Cerpen: Sobirin Zaini
Aku tak dapat memastikan sama sekali entah kapan abahku dapat membelikan handphone
baru untukku seperti abahnya Yarti membelikan handphone baru untuknya. Karena aku tahu,
abahku tak berbaju dinas seperti abahnya Yarti tetanggaku itu.
Abahku hanya seorang penakik getah milik Mak Joyah di belakang rumah yang tentu duitnya tak seberapa sebab harus dibagi dua.
Pohon getah itu pun tak pula banyak jumlahnya. Karena jika kuhitung tak lebih dari jumlah jari tanganku saja dan abah tak pernah memakai baju dinas seperti Pak Mayub abahnya Yarti setiap kali berangkat kerja. Kalau Abahnya Yarti setiap pagi kulihat bersepeda motor bedelau keluaran baru dengan mengenakan baju dinas yang kelihatan sangat rapi pergi ke kantor desa, abahku cukuplah berbaju lengan panjang lusuh dengan bekas getah menempel di mana-mana. Abahku seperti sudah cukup segak mengenakan sepatu balaknya yang berharga lima belas ribu rupiah, memegang sebilah pisau takik, meletakkan topi lusuh di atas kepalanya dan bercelana kain hitam yang sudah berlubang di bagian lututnya, yang aku sangat yakin, baju, topi dan celana itu ia dapatkan dengan harga banting sepuluh ribu tiga dari karung rombeng tempat Cik Dolai beberapa bulan lalu.
Ehm, begitulah abahku. Tak mungkin rasanya aku dapat memastikan bahwa dengan mudahnya niatku meminta dibelikan handphone seperti Yarti tetanggaku itu terwujud. Mustahil rasanya. Meskipun aku dan Yarti sama-sama anak perempuan tunggal, tapi status dan perbedaan baju abah kami membuat semua itu tampak mustahil. Kalau sudah begitu, tentu sekali, sebagai anak perempuan abah yang tahu diri, aku harus kembali membiarkan niatku itu setakat bersemayam di hati. Kusimpan saja ia baik-baik bersama mimpi dan keinginan-keinginanku yang lain. Meski keinginan-keinginan itu kian saja muncul setiap kali bertemu Yarti di sekolah, setiap kali perempuan itu menyodorkan kesombongannya sembari menunjukkan padaku sejumlah aksesoris terbaru yang dibelikan abahnya yang berbaju dinas itu.
Setiap kali begitu, terasa sekali kalau Yarti dengan sangat mudah dapat meminta apa saja dari abahnya. Dari handphone baru, laptop baru, jilbab baru, sepatu baru, tas baru, sampai sepeda motor matic terbaru. Dan tentu saja nama-nama itu bukanlah benda yang dapat dibeli dengan beberapa helai ribuan rupiah saja, seperti uang jajan yang diberikan abah kepadaku setiap kali ia menjual hasil getah bagi dua milik Mak Joyah di belakang rumah. Tentu saja tidak.
***
”Beginilah kita, Nak. Abah harap engkau bersabar. Belajar sajalah elok-elok, tamatkan dulu sekolah menengah kau tu,” ujar abah tiba-tiba dari dalam rumah saat aku memasang tali sepatu menjelang pergi ke sekolah pagi itu. Kulihat dia masih bertengger di kursi depan meja kayu, menyerutup kopi sambil memandang jauh keluar jendela sebelum berangkat menakik getah. Sementara emak masih sibuk mencuci kain baju di sumur sambil menjerang air di dapur.
Sebenarnya tadi aku lumayan terkejut. Tak pernah kudengar ucapan abah seperti itu sebelum ini. Aku masih berusaha memandang lekat wajah abah, sementara ujung jari tanganku terus mengikat tali sepatu. Tapi mulutku seperti tak dapat spontan menyahut. Aku diam saja, karena sebenarnya kutahu apa yang abah maksud. Aku mulai merasa bahwa abah lama-kelamaan ternyata berhasil juga membaca situasi dan apa yang ada dalam benakku selama ini. Tapi dari mana ia tahu semua itu? Aku merasa tak pernah mengucapkan apapun soal keinginan-keinginanku itu pada abah. Setakat meminta uang jajan pun aku tak pernah. Kalaupun diberikan abah, itu pasti karena inisiasinya saja. Karena setakat uang jajan tentu masih dalam batas kemampuannya. Lalu kenapa ucapan seperti itu tiba-tiba keluar dari mulut abah pagi ini? Ah sudahlah, mungkin semua ini karena aduan dari emak. Sebab emak memang pernah mendengar curhatku tentang baju dinas dan sejumlah keinginan yang terpendam itu. Maka untuk saat ini, ada baiknya aku sahut saja ucapan abah tadi, seolah-olah aku benar-benar mafhum apa maksud ucapannya itu.
“Ya, abah…,” sahutku lirih sambil berdiri dan mengucapkan salam kepada lelaki renta itu. Kudengar ia juga menyahut perlahan salamku dari dalam. Asap beracun dari batangan kretek di mulutnya kulihat terus saja mengepul keluar lewat jendela.
