25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Dianggap Wajar, Walau Gunakan Bahasa Tak Santun

Anak-anak di Labuhanbilik Desa Telaga Suka Kabupaten Labuhan Batu sedang berbincang sambil bermain. (Istimewa)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kesantunan bahasa amat penting di mana pun individu berada. Mengingat, pemilihan kata yang tepat apabila disampaikan dengan cara kasar akan tetap dianggap kurang santun. Seperti bahasa yang digunakan masyarakat pesisir pantai yang terkenal dengan perwatakannya.

Hal tersebut dikatakan, Devi Yuyun Sari, mahasiswi Program Studi (Prodi) Sastra Indonesia Universitas Negeri Medan (Unimed) yang melalukan penelitian di Labuhanbilik Desa Telagasuka Kabupaten Labuhanbatu dan Bagan Percut Kabupaten Deliserdang dalam keterangan tertulisnya yang dikirim, kemarin

Menurut Devi, di Labuhanbilik Desa Telagasuka Kabupaten Labuhanbatu, keseharian mereka, sering menggunakan ucapan, ‘Buj… Amak Men. Bagi masyarakata awam ucapan tersebut dianggap sebagai suatu fenomena yang kurang santun. Dikarenakan, ucapan-ucapan itu mengandung unsur vulgar seperti yang artinya mengarah kepada hal kemaluan ibu. Ucapan-ucapan ini kemudian bisa diserap oleh anak-anak di daerah tersebut. Hal ini dapat menimbulkan dampak buruk bagi anak-anak, terutama usia 5-10 tahun yang masih proses penyerapan bahasa.

Sementara, di pesisir Bagan Percut Desa Percut Kabupaten Deliserdang juga dijumpai ucapan-ucapan seperti ‘palemu’ dan ‘pedo’. Akan tetapi, tuturan ini tidak mengandung unsur vulgar di daerah tersebut. “Kedua fenomena ini menjadi bukti bahwa masyarakat pesisir memang tuturan kesantunannya masih kurang, meski demikian, kedua pesisir ternyata memiliki bentuk kesantunan yang berbeda,” beber Devi Yuyun Sari.

Diungkapkannya, bentuk kesantunan anak di pesisir Labuhanbilik seperti ‘bujas la’, ‘kosah ken’, ‘nondak aku’ dan ‘Buj… amak men’. Anak usia 5-7 tahun sering menggunakan tuturan yang pertama, kedua dan ketiga. Tapi tidak menutup kemungkinan anak seusia mereka juga menggunakan tuturan keempat, namun tingkat penggunaannya lebih minim. Anak usia 8-10 tahun sering menggunakan tuturan ini sebagai bentuk marah ataupun candaan ketika bermain di lingkungan sebaya.

Beda dengan Bentuk tuturan anak-anak 5-10 tahun di pesisir Bagan Percut seperti ‘gile’, ‘pedo’, ‘palemu’ dan ‘punyamu tak de, punya akak tak de, awak punya tige’. Namun, tuturan ini lebih sering digunakan anak usia 5-7 tahun sebagai bentuk pembanggaan terhadap dirinya sendiri atau terhadap barang yang dia miliki.

Dari kedua bentuk tuturan tersebut, maksim (prinsip,) kesantunan berbahasa lebih banyak terpenuhi oleh tuturan anak-anak di Labuhanbilik. Meliputi, maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim penghargaan, maksim kesimpatisan, dan maksim permufakatan. Sementara itu, maksim pada tuturan anak di Bagan Percut hanya beberapa di antaranya terpenuhi. “Masyarakat yang tinggal di pesisir Labuhanbilik dan Bagan Percut sebaiknya lebih menjaga setiap ucapan yang akan dilontarkan. Sebab, ucapan-ucapan tersebut akan diserap oleh masyarakat anak-anak yang tidak sepantasnya diucapkan oleh mereka,” sebut Devi.

