Kesultanan Pasai di Aceh menjadi tempat persiapan armada Cheng Ho sebelum mengarungi Samudra Hindia menuju negara-negara di belahan barat. Karena itu, Tiongkok berkepentingan menjalin hubungan baik dengan kesultanan pertama di Nusantara tersebut.
BANYAK kisah tentang kedatangan armada Laksamana Cheng Ho di Kesultanan Samudra Pasai. Namun sayang, tak banyak catatan yang tertinggal untuk mengisahkan persinggahan armada terbesar pada zamannya tersebut.
Kesultanan Samudra Pasai terletak di pantai utara Aceh, dekat Lhokseumawe. Pada abad ke-13 hingga ke-16, tempat tersebut menjadi jujukan para pedagang dari Timur Tengah, Gujarat (India), hingga Tiongkok. Lokasinya sangat strategis bagi perjalanan laut dari Tiongkok menuju negara-negara di belahan barat seperti India dan kawasan Arab. Begitu pula sebaliknya. Biasanya para pedagang, baik dari Tiongkok maupun India dan Arab, transit di tempat itu sebelum melanjutkan perjananan.
Di tempat tersebut, para pedagang memperjualbelikan rempah-rempah dan sutra. Tak ketinggalan, para pedagang yang sebagian besar muslim ikut menyebarkan agama Islam.
Armada Cheng Ho juga menganggap Samudra Pasai sangat strategis. Kesultanan itu menjadi tempat persinggahan setelah mengunjungi Jawa. Rute tetap Cheng Ho setiap melakukan ekspedisi adalah Suzhou (Tiongkok), Champa (Vietnam), Ayuttaya (Thailand), Majapahit (Jawa), Samudra Pasai (Aceh), baru kemudian bertolak ke kawasan barat hingga Afrika.
Saking pentingnya posisi Samudra Pasai, sampai-sampai Cheng Ho pernah membantu menumpas pemberontakan yang terjadi di kesultanan pertama di Nusantara tersebut. Pada masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin (1420-1428), kerajaan diserang pemberontak yang dipimpin Iskandar. Sultan kalah.
Kaisar Zhu Di di Beijing pun tidak senang mendengar berita itu. Sebab, perubahan pemerintahan akan mengganggu hubungan baik yang dibangun sejak lama. Karena itu, dia memerintah Cheng Ho menumpas pemberontakan tersebut. Iskandar berhasil dikalahkan dan dihukum mati di Beijing.
Hubungan baik Kesultanan Samudra Pasai dengan kekaisaran Tiongkok ditandai pemberian hadiah lonceng raksasa. Namanya lonceng Cakra Donya. Tingginya 1,25 meter dengan diameter 1 meter. Lonceng buatan 1409 itu diberikan sebagai hadiah kepada sultan Samudra Pasai pada 1414.
“Pemberian lonceng itu dilakukan dalam rangka mengikat hubungan persahabatan antara dua kerajaan di negara yang berÂbeda,” jelas Djamal Sahrif, sejarawan Aceh yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa).
Di bagian atas lonceng itu terdapat tulisan dengan aksara Mandarin dan Arab. Aksara Mandarin yang tertulis adalah Sing Fang Niat Toeng Juut Kat Yat Tjo (Sultan Sing Fa yang telah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke-5). “Untuk tulisan Arab, sudah tidak terbaca lagi karena dimakan usia,” ujar Djamal.
Saat Kesultanan Samudra Pasai menjadi bawahan Kesultanan Aceh pada abad ke-16, lonceng Cakra Donya dibawa ke Banda Aceh oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Bahkan, pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), lonceng tersebut pernah dijadikan semacam pusaka kesultanan. Dipasang di kapal perang yang juga diberi nama Cakra Donya. Dengan lonceng itu, komando perang dikumandangkan.
Kapal dan lonceng Cakra Donya pernah digunakan Sultan Iskandar Muda untuk menyerang Portugis di Selat Malaka. Dengan membawa 500 kapal perang dan 60 ribu tentara laut, sultan ingin menghentikan dominasi petualang Eropa di wilayah yang dulu dibangun Raja Parameswara dan Cheng Ho tersebut.
Dengan komando dari Cakra Donya, pasukan Aceh bertempur dengan gigih. Karena mampu membangkitkan semangat tempur itulah, Cakra Donya sempat dijuluki pasukan Portugis sebagai Espanto del Mundo yang berarti teror dunia.
Pada akhirnya, pasukan Aceh memang kalah dari Portugis. Namun, pada waktu yang hampir bersamaan dan dengan armada yang sama, Aceh mampu menaklukkan Pahang dan Kedah, Malaysia. (*/c5/nw/jpg)