuplai batu bata merah di Blitar. “Dulu kan tidak ilok (pantas, Red) anak muda keluar di malam hari. Lebih banyak di rumah belajar,” kata Sriati. Lantaran ayahnya guru agama, membaca Alquran merupakan santapan wajib.
Setelah tamat SMA, Anas meneruskan pendidikan di Universitas Airlangga Surabaya, fakultas ilmu sosial dan politik. Sejak saat itulah, karir politiknya dirintis. Dia menjadi ketua umum pengurus besar (PB) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), kemudian anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Kini, untuk memenuhi kebutuhan hidup, Sriati memilih mengandalkan hasil panen sawahnya daripada bergantung kepada anak-anak. Meskipun anak-anaknya sudah sukses, baik karir maupun pekerjaan. Sawah seluas sekitar 200 meter persegi merupakan harta yang sangat berharga bagi Sriati. “Hasil panennya sudah cukup untuk menghidupi saya dan adik-adik Anas. Syukur, kami tidak kekurangan,” kata Sriati yang aktif dalam kegiatan pengajian di kampungnya itu.
Sebenarnya, tiap bulan dirinya juga menerima uang pensiun suaminya. “Sudah bisa makan dan minum seadanya bagi kami alhamdulillah,” tambahnya lagi. Terkait kabar buruk yang menerpa Anas, Sriati menganggap hal biasa dan sudah menjadi risiko. Dia sadar, ketika menduduki posisi penting, anaknya pasti akan kerap menjadi sorotan.
Dia mencontohkan ketika Anas terpilih menjadi ketua umum PB HMI dan anggota KPU. Fitnah terus bertubi-tubi mendatangi anaknya. “Kami tidak kaget, dia itu sudah sering digitukan. Sama seperti saat kasus, siapa itu?, si Nazar ya” Saya lebih percaya anak saya. Dia tidak neko-neko,” katanya.
Hantaman dan gencarnya pemberitaan tentang Anas dianggap Sriati sebagai risiko atau cobaan. Dia mengibaratkan Anas sebagai layang-layang. Semakin tinggi mengudara, semakin kencang anginnya. Bila benangnya tidak kuat menahan angin, sudah pasti putus dan jatuh. Tetapi, dia yakin, Anas tidak seperti yang disangkakan.
“Kami ini wong ndeso (orang desa, Red), masak sampai nekat seperti itu. Saya yang mengandung dan membesarkan dia dan paham dengan karakternya. Dia tidak berbohong dan ingat asal-usulnya sebagai kaum cilik,” katanya lagi.
Sampai saat ini, lanjutnya, keluarga besarnya di Blitar sama sekali tak terpengaruh dengan isu-isu atau kabar yang beredar di panggung politik nasional. Kabar bahwa Anas menerima uang miliaran dianggap sebagai alat untuk mencemarkan nama baik putranya sebagai bocah Blitar yang hendak berbuat baik bagi negara dan bangsa.
Para tetangga pun tetap percaya dan menganggap Anas sebagai anak kampung yang baik. “Sudah menter (kebal, Red). Ya, mungkin ada yang iri anak yang dulunya pernah membuat batu bata merah kini menjadi orang penting di Partai Demokrat,” katanya.
Selama pulang, kata Sriati, Anas tidak pernah curhat tentang politik. “Ngomongnya cuma pingin dimasakin ibu sendiri. Terserah apa saja, katanya kangen dengan sayur-sayuran,” cerita Sriati.
Terakhir Sriati bertemu Anas ketika khitanan anaknya di Jakarta beberapa waktu lalu. Waktu itu, Anas pesan kepada keluarga di Blitar agar mendoakan dirinya tetap tabah dan sabar, istiqomah dan tawakal. Bahwa ada kabar miring yang saat ini ramai dibincangkan dianggap sebagai bumbu untuk sukses.
Menurut Sriati, terakhir Anas pulang ke Blitar ketika menghadiri pernikahan Kholis, satu bulan lalu. Saat itu, Anas menyempatkan diri berziarah ke makam ayahnya yang tidak jauh dari rumah. Rencananya, Anas akan pulang lagi pada Lebaran nanti bersama istrinya, Atya Laila, dan empat anaknya: Akmal Naseery, Aqeela Nawal Fatina, Najih Enayat, dan Aisira Najma Waleefa. “Alhamdulillah, hubungan dengan besan saya di Krapyak, Jogjakarta, juga serupa. Anggap ini adalah cobaan,” jelasnya.
Kakak kandung Anas yang juga sekretaris Desa Ngaglik, Agus Nasirudin, juga mengatakan hal serupa. Dia mengibaratkan posisi adiknya laksana pohon yang kini lagi tumbuh menjulang. Semakin tinggi dahan, semakin kencang anginnya. “Saya yang mewakili keluarga tetap percaya Anas. Dia tidak seperti yang disangka orang-orang, dia hemat bicara,” ujarnya.
Menurut dia, prinsip nerima ing pandum yang ditanamkan ayahnya hingga kini masih melekat. Anas juga tidak lupa daratan meski telah menjadi orang penting di negeri ini. Itu terbukti ketika pulang kampung, Anas masih menyempatkan diri untuk nimbrung dengan tetangga dan teman kampungnya. “Biarlah yang memfitnah itu diingatkan sama Tuhan. Kami ikhlas dan mudah-mudahan saja tetap diberi ketabahan,” kata Agus.
Setiap pulang kampung, ujar Agus, ada satu ciri khas adiknya, yakni tidak pernah bicara tentang politik. Agenda utamanya hanyalah pulang kampung sambang keluarga dan tetangga. “Dan tak lupa ziarah ke makam ayah,” katanya lagi. Hingga kini, keluarga belum berencana untuk berangkat lagi ke Jakarta. “Kami masih percaya bahwa dia baik-baik. Semoga,” harapnya. (c1/nw/jpnn)