***
Kusambar sepedaku di bangsal belakang rumah. Aku mulai mengayuhnya perlahan menuju sekolah. Seperti biasa bersamaan denganku pagi ini, kulihat di seberang jalan depan rumahku, Pak Mayub abahnya Yarti juga keluar dari jalan depan rumahnya dengan baju dinas itu. Dari jauh sekilas kulihat ada semacam pin berwarna keemasan tersemat di dadanya memantulkan cahaya matahari sehingga ia sekilas tampak bersinar. Sementara di kakinya terpasang sepatu hitam mengkilat menginjak sadel sepeda motor keluaran baru yang dikendarainya. Tas kantor berwarna hitam itu juga kembali tersandang di bahunya. Matanya sempat memandangku dan tersenyum ketika dia melaju melewati jembatan depan rumahnya itu. Aku balas tersenyum.
Tak lama berselang, setelah aku baru beberapa meter mengayuh sepeda dari jembatan depan rumah, Yarti anak perempuannya pula menyusul. Suara deru sepeda motor matic terdengar semakin mendekat ke arahku. Aku terus mengayuh sepeda ketika tiba-tiba Yarti sudah berada disampingku dan membunyikan klaksonnya keras-keras. Tentu saja aku terkejut. Tajam pandanganku kuarahkan ke matanya, tapi ia balas dengan sekadar menjelingkan mata. Jelingan mata dan senyum dibuat-buat itu seperti hendak mengatakan bahwa: “Ini skuter gaya anak muda zaman sekarang, Puan… Tak mainlah lagi sepeda buruk macam tu.” Asap kenalpot sepeda motor matic itu pun tiba-tiba terasa menyumbat lubang hidungku sekaligus menyesakkan seluruh isi dadaku. Sosok anak orang berduit dan berbaju dinas itu semakin jauh meninggalkanku. Dan dengan sesak yang masih tersisa di dada, sadel sepeda masih terus berusaha kukayuh.
***
Malam semakin terasa sunyi dan menyebalkan. Dua bilah jarum jam di dinding papan kamarku itu seperti tak dapat kutunda sama sekali. Ia terus saja berlomba melesat laju dari titik angka ke angka berikutnya. Aku masih memandangi plafon yang terbuat dari plastik itu sambil berbaring diatas ranjangku. Buku-buku pelajaran yang terjadwal diujiankan besok pagi tak sejenakpun aku sentuh. Sementara mataku juga ikut-ikutan tak mau diajak kompromi untuk secepatnya tidur. Kupejamkan berkali-kali, tapi bayangan Yarti saat di sekolah siang tadi itu juga yang muncul, muncul dan muncul. Bayangan mulutnya dengan ucapan-ucapan bernada sinis penuh kesombongan itu kini benar-benar berubah menjadi hantu dan batu yang menendang-nendang ulu hatiku.
“Ehm, nasib kaulah Siti, punya abah tak berbaju dinas macam abah kami. Kadang-kadang aku kasihan juga dengan kau tu. Tengoklah di sekolah ni, cuma kau saja yang tak punya handphone. Dan aku tengok, macam dah tak ada lagilah yang memakai sepeda ke sekolah ni. Cuma kau sendiri..”
Derai tawa dua orang teman Yarti yang juga punya abah berbaju dinas terdengar menyahut ejekannya saat itu. Hatiku kelu.
“Ha, tengoklah pula sepatu kau tu… Seingatku, asyik itu saja dari sejak kau masuk sekolah dulu. Jilbab dan bajumu tu pun gantilah dengan yang baru.. Dah kelihatan pudar betul! Memang nasib kaulah nampaknya ya, abah kau tu dah cukup puas jadi penakik getah daripada jadi macam abah kami yang berbaju dinas!”
”Aku rasa, takkan ada budak jantan di sekolah ni yang sudi dekat dan menaruh hati padamu. Sebab, handphone murah pun kau tak punya..”
Kalimat-kalimat menyakitkan di sekolah siang tadi itu terus bertalu-talu di telingaku. Kutindihkan bantal ke wajah dan telingaku kuat-kuat. Aku berusaha menghindar, tapi suara dan bayangan itu makin melesat-lesat. Ucapan-ucapan itu berubah seperti gemuruh petir dalam hujan lebat. Bahkan jadi serupa tangan raksasa yang membuat wajahku berlipat-lipat. Sampai tiba-tiba di luar kamar, kudengar suara sejumlah orang saling menyapa dengan abah. Ramai sekali kedengarannya. Aku menuju ke arah pintu dan coba mengintip siapa orang-orang di luar itu. Ternyata abah kedatangan tamu. Kulihat abah dan lima orang tamu itu baru saja duduk bersamaan. Mereka bersila di lantai ruang depan yang bersebelahan dengan kamarku. Wajah-wajah itu tak asing di mataku, mereka para petinggi dusun yang biasa menemui abah di rumah ini. Ada Wak Jang Karut ketua Rw, Cik Iwan Sulah Ketua Rt, Bang Beri Lembik ketua pemuda, Cik Ijam Jambul pengurus masjid, sampai Tuk Yung Gani tokoh agama.
