Uncertainty (ketidakpastian) di tataran ekonomi global seiring terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat (AS) serta potensi fluktuasi harga minyak, tak menyurutkan optimisme pemerintah.
Kamis 22/12), Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menjelaskan dengan gamblang tentang kondisi perekonomian Indonesia yang diyakini tetap bisa tumbuh. Pejabat berlatar pengusaha itu menyampaikan pandangannya seputar ekonomi Indonesia kepada tim Jawa Pos, yang terdiri dari Pemimpin Redaksi Nurwahid, Wakil Pemimpin Redaksi Nanang Prianto, Direktur Jawa Pos TV Maesa Samola, Kepala Biro Jakarta Ahmad Baidhowi, dan Wartawan Jawa Pos Juneka Subaihul Mufid, saat ditemui di ruang kerjanya di Kantor Wapres.
JK menyebut ada titik stabilitas baru yang sedang dipijak perekonomian Indonesia. Berikut petikan wawancara di meja ruang kerjanya kemarin (22/12).
Pertumbuhan ekonomi sampai akhir tahun ini diproyeksi mencapai 5,02 persen, lebih baik dari tahun lalu. Bagaimana evaluasi kinerja ekonomi 2016 dan proyeksi 2017?
Ekonomi itu selalu terpengaruh eksternal dan internal. Di level global, yang membeli kurang pasti yang menjual juga kurang (aktivitas ekonomi turun, Red), karena itulah terjadi penurunan dimanapun, di Amerika, di China, di Eropa, efeknya tentu sampai di sini karena kita bagian dari ekonomi dunia.
Pertumbuhan tahun ini tidak terlalu jauh beda, sedikit lebih baik. Tahun lalu kan 4,8 persen, sekarang naik bisa 5 persen. Dibanding dengan dengan (pertumbuhan ekonomi) dunia yang kurang lebih 2,8 persen, tentu kita lebih baik. Walaupun kita masih dibawah pertumbuhan beberapa negara China, India, dan Vietnam. Tapi kita berada ditengah-tengah seperti itu. Jadi ada stabilitas di tingkat baru.
Ekonomi daerah tumbuh beragam. Ada yang lebih tinggi dari (pertumbuhan) nasional, tapi juga ada yang di bawah. Faktor apa saja yang berperan?
Indonesia ini negara kepulauan yang besar, ya pasti ada disparitas-disparitas. Ada daerah yang kaya dengan sumberdaya alam. Ada yang tidak. Itu berbeda-beda. Karena itu kita selalu bicara tentang keadilan dan pemerataan. Makanya, di luar Jawa diperbanyak infrastruktur supaya ekonominya lebih beralih kesitu. Di Jawa, karena jumlah penduduk 160 juta jiwa tingkat konsumsi tinggi. Sehingga industri bikin pabrik di sini. Tapi, tentu kemiskinan juga banyak itu di kota-kota apalagi. Jadi tidak otomatis di luar Jawa itu ada disparitas.
Bagaimana dengan tingkat konsumsi di wilayah luar Jawa, misalnya Sulawesi?
Iya (tinggi), karena di sana produksinya berbasis makanan. Apakah itu beras, jagung, cokelat, kopi, dan juga ada tambang. Jadi tidak menurun pendapatan orang saat harga komoditas tambang turun. Berbeda di Kalimantan yang banyak mengandalkan mineral tambang, (konsumsinya) bisa turun (saat harga komoditas turun). Atau karet di Sumatera menurun. Tapi inikan situasional.