25 C
Medan
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

Perpaduan Tradisi dan Agama

Berbagai Cara Umat Muslim Sambut Bulan Suci Ramadan

MEDAN-Senin (1/8) besok, umat Muslim di berbagai penjuru dunia akan melakukan ibadah puasa, berjuang melawan hawa nafsu selama Ramadan. Untuk menyambut bulan suci itu, masyarakat melakukan rangkaian tradisi dan ritual keagamaan.

Di Sumatera Utara, salah satu tradisi yang selalu dilakukan adalah punggahan. Ketua MUI Sumut Hasbullah Syah menjelaskan, kebiasaan ‘punggahan’ menyambut Ramadan kurang lebih sama artinya dengan kenduri.
“Ini masalah istilah saja, umat Islam bersuku Jawa menamakannya ‘punggahan,’ suku lain menyebutnya kenduri. Kenduri ini merupakan kegiatan amal yakni bersedekah dengan memanggil tetangga, fakir miskin dan sebagainya. Di Islam sendiri ini hal ini malah sangat dianjurkan,” katanya, Jumat (29/7).

Hanya saja, kata Hasbullah, makna punggahan kini mengalami degradasi makna, sehingga cenderung dilakukan secara berlebihan dan berfoya-foya.

“Penyambutan Ramadan ini hendaknya jangan disalahtafsirkan. Umat Islam harus merayakannya dengan menggelar amal, bukan perayaan yang mubajir dan foya-foya. Kegiatan ini dilakukan dengan harapan mendapat rida dari Allah SWT,” ujarnya.

Menurutnya, punggahan idealnya dilakukan bukan hanya saat menyambut Ramadan saja. “Karena ini merupakan sedekah, kapan pun dan dimana pun seharusnya umat Islam bisa melakukannya. Punggahan menjelang Ramadan ini tentu memiliki nilai lebih karena umat Islam saat itu memiliki waktu dan kesempatan yang cukup untuk melakukannya,” tutur Hasbullah.

Hasbullah mengatakan, punggahan sebaiknya diimplementasi dengan cara memberi makan dan menyantuni anak yatim, fakir miskin dan tetangga terdekat. Dalam hadists dan riwayat sangat banyak dianjurkan kegiatan bersedekah secara umum. “Namun, memang tak ada keistimewaan di satu hari yang khusus, karena kapan pun bisa dilakukan, tanpa paksaan,” katanya lagi.

Selain punggahan, tradisi yang juga dilakukan menyambut Ramadan adalah ziarah kubur.  Meskipun ziarah kubur hanya tradisi, akan tetapi ada dua hal yang perlu diketahui dari kegiatan itu. Pertama, mengingatkan setiap umat bahwa setiap orang akan mati. Dan kedua, memanjatkan doa kepada orang yang telah meninggal agar ditempatkan di sisi Allah SWT, agar diampuni dosa-dosa orang telah meninggal.

“Ziarah kubur di dalam hadis dan Alquran memang tidak ada, itu hanya suatu tradisi bagi umat Islam,” kata Ketua MUI Medan Prof Mohammad Hatta kepada Sumut Pos, Kamis (28/7).

Dia mengatakan, ziarah  merupakan bentuk mensucikan diri dan memohon berkat dari Allah SWT atas apa yang dilakukan. “Jadi, bukan pada sang di dalam kubur kita memohon ampunan, melainkan pada Allah SWT,” katanya.
Hatta menceritakan, saat Nabi Muhammad SAW melintas di makan, beliau melihat pelepah batang kurma. Pelepah batang kurma tersebut diletakkan ke makam kuburan yang dilintasi Nabi saat itu, kemudian menyiramkan air di atas kuburan itu. Itulah alasan mengapa pada ziarah kubur umat Islam menabur bunga dan menyiram air saat berziarah.
Yang terpenting, katanya, umat muslim harus senantiasa menyambut Ramadan dengan gembira dan melaksanakan ibadah. “Allah mengatakan setiap setahun sekali, ada bulan istimewa yang penuh makna dan ampunan, yaitu Ramadan di malam Lailatur Qadar,” katanya.

Tradisi lain yang tak ketinggalan dilakukan adalah mandi pangir atau marpangir.  Tradisi ini bertujuan melakukan pembersihan diri dan biasanya dilakukan sehari sebelum puasa, dan itu sore hari sebelum maghrib. Bahan-bahan untuk ritual marpangir antara lain akar rusa, serai wangi, bunga pinang, daun pandan, daun nilam, buah dan daun jeruk purut serta batang kapelon yang mengandung unsur wewangian. Bahan-bahannya bisa dibeli di tempat-tempat jual bunga harganya sekitar Rp2 ribu atau Rp3 ribu. Tradisi mandi pangir merupakan adat atau kebiasaan yang telah berjalan sejak puluhan dan bahkan ratusan tahun. Dan itu tidak bertentangan dengan syariat Islam, makanya banyak umat Islam yang melakukan tradisi itu. (omi/saz)

Berbagai Cara Umat Muslim Sambut Bulan Suci Ramadan

MEDAN-Senin (1/8) besok, umat Muslim di berbagai penjuru dunia akan melakukan ibadah puasa, berjuang melawan hawa nafsu selama Ramadan. Untuk menyambut bulan suci itu, masyarakat melakukan rangkaian tradisi dan ritual keagamaan.