Hasil sementara penelitian yang diperoleh sudah menunjukkan masih sedikit sekali tuturan yang memenuhi prinsip kesantunan berbahasa dari kedua daerah pesisir. Meskipun, diakui oleh masyarakat sekitar bahwa tuturan tersebut dianggap sudah menjadi hal yang wajar. Akan tetapi, tuturan itu tidak layak digunakan oleh anak-anak yang masih dalam proses penyerapan bahasa. (ris/azw)

 

 

Anak-anak di Labuhanbilik Desa Telaga Suka Kabupaten Labuhan Batu sedang berbincang sambil bermain. (Istimewa)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kesantunan bahasa amat penting di mana pun individu berada. Mengingat, pemilihan kata yang tepat apabila disampaikan dengan cara kasar akan tetap dianggap kurang santun. Seperti bahasa yang digunakan masyarakat pesisir pantai yang terkenal dengan perwatakannya.

Hal tersebut dikatakan, Devi Yuyun Sari, mahasiswi Program Studi (Prodi) Sastra Indonesia Universitas Negeri Medan (Unimed) yang melalukan penelitian di Labuhanbilik Desa Telagasuka Kabupaten Labuhanbatu dan Bagan Percut Kabupaten Deliserdang dalam keterangan tertulisnya yang dikirim, kemarin

Menurut Devi, di Labuhanbilik Desa Telagasuka Kabupaten Labuhanbatu, keseharian mereka, sering menggunakan ucapan, ‘Buj… Amak Men. Bagi masyarakata awam ucapan tersebut dianggap sebagai suatu fenomena yang kurang santun. Dikarenakan, ucapan-ucapan itu mengandung unsur vulgar seperti yang artinya mengarah kepada hal kemaluan ibu. Ucapan-ucapan ini kemudian bisa diserap oleh anak-anak di daerah tersebut. Hal ini dapat menimbulkan dampak buruk bagi anak-anak, terutama usia 5-10 tahun yang masih proses penyerapan bahasa.

Sementara, di pesisir Bagan Percut Desa Percut Kabupaten Deliserdang juga dijumpai ucapan-ucapan seperti ‘palemu’ dan ‘pedo’. Akan tetapi, tuturan ini tidak mengandung unsur vulgar di daerah tersebut. “Kedua fenomena ini menjadi bukti bahwa masyarakat pesisir memang tuturan kesantunannya masih kurang, meski demikian, kedua pesisir ternyata memiliki bentuk kesantunan yang berbeda,” beber Devi Yuyun Sari.

Diungkapkannya, bentuk kesantunan anak di pesisir Labuhanbilik seperti ‘bujas la’, ‘kosah ken’, ‘nondak aku’ dan ‘Buj… amak men’. Anak usia 5-7 tahun sering menggunakan tuturan yang pertama, kedua dan ketiga. Tapi tidak menutup kemungkinan anak seusia mereka juga menggunakan tuturan keempat, namun tingkat penggunaannya lebih minim. Anak usia 8-10 tahun sering menggunakan tuturan ini sebagai bentuk marah ataupun candaan ketika bermain di lingkungan sebaya.

Beda dengan Bentuk tuturan anak-anak 5-10 tahun di pesisir Bagan Percut seperti ‘gile’, ‘pedo’, ‘palemu’ dan ‘punyamu tak de, punya akak tak de, awak punya tige’. Namun, tuturan ini lebih sering digunakan anak usia 5-7 tahun sebagai bentuk pembanggaan terhadap dirinya sendiri atau terhadap barang yang dia miliki.

Dari kedua bentuk tuturan tersebut, maksim (prinsip,) kesantunan berbahasa lebih banyak terpenuhi oleh tuturan anak-anak di Labuhanbilik. Meliputi, maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim penghargaan, maksim kesimpatisan, dan maksim permufakatan. Sementara itu, maksim pada tuturan anak di Bagan Percut hanya beberapa di antaranya terpenuhi. “Masyarakat yang tinggal di pesisir Labuhanbilik dan Bagan Percut sebaiknya lebih menjaga setiap ucapan yang akan dilontarkan. Sebab, ucapan-ucapan tersebut akan diserap oleh masyarakat anak-anak yang tidak sepantasnya diucapkan oleh mereka,” sebut Devi.

Hasil sementara penelitian yang diperoleh sudah menunjukkan masih sedikit sekali tuturan yang memenuhi prinsip kesantunan berbahasa dari kedua daerah pesisir. Meskipun, diakui oleh masyarakat sekitar bahwa tuturan tersebut dianggap sudah menjadi hal yang wajar. Akan tetapi, tuturan itu tidak layak digunakan oleh anak-anak yang masih dalam proses penyerapan bahasa. (ris/azw)

 

 

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/