Sebagian di antara mereka itu sebelum ini memang selalu kudapati berbual-bual sampai larut malam dengan abah. Sisi lain inilah yang terus terang masih menjadi penawar hatiku; bahwa abah, meskipun bukanlah orang berduit dan berbaju dinas, ia termasuk tetua adat di dusun ini yang selalu ditemui karena pemikiran-pemikiran dan solusi yang ia berikan. Hal ini hampir berlangsung setiap kali ada masalah dan peristiwa baru. Dan, pasti kali ini, ada sesuatu yang baru terjadi di kampungku, sehingga lima pemuka dusun itu datang menemui abah malam ini.
Aku kembali ke ranjang, suara mereka yang berbual-bual diluar kamarku itu makin lama makin samar terdengar. Tak lama setelah itu, tak kusangka, akhirnya aku berhasil terlelap juga.
***
Kepalaku terasa berat ketika kulihat bias cahaya matahari pagi masuk lewat celah dinding papan kamarku. Jarum jam tepat ke angka enam, berarti aku kesiangan. Sial! Aku bakal terlambat ke sekolah hari ini. Segera kusambar handuk dan setengah berlari ke kamar mandi. Emak kudapati mulai menjerang air diatas tungku dapur, sementara abah masih tampak duduk di kursi dekat jendela sebelum berangkat menakik getah. Mereka berdua tampaknya tak sadar kalau aku baru saja bangun dan langsung masuk ke kamar mandi.
Ujung kaki baru saja kusentuhkan ke lantai dapur setelah mandi. Tiba-tiba kudengar suara abah memanggilku. “Siti, ke sini sebentar, abah nak cakap sikit ni,” suara abah datar setelah mendapati aku keluar. Aku sedikit terkejut dan penasaran. Ada apa gerangan? Kudekati lelaki itu secepatnya karena aku tahu, aku sudah terlambat berangkat sekolah.
“Engkau dah tahu apa berita yang Abah dapat dari tamu yang datang tadi malam?” tanya abah membuatku semakin penasaran. Aku terdiam sejenak.
“Tak tahu, Bah,” jawabku kemudian.
“Pak Mayub, tetangga depan rumah kita tu dihangkut polisi saat berada di kantor desa petang semalam,” ujar abah yang kali ini benar-benar membuatku terkejut. Ya, sangat terkejut. Kupandangi wajah abah lekat dan bergegas menyahut dengan bertanya apa pasalnya, tapi abah sudah bicara lagi.
“Ketua BPD kita tu dilaporkan anggotanya karena duit tunjangan BPD selama ni dia makan sendiri. Pak Mayub juga kabarnya memalsukan ijazah, di samping banyak pula yang cakap kalau dia tu suka terima duit dari pimpro yang punya proyek di kampung ni.” Aku terhenyak. Mulut abah masih kupandang lekat. Sepertinya cerita abah belum selesai.
“Pak Mayub juga ikut bagi-bagi duit saat pemilihan bupati kemarin, yang sekarang tengoklah, bupati tu pun dah tak ingat sama sekali dengan kita. Entahlah, kalau dah macam tu, tentu Pak Mayub tak dapat lagi jadi ketua BPD. Tengoklah sekarang, dia terancam masuk penjara karena dah terlanjur dilaporkan anggotanya sendiri ke polisi,” tambah abah lagi kemudian.
“Kau tahu tak apa maksud abah memberitahu prihal ni, Siti?”
Aku masih tertegun mendengar cerita abah tentang Pak Mayub. Pikiranku pada Yarti bersilang-sengkarut dengan baju dinas yang setiap pagi dikenakan abahnya itu. Sementara kulihat abah masih menunggu jawabanku terhadap pertanyaan anehnya tentang ‘maksud’ barusan.
”Tak tahu, Bah,” jawabku kemudian.
“Biar semestinya kau masih bersyukur, abahmu yang tak punya baju dinas ni tak ikut dihangkut seperti abahnya Yarti kawan sekolah kau tu…” sambut abah berlagak filosofis. Aku tak merespon pernyataannya itu. Justru tak lama setelah abah berkata begitu, ia kutinggal sendiri sebab aku harus segera berangkat sekolah.
Kusambar sepeda yang bersandar di bangsal belakang rumah, lalu kukayuhkan sekuat tenaga menuju sekolah. Dan memang, meski aku sudah sampai beberapa meter mengayuh sepeda dari jembatan depan rumahku itu, tak kunjung kudapati Pak Mayub dengan baju dinas dan sepedamotor barunya tersenyum padaku. Aku juga tak menemukan Yarti dengan matic-nya membunyikan klaksonnya keras-keras seperti pagi-pagi sebelum ini. Dari jauh, rumah batu megahnya itu kulihat tertutup sangat rapat. ***
Mrpynpku,
Medio Juli 2011
(Untuk “sahabat kecilku” yang selalu mengajakku bermain: Adrik Falah Nafsaka)