Di Sumatera Utara, salah satu tradisi yang selalu dilakukan adalah punggahan. Ketua MUI Sumut Hasbullah Syah menjelaskan, kebiasaan ‘punggahan’ menyambut Ramadan kurang lebih sama artinya dengan kenduri.
“Ini masalah istilah saja, umat Islam bersuku Jawa menamakannya ‘punggahan,’ suku lain menyebutnya kenduri. Kenduri ini merupakan kegiatan amal yakni bersedekah dengan memanggil tetangga, fakir miskin dan sebagainya. Di Islam sendiri ini hal ini malah sangat dianjurkan,” katanya, Jumat (29/7).

Hanya saja, kata Hasbullah, makna punggahan kini mengalami degradasi makna, sehingga cenderung dilakukan secara berlebihan dan berfoya-foya.

“Penyambutan Ramadan ini hendaknya jangan disalahtafsirkan. Umat Islam harus merayakannya dengan menggelar amal, bukan perayaan yang mubajir dan foya-foya. Kegiatan ini dilakukan dengan harapan mendapat rida dari Allah SWT,” ujarnya.

Menurutnya, punggahan idealnya dilakukan bukan hanya saat menyambut Ramadan saja. “Karena ini merupakan sedekah, kapan pun dan dimana pun seharusnya umat Islam bisa melakukannya. Punggahan menjelang Ramadan ini tentu memiliki nilai lebih karena umat Islam saat itu memiliki waktu dan kesempatan yang cukup untuk melakukannya,” tutur Hasbullah.

Hasbullah mengatakan, punggahan sebaiknya diimplementasi dengan cara memberi makan dan menyantuni anak yatim, fakir miskin dan tetangga terdekat. Dalam hadists dan riwayat sangat banyak dianjurkan kegiatan bersedekah secara umum. “Namun, memang tak ada keistimewaan di satu hari yang khusus, karena kapan pun bisa dilakukan, tanpa paksaan,” katanya lagi.

Selain punggahan, tradisi yang juga dilakukan menyambut Ramadan adalah ziarah kubur.  Meskipun ziarah kubur hanya tradisi, akan tetapi ada dua hal yang perlu diketahui dari kegiatan itu. Pertama, mengingatkan setiap umat bahwa setiap orang akan mati. Dan kedua, memanjatkan doa kepada orang yang telah meninggal agar ditempatkan di sisi Allah SWT, agar diampuni dosa-dosa orang telah meninggal.

“Ziarah kubur di dalam hadis dan Alquran memang tidak ada, itu hanya suatu tradisi bagi umat Islam,” kata Ketua MUI Medan Prof Mohammad Hatta kepada Sumut Pos, Kamis (28/7).

Dia mengatakan, ziarah  merupakan bentuk mensucikan diri dan memohon berkat dari Allah SWT atas apa yang dilakukan. “Jadi, bukan pada sang di dalam kubur kita memohon ampunan, melainkan pada Allah SWT,” katanya.
Hatta menceritakan, saat Nabi Muhammad SAW melintas di makan, beliau melihat pelepah batang kurma. Pelepah batang kurma tersebut diletakkan ke makam kuburan yang dilintasi Nabi saat itu, kemudian menyiramkan air di atas kuburan itu. Itulah alasan mengapa pada ziarah kubur umat Islam menabur bunga dan menyiram air saat berziarah.
Yang terpenting, katanya, umat muslim harus senantiasa menyambut Ramadan dengan gembira dan melaksanakan ibadah. “Allah mengatakan setiap setahun sekali, ada bulan istimewa yang penuh makna dan ampunan, yaitu Ramadan di malam Lailatur Qadar,” katanya.

Tradisi lain yang tak ketinggalan dilakukan adalah mandi pangir atau marpangir.  Tradisi ini bertujuan melakukan pembersihan diri dan biasanya dilakukan sehari sebelum puasa, dan itu sore hari sebelum maghrib. Bahan-bahan untuk ritual marpangir antara lain akar rusa, serai wangi, bunga pinang, daun pandan, daun nilam, buah dan daun jeruk purut serta batang kapelon yang mengandung unsur wewangian. Bahan-bahannya bisa dibeli di tempat-tempat jual bunga harganya sekitar Rp2 ribu atau Rp3 ribu. Tradisi mandi pangir merupakan adat atau kebiasaan yang telah berjalan sejak puluhan dan bahkan ratusan tahun. Dan itu tidak bertentangan dengan syariat Islam, makanya banyak umat Islam yang melakukan tradisi itu. (omi/saz)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/