EksklusivitasĀ bisa menjadi pisau dengan dua sisi tajam. Bisa positif, bisa pula negatif. Bila sebuah lingkungan terlalu eksklusif, sudah pasti ia akan terisolasi dari lingkungan sekitar.
Kerugian yang lain dan tinggal di lingkungan kecil ini adalah soal fasilitas umum dan sosial yang sudah pasti sangat minim atau bahkan nihil. Taman bermain pasti tidak ada, tempat beribadah umum juga tak bakal ada.
Masalah lain yang sering muncul adalah ihwal administrasi kependudukan atau menyangkut rukun tetangga (RT). Karena jumlah yang terlalu kecil, masalah-masalah kebertetanggaan harus ditanggung oleh keluarga yang jumlahnya sedikit Akibatnya, biaya dan urusan untuk itu (sampah, petugas keamanan, administrasi, clan sebagainya) bisa membengkak. Bila digabung, belum tentu juga RT akan menerima warga secara setara, karena dianggap eksklusif tadi.
Akibatnya, untuk urusan ini itu, biasanya warga di perumahan semacam ini akan dipungut lebih mahal atau urusannya dibuatĀ lebih ribet.
Perumahan berskala kecil ini digemari karena berbagai alasan. Di antaranya: Kawasan atau lingkungan sekitarnya sudah relatif ramai penduduk dan dekat dengan pusat kegiatan perekonomian di wilayah tersebut. Meskipun tidak berada di tengah kota, wilayah di mana perumahan tersebut berada sudah dapat dibilang hidup.
Layanan pendidikan, kesehatan, pusat perbelanjaan biasanya terletak tidak terlalu jauh dari lokasi perumahan. Dengan āmenumpangā layanan-layanan umum yang tersedia di sekitar wilayah tersebut, pengembang memanfaatkannya sebagai nilai tambah yang diiming-imingkan kepada calon konsumen.
Boleh dikatakan, pengembang mendapatkan fasilitas ācuma-cumaā tanpa harus mengeluarkan biaya atau menggandeng pihak ketiga dalam penyediaannya.
Eksklusivitas umumnya juga menjadi salah satu ādaya tarikā yang dijual oleh pengembang kepada calon konsumen. Mereka berada di lingkungan yang terpisah dengan penduduk/warga kampung. (net/jpnn)