26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Tito Karnavian: Jadi Kapolri Saja, Saya Digebukin Terus Ya…

Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian.

WASHINGTON DC, SUMUTPOS.CO – Kalimat itu mengalir pelan tapi pasti. Disampaikan oleh Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian, saat ditanya VOA soal ketertarikannya untuk jadi Presiden atau Wakil Presiden.

Tito melanjutkan, “Saya merasakan jadi Kapolri saja, saya digebukin terus ya…” Dia memilih untuk menjadi dosen internasional bidang kontra terorisme bila pensiun dari jabatan Kapolri, “Itu obsesi saya,” tukasnya.

Kapolri berada di Amerika selama lima hari untuk menghadiri forum diskusi kontra terorisme di PBB kemudian dilanjutkan perjalanan darat menuju Washington DC. Di ibukota Amerika, Jenderal Polisi Tito Karnavian bertemu dengan direktur FBI Christopher Asher Wray dan penasehat presiden AS bidang keamanan dalam negeri Thomas Bossert, disusul beberapa pertemuan lain.

Salah satu yang menarik perhatian internasional adalah dinamika kehidupan politik Indonesia saat ini. Dimana perbedaan pendapat menjadi lebih gaduh karena dunia maya. Situasi politik terkini Indonesia dikhawatirkan beberapa duta besar dan utusan negara asing di forum diskusi PBB. Pun, Gedung Putih menyampaikan perhatian yang sama.

“This is the price we’ve to pay… Being a democratic society,” kutipan jawaban Tito atas kekhawatiran yang muncul. Hal itu adalah harga yang harus kita bayar karena kita memilih jalan demokrasi. Semua paham merasa boleh masuk, termasuk paham radikal.

Ada pengalaman khusus rombongan Kapolri. Pada hari Selasa 31 Oktober 2017 terjadi aksi teror. Pemuda asal Uzbekistan melakukan serangan dengan menggunakan truk. Truk menerjangi pesepeda dan pejalan kaki di kawasan Lower Manhattan. Delapan orang meninggal. Ada catatan yang ditinggal pelaku, mengaku ISIS adalah pengabdiannya.

“Memang ada fenomena baru semenjak social media dan internet, yaitu yang disebut dengan lone wolf, di mana mereka meradikalisasi sendiri.”

Pola serangan dengan memanfaatkan media online juga sudah terjadi di Indonesia seperti serangan bom di Kampung Melayu. Tetapi Tito menangkap ada perbedaan dengan serangan teror di Amerika dan negara Barat lain.

“Mereka betul belajar cara membuat bom (melalui) online, belajar online, mensurvei lokasi online tapi masih tetap berhubungan dengan jaringan. Pertemuan dengan jaringan masih terjadi dalam kasus di Indonesia.” (ab/voa)

Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian.

WASHINGTON DC, SUMUTPOS.CO – Kalimat itu mengalir pelan tapi pasti. Disampaikan oleh Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian, saat ditanya VOA soal ketertarikannya untuk jadi Presiden atau Wakil Presiden.

Tito melanjutkan, “Saya merasakan jadi Kapolri saja, saya digebukin terus ya…” Dia memilih untuk menjadi dosen internasional bidang kontra terorisme bila pensiun dari jabatan Kapolri, “Itu obsesi saya,” tukasnya.

Kapolri berada di Amerika selama lima hari untuk menghadiri forum diskusi kontra terorisme di PBB kemudian dilanjutkan perjalanan darat menuju Washington DC. Di ibukota Amerika, Jenderal Polisi Tito Karnavian bertemu dengan direktur FBI Christopher Asher Wray dan penasehat presiden AS bidang keamanan dalam negeri Thomas Bossert, disusul beberapa pertemuan lain.

Salah satu yang menarik perhatian internasional adalah dinamika kehidupan politik Indonesia saat ini. Dimana perbedaan pendapat menjadi lebih gaduh karena dunia maya. Situasi politik terkini Indonesia dikhawatirkan beberapa duta besar dan utusan negara asing di forum diskusi PBB. Pun, Gedung Putih menyampaikan perhatian yang sama.

“This is the price we’ve to pay… Being a democratic society,” kutipan jawaban Tito atas kekhawatiran yang muncul. Hal itu adalah harga yang harus kita bayar karena kita memilih jalan demokrasi. Semua paham merasa boleh masuk, termasuk paham radikal.

Ada pengalaman khusus rombongan Kapolri. Pada hari Selasa 31 Oktober 2017 terjadi aksi teror. Pemuda asal Uzbekistan melakukan serangan dengan menggunakan truk. Truk menerjangi pesepeda dan pejalan kaki di kawasan Lower Manhattan. Delapan orang meninggal. Ada catatan yang ditinggal pelaku, mengaku ISIS adalah pengabdiannya.

“Memang ada fenomena baru semenjak social media dan internet, yaitu yang disebut dengan lone wolf, di mana mereka meradikalisasi sendiri.”

Pola serangan dengan memanfaatkan media online juga sudah terjadi di Indonesia seperti serangan bom di Kampung Melayu. Tetapi Tito menangkap ada perbedaan dengan serangan teror di Amerika dan negara Barat lain.

“Mereka betul belajar cara membuat bom (melalui) online, belajar online, mensurvei lokasi online tapi masih tetap berhubungan dengan jaringan. Pertemuan dengan jaringan masih terjadi dalam kasus di Indonesia.” (ab/voa)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/