SUMUTPOS.CO – Kota Denpasar, Provinsi Bali sepertinya bisa dijadikan kiblat bagi seluruh daerah di Indonesia termasuk Medan, dalam hal penataan trotoar sebagai fasilitas umum (fasum) yang bebas dari papan reklame, pedagang kaki lima (PKL) dan lainnya.
Semangat Pemerintah Kota Medan mensterilkan trotoar melalui Perda Penyelenggaraan Reklame nantinya, diharapkan mampu menjadikan Ibukota Provinsi Sumut setara dengan Kota Denpasar dalam hal penataan trotoar.
Hampir sulit ditemukan gangguan pemandangan tak elok pada setiap trotoar yang ada di Kota Denpasar, baik adanya lapak-lapak PKL, tiang-tiang reklame, parkir kenderaan roda dua, dan lainnya. Trotoar yang merupakan fasum atau ruang milik jalan (rumija) di sana, begitu steril dari gangguan-gangguan tersebut.
Sangat kontras bila ingin dibandingkan kondisi itu di Kota Medan, Ibukota Provinsi Sumut. Trotoar yang harusnya menjadi hak pejalan kaki, justru digerus keberadaannya oleh lapak PKL dan tiang-tiang reklame yang banyak tanpa izin, serta tak memberi kontribusi pendapatan asli daerah (PAD).
Menilik lebih jauh, keberadaan trotoar sejatinya bermaksud mempercantik tata ruang dan wilayah dari suatu kota. Meski kondisi jalanan yang sempit, keberadaan trotoar yang tertata rapi justru menjadi kunci keindahan sebuah kota itu. Di Medan, luas jalan bisa dibilang dua kali lebih besar dari Kota Denpasar. Ya, mayoritas jalan di Provinsi Bali terutama Denpasar sebagai ibukota, sangatlah minimalis.
SUMUTPOS.CO – Kota Denpasar, Provinsi Bali sepertinya bisa dijadikan kiblat bagi seluruh daerah di Indonesia termasuk Medan, dalam hal penataan trotoar sebagai fasilitas umum (fasum) yang bebas dari papan reklame, pedagang kaki lima (PKL) dan lainnya.
Semangat Pemerintah Kota Medan mensterilkan trotoar melalui Perda Penyelenggaraan Reklame nantinya, diharapkan mampu menjadikan Ibukota Provinsi Sumut setara dengan Kota Denpasar dalam hal penataan trotoar.
Hampir sulit ditemukan gangguan pemandangan tak elok pada setiap trotoar yang ada di Kota Denpasar, baik adanya lapak-lapak PKL, tiang-tiang reklame, parkir kenderaan roda dua, dan lainnya. Trotoar yang merupakan fasum atau ruang milik jalan (rumija) di sana, begitu steril dari gangguan-gangguan tersebut.
Sangat kontras bila ingin dibandingkan kondisi itu di Kota Medan, Ibukota Provinsi Sumut. Trotoar yang harusnya menjadi hak pejalan kaki, justru digerus keberadaannya oleh lapak PKL dan tiang-tiang reklame yang banyak tanpa izin, serta tak memberi kontribusi pendapatan asli daerah (PAD).
Menilik lebih jauh, keberadaan trotoar sejatinya bermaksud mempercantik tata ruang dan wilayah dari suatu kota. Meski kondisi jalanan yang sempit, keberadaan trotoar yang tertata rapi justru menjadi kunci keindahan sebuah kota itu. Di Medan, luas jalan bisa dibilang dua kali lebih besar dari Kota Denpasar. Ya, mayoritas jalan di Provinsi Bali terutama Denpasar sebagai ibukota, sangatlah minimalis.