30.6 C
Medan
Friday, May 10, 2024

Penuh Barang tapi Minim Pilihan untuk Ukuran Asia

Menemukan Keasyikan Masuk Toko Sepeda di Amerika Serikat

Lantai bawah penuh aksesori, lantai atas full sepeda dan punya lintasan uji coba. Wartawan Jawa Pos (group Sumut Pos) AZRUL ANANDA menemukan keasyikan mengunjungi toko-toko sepeda di Amerika. Berikut catatan santainya.

Bukan. Saya bukan penghobi sepeda. Dulu waktu SMP memang sekolah naik sepeda, tapi tak pernah jadi penghobi. Sejak saat itu, setelah naik motor dan bisa naik mobil, baru empat bulan terakhir rutin bersepeda. Jadi kira-kira ada jeda 20 tahun antara terakhir bersepeda di SMP dan tahun ini.

Alasan bersepeda pun bukan untuk asyik-asyikan. Melainkan untuk olahraga menurunkan berat badan. Maklum, semakin lewat di atas usia 30, semakin sulit menjaga postur dan berat badan. Mau fitness ke gym tak tertarik karena tergolong gampang bosan dan kurang “kompetitif.”

Mau jogging enggan karena lutut kanan pernah direkonstruksi (gara-gara sepak bola). Mau renang juga ogah… Karena nggak bisa (he he he…).

Pilihannya ya makin gemuk atau bersepeda….
Pilihannya lalu balik seperti ketika SMP dulu: Pakai road bike alias sepeda balap.
Ketika beli sepeda, teman saya yang jual itu bilang: “Orang sudah bisa dibilang gila sepeda kalau sudah mengeluarkan lebih dari Rp 25 juta untuk sepedanya.” Aduh!

Dasar suka penasaran, belakangan saya jadi mencoba update terus soal sepeda. Melahap semua majalah, banyak baca buku, rajin berkunjung ke toko sepeda, dan lain-lain. Sama seperti ketika masih getol-getolnya belajar soal Formula 1 dulu.

Gila sepeda” Saya masih sering beralasan: “Saya tidak hobi sepeda. Saya ini sedang asyik menyelami hobi orang bersepeda. Siapa tahu bisa inspirasi dari situ.”
He he he he…

Ketika menghadiri World Newspaper Congress di Wina, Austria, Oktober lalu, saya sempat kecewa karena tak punya waktu ke toko sepeda. Toko-toko sudah pada tutup jam 5 sore, padahal acara saya sering baru selesai lewat jam 6. Ketika di Prancis selama dua hari, juga kecewa, karena tidak sempat puas ke toko sepeda.

Satu, toko sepeda di Paris kecil-kecil. Dua, banyak yang tutup di hari Minggu. Tiga, ada yang terkenal tapi tutup di hari Senin. Nah, waktu itu saya di Paris hari Minggu dan Senin.

Ketika bersama tim basket pelajar Development Basketball League (DBL) Indonesia All-Star 2011 di Amerika Serikat awal bulan ini, kesempatan lain muncul. Tidak ada banyak waktu, tapi ada waktu-waktu yang bisa dicuri untuk mampir ke beberapa toko sepeda di dua kota: Seattle, negara bagian Washington, dan Portland, negara bagian Oregon.
Modal mencarinya tentu adalah online. Satu lagi lewat kenalan desainer sepatu asal Portland, yang ternyata hobi bersepeda.

Oregon memang “pusat” desain sepatu dunia. Nike markasnya di situ. Merek-merek lain, termasuk yang dari Tiongkok, punya kantor desain di situ. Termasuk merek sepatu League di Indonesia, yang punya desainer di Portland.
Ternyata, Portland juga disebut sebagai salah satu “Makkah”-nya sepeda di Amerika. Jalur sepeda di kota itu termasuk yang paling banyak, penggemar sepeda di sana juga termasuk paling banyak dan fanatis.

Meski pernah bertahun-tahun tinggal di Amerika, saya tak pernah hobi bersepeda. Jadi terus terang memang tak pernah ke toko sepeda. Paling sekali dua kali menyewa sepeda ketika sedang liburan.

Teman-teman saya yang gila sepeda bilang, toko-toko sepeda di AS sangat menyenangkan. Besar-besar. Penuh barang.
Ternyata benarrrrrrrrrr…

Di Seattle, saya sempat ke Gregg”s Cycle di Greenlake, salah satu toko terbesar di situ. Toko ini besar dan luas, dan masih punya dua cabang lain di kawasan lain kota yang sister city dengan Surabaya tersebut.
Di Amerika, tentu yang diburu merek-merek asli sono. Specialized, Trek, Cannondale, dan lain-lain. Gregg”s Cycle ini sebenarnya paling komplet soal Trek dan Specialized. Juga membawa merek Italia yang sekarang sedang populer di Indonesia: Pinarello.

Apesnya satu: Rata-rata sepeda ukuran bule.
Kalau di Indonesia, kebanyakan sepeda yang dijual (kalau road bike) ukuran antara 49 dan 52 (XS dan S). Ini untuk mereka yang tingginya di kisaran 160-an cm sampai sedikit di atas 170 cm. Saya 175 cm, masuk golongan ukuran 54 cm atau medium.

Ukuran saya saja di situ jarang. Kebanyakan size 56 (L) atau lebih besar.

Karyawan di toko itu ramah-ramah semua. Membantu mencarikan ukuran yang saya cari. Apes, ukuran kecil memang sedang susah. Kalau mau pesan bisa, tapi saya tidak punya waktu untuk pesan dan menunggu.

“Penjualan sepeda paling tinggi antara April-Mei sampai September. Saat musim semi, panas, sampai awal musim gugur. Kalau seperti sekarang ini (awal November, Red), yang ada kebanyakan sisa stok, sambil menunggu penuhnya stok barang-barang baru edisi 2012,” jelas salah satu karyawan di Gregg”.

Di Portland, ternyata jauh lebih seru. Malam sebelum ke sana, saya menyempatkan diri meneleponi toko-toko top di kota tersebut. Rata-rata ternyata tak punya ukuran yang saya cari (dan yang diminta teman-teman yang titip ke saya).
Karena tak banyak yang punya barang, saya memutuskan untuk fokus pergi ke toko yang paling direkomendasikan. Namanya River City Bicycles. Ketika anak-anak DBL Indonesia All-Star asyik belanja di Lloyd Center (mal terbesar di Oregon), saya “lari” sebentar ke River City Bicyles, yang letaknya hanya sekitar satu mil (1,6 km) dari Lloyd Center.
Saya ditemani Ainur Rohman, wartawan Jawa Pos, dan Vincent Ngai, mahasiswa Indonesia di Amerika yang mantan manager tim basket sekolah peserta DBL ketika di Surabaya.

Toko itu ternyata sangat kondang. Sering bikin even bersepeda, punya program tur bersepeda, dan punya tim balap sepeda. Didirikan Dave Guettler 15 tahun lalu, ketika budaya sepeda di Portland belum seperti sekarang.
Guettler punya prinsip: “Sebagai penghobi sepeda, saya ingin membangun toko dari sudut pandang penghobi. Saya ingin menyediakan toko yang membuat mereka bersemangat masuk ke dalamnya.”

Prinsip itu benar-benar terasa. “Toko” dua lantai itu bernuansa sangat kayu, sangat natural. Di dalamnya jadi serasa cozy.

Di lantai dasar, sebagian adalah bengkel sepeda. Sebagian lagi rak-rak sepeda yang dijual, kebanyakan merek Specialized (Amerika) atau Cervelo (merek Kanada).  Kebanyakan lantai ini adalah untuk pakaian dan aksesori. Sampai ke majalah-majalah, buku-buku, dan aneka ragam nutrisi dan suplemen.

Yang lebih seru di lantai dua. Sebagian lantai ini adalah gudang barang. Tapi area terluas berisikan sepeda yang dijual, dipajang di lantai atau menggantung di sisi dinding dan atap. Juga ada yang dipajang di tengah seperti “pulau ruangan.”
Ada alasan mengapa ditata begitu. Sebab, jalur keliling dipakai sebagai test track! Calon pembeli bisa menjajal sepedanya dengan berkeliling di situ. Pembeli juga bisa menyetel sepedanya di situ, dibantu oleh staf (mereka bilang karyawannya sampai 55 orang!).

Bagi penggemar mountain bike, di salah satu bagian lintasan dilengkapi rintangan-rintangan mini untuk menjajal suspensi dan lain-lain.

Ide lintasan uji coba di dalam ini sangat brilian. Portland berada di kawasan Pacific Northwest Amerika, yang sering hujan. Jadi tidak perlu hujan-hujan menjajal sepeda di luar!

Bagi penggila sepeda di Indonesia, beli di luar negeri memang sering disebut lebih murah. Tapi mungkin sebenarnya juga tidak. Kalau di Amerika, andai harganya kalau dihitung lebih murah, jatuhnya belum tentu demikian. Hampir semua negara bagian di AS (total ada 50) menerapkan sales tax alias pajak. Kalau di Seattle, pajaknya sampai 9,5 persen dari nilai barang.

Kalau di Eropa, pajak itu bisa dikembalikan kalau pembelinya bukan warga Eropa. Di Amerika tidak (setahu saya sih tidak).

Beli sepeda di Portland pun memberi keasyikan ekstra. Negara bagian Oregon tidak menerapkan sales tax. Jadi kalau harganya USD 5.000, ya total jenderalnya USD 5.000. Tidak ada tambahan apa-apa.

Hanya saja, soal ukuran, tetap ada tantangan beratnya. Dari ribuan sepeda yang di-stok River City Bicycle, benar-benar minim yang ukuran saya atau lebih kecil. Malahan, hanya ada dua pilihan road bike ukuran 54, kalau saya ingin membeli. Yaitu Cannondale SuperSix Evo dan Cervelo R3.

Lebih kecil dari itu, harus siap terima nasib dengan pilihan lebih minim.
Mark, salah satu karyawan yang melayani saya, memberi penjelasan mirip dengan ketika saya di Seattle. Dia bilang, ini musim yang kurang tepat kalau cari barang. Dan ukuran 54 sebenarnya bukanlah langka. “Itu termasuk ukuran paling populer. Jadi di akhir musim (tahun, Red) stoknya seringkali habis,” tandasnya.
Catatan lain: Kalau mau beli komponen, Amerika belum tentu tempatnya. Khususnya untuk produk yang juga harus diimpor oleh Amerika. Komponen Shimano misalnya, rata-rata harganya dua kali lipat di Indonesia.
Sebelum pulang, ada satu lagi yang mengesankan dari River City Bicyles di Portland. Ketika bertanya kepada seorang karyawan tentang arah jalan, dia mengaku sulit menjelaskan. Khususnya menjelaskan kepada pengemudi mobil. (*)
“Sulit menjelaskan jalan. Saya naik sepeda, tidak naik mobil,” akunya.
Ini benar-benar toko orang sepeda! (*)

Menemukan Keasyikan Masuk Toko Sepeda di Amerika Serikat

Lantai bawah penuh aksesori, lantai atas full sepeda dan punya lintasan uji coba. Wartawan Jawa Pos (group Sumut Pos) AZRUL ANANDA menemukan keasyikan mengunjungi toko-toko sepeda di Amerika. Berikut catatan santainya.

Bukan. Saya bukan penghobi sepeda. Dulu waktu SMP memang sekolah naik sepeda, tapi tak pernah jadi penghobi. Sejak saat itu, setelah naik motor dan bisa naik mobil, baru empat bulan terakhir rutin bersepeda. Jadi kira-kira ada jeda 20 tahun antara terakhir bersepeda di SMP dan tahun ini.

Alasan bersepeda pun bukan untuk asyik-asyikan. Melainkan untuk olahraga menurunkan berat badan. Maklum, semakin lewat di atas usia 30, semakin sulit menjaga postur dan berat badan. Mau fitness ke gym tak tertarik karena tergolong gampang bosan dan kurang “kompetitif.”

Mau jogging enggan karena lutut kanan pernah direkonstruksi (gara-gara sepak bola). Mau renang juga ogah… Karena nggak bisa (he he he…).

Pilihannya ya makin gemuk atau bersepeda….
Pilihannya lalu balik seperti ketika SMP dulu: Pakai road bike alias sepeda balap.
Ketika beli sepeda, teman saya yang jual itu bilang: “Orang sudah bisa dibilang gila sepeda kalau sudah mengeluarkan lebih dari Rp 25 juta untuk sepedanya.” Aduh!

Dasar suka penasaran, belakangan saya jadi mencoba update terus soal sepeda. Melahap semua majalah, banyak baca buku, rajin berkunjung ke toko sepeda, dan lain-lain. Sama seperti ketika masih getol-getolnya belajar soal Formula 1 dulu.

Gila sepeda” Saya masih sering beralasan: “Saya tidak hobi sepeda. Saya ini sedang asyik menyelami hobi orang bersepeda. Siapa tahu bisa inspirasi dari situ.”
He he he he…

Ketika menghadiri World Newspaper Congress di Wina, Austria, Oktober lalu, saya sempat kecewa karena tak punya waktu ke toko sepeda. Toko-toko sudah pada tutup jam 5 sore, padahal acara saya sering baru selesai lewat jam 6. Ketika di Prancis selama dua hari, juga kecewa, karena tidak sempat puas ke toko sepeda.

Satu, toko sepeda di Paris kecil-kecil. Dua, banyak yang tutup di hari Minggu. Tiga, ada yang terkenal tapi tutup di hari Senin. Nah, waktu itu saya di Paris hari Minggu dan Senin.

Ketika bersama tim basket pelajar Development Basketball League (DBL) Indonesia All-Star 2011 di Amerika Serikat awal bulan ini, kesempatan lain muncul. Tidak ada banyak waktu, tapi ada waktu-waktu yang bisa dicuri untuk mampir ke beberapa toko sepeda di dua kota: Seattle, negara bagian Washington, dan Portland, negara bagian Oregon.
Modal mencarinya tentu adalah online. Satu lagi lewat kenalan desainer sepatu asal Portland, yang ternyata hobi bersepeda.

Oregon memang “pusat” desain sepatu dunia. Nike markasnya di situ. Merek-merek lain, termasuk yang dari Tiongkok, punya kantor desain di situ. Termasuk merek sepatu League di Indonesia, yang punya desainer di Portland.
Ternyata, Portland juga disebut sebagai salah satu “Makkah”-nya sepeda di Amerika. Jalur sepeda di kota itu termasuk yang paling banyak, penggemar sepeda di sana juga termasuk paling banyak dan fanatis.

Meski pernah bertahun-tahun tinggal di Amerika, saya tak pernah hobi bersepeda. Jadi terus terang memang tak pernah ke toko sepeda. Paling sekali dua kali menyewa sepeda ketika sedang liburan.

Teman-teman saya yang gila sepeda bilang, toko-toko sepeda di AS sangat menyenangkan. Besar-besar. Penuh barang.
Ternyata benarrrrrrrrrr…

Di Seattle, saya sempat ke Gregg”s Cycle di Greenlake, salah satu toko terbesar di situ. Toko ini besar dan luas, dan masih punya dua cabang lain di kawasan lain kota yang sister city dengan Surabaya tersebut.
Di Amerika, tentu yang diburu merek-merek asli sono. Specialized, Trek, Cannondale, dan lain-lain. Gregg”s Cycle ini sebenarnya paling komplet soal Trek dan Specialized. Juga membawa merek Italia yang sekarang sedang populer di Indonesia: Pinarello.

Apesnya satu: Rata-rata sepeda ukuran bule.
Kalau di Indonesia, kebanyakan sepeda yang dijual (kalau road bike) ukuran antara 49 dan 52 (XS dan S). Ini untuk mereka yang tingginya di kisaran 160-an cm sampai sedikit di atas 170 cm. Saya 175 cm, masuk golongan ukuran 54 cm atau medium.

Ukuran saya saja di situ jarang. Kebanyakan size 56 (L) atau lebih besar.

Karyawan di toko itu ramah-ramah semua. Membantu mencarikan ukuran yang saya cari. Apes, ukuran kecil memang sedang susah. Kalau mau pesan bisa, tapi saya tidak punya waktu untuk pesan dan menunggu.

“Penjualan sepeda paling tinggi antara April-Mei sampai September. Saat musim semi, panas, sampai awal musim gugur. Kalau seperti sekarang ini (awal November, Red), yang ada kebanyakan sisa stok, sambil menunggu penuhnya stok barang-barang baru edisi 2012,” jelas salah satu karyawan di Gregg”.

Di Portland, ternyata jauh lebih seru. Malam sebelum ke sana, saya menyempatkan diri meneleponi toko-toko top di kota tersebut. Rata-rata ternyata tak punya ukuran yang saya cari (dan yang diminta teman-teman yang titip ke saya).
Karena tak banyak yang punya barang, saya memutuskan untuk fokus pergi ke toko yang paling direkomendasikan. Namanya River City Bicycles. Ketika anak-anak DBL Indonesia All-Star asyik belanja di Lloyd Center (mal terbesar di Oregon), saya “lari” sebentar ke River City Bicyles, yang letaknya hanya sekitar satu mil (1,6 km) dari Lloyd Center.
Saya ditemani Ainur Rohman, wartawan Jawa Pos, dan Vincent Ngai, mahasiswa Indonesia di Amerika yang mantan manager tim basket sekolah peserta DBL ketika di Surabaya.

Toko itu ternyata sangat kondang. Sering bikin even bersepeda, punya program tur bersepeda, dan punya tim balap sepeda. Didirikan Dave Guettler 15 tahun lalu, ketika budaya sepeda di Portland belum seperti sekarang.
Guettler punya prinsip: “Sebagai penghobi sepeda, saya ingin membangun toko dari sudut pandang penghobi. Saya ingin menyediakan toko yang membuat mereka bersemangat masuk ke dalamnya.”

Prinsip itu benar-benar terasa. “Toko” dua lantai itu bernuansa sangat kayu, sangat natural. Di dalamnya jadi serasa cozy.

Di lantai dasar, sebagian adalah bengkel sepeda. Sebagian lagi rak-rak sepeda yang dijual, kebanyakan merek Specialized (Amerika) atau Cervelo (merek Kanada).  Kebanyakan lantai ini adalah untuk pakaian dan aksesori. Sampai ke majalah-majalah, buku-buku, dan aneka ragam nutrisi dan suplemen.

Yang lebih seru di lantai dua. Sebagian lantai ini adalah gudang barang. Tapi area terluas berisikan sepeda yang dijual, dipajang di lantai atau menggantung di sisi dinding dan atap. Juga ada yang dipajang di tengah seperti “pulau ruangan.”
Ada alasan mengapa ditata begitu. Sebab, jalur keliling dipakai sebagai test track! Calon pembeli bisa menjajal sepedanya dengan berkeliling di situ. Pembeli juga bisa menyetel sepedanya di situ, dibantu oleh staf (mereka bilang karyawannya sampai 55 orang!).

Bagi penggemar mountain bike, di salah satu bagian lintasan dilengkapi rintangan-rintangan mini untuk menjajal suspensi dan lain-lain.

Ide lintasan uji coba di dalam ini sangat brilian. Portland berada di kawasan Pacific Northwest Amerika, yang sering hujan. Jadi tidak perlu hujan-hujan menjajal sepeda di luar!

Bagi penggila sepeda di Indonesia, beli di luar negeri memang sering disebut lebih murah. Tapi mungkin sebenarnya juga tidak. Kalau di Amerika, andai harganya kalau dihitung lebih murah, jatuhnya belum tentu demikian. Hampir semua negara bagian di AS (total ada 50) menerapkan sales tax alias pajak. Kalau di Seattle, pajaknya sampai 9,5 persen dari nilai barang.

Kalau di Eropa, pajak itu bisa dikembalikan kalau pembelinya bukan warga Eropa. Di Amerika tidak (setahu saya sih tidak).

Beli sepeda di Portland pun memberi keasyikan ekstra. Negara bagian Oregon tidak menerapkan sales tax. Jadi kalau harganya USD 5.000, ya total jenderalnya USD 5.000. Tidak ada tambahan apa-apa.

Hanya saja, soal ukuran, tetap ada tantangan beratnya. Dari ribuan sepeda yang di-stok River City Bicycle, benar-benar minim yang ukuran saya atau lebih kecil. Malahan, hanya ada dua pilihan road bike ukuran 54, kalau saya ingin membeli. Yaitu Cannondale SuperSix Evo dan Cervelo R3.

Lebih kecil dari itu, harus siap terima nasib dengan pilihan lebih minim.
Mark, salah satu karyawan yang melayani saya, memberi penjelasan mirip dengan ketika saya di Seattle. Dia bilang, ini musim yang kurang tepat kalau cari barang. Dan ukuran 54 sebenarnya bukanlah langka. “Itu termasuk ukuran paling populer. Jadi di akhir musim (tahun, Red) stoknya seringkali habis,” tandasnya.
Catatan lain: Kalau mau beli komponen, Amerika belum tentu tempatnya. Khususnya untuk produk yang juga harus diimpor oleh Amerika. Komponen Shimano misalnya, rata-rata harganya dua kali lipat di Indonesia.
Sebelum pulang, ada satu lagi yang mengesankan dari River City Bicyles di Portland. Ketika bertanya kepada seorang karyawan tentang arah jalan, dia mengaku sulit menjelaskan. Khususnya menjelaskan kepada pengemudi mobil. (*)
“Sulit menjelaskan jalan. Saya naik sepeda, tidak naik mobil,” akunya.
Ini benar-benar toko orang sepeda! (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/