26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Dituding Jadi Broker, Ibu Negara Menangis

SBY Dibantai Media Australia

JAKARTA-Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ny Ani Yudhoyono, Megawati dan Taufik Kiemas, Jusuf Kalla dan sejumlah tokoh politik mendapat serangan 11 Maret 2011 berupa informasi yang memojokkan. tapi tanpa data, bukti akurat dan dokumen.

Adalah harian Australia, The Age dan Sidney Morning Herald edisi Jumat, 11 Maret 2011, kompak menurunkan berita utama dengan judul Yudhohono Abused Power (Yudhoyono Menyalahgunakan Kekuasaan). Isi beritanya memojokkan SBY dan kroni-kroninya serta sejumlah politisi. Laporan harian itu berdasarkan kawat-kawat diplomatik rahasia kedutaan besar Amerika Serikat di Jakarta yang bocor ke situs WikiLeaks.

Kawat-kawat diplomatik tersebut, yang diberikan WikiLeaks khusus untuk The Age dan Sidney Morning Herald, mengatakan, Yudhoyono secara pribadi telah campur tangann
untuk memengaruhi jaksa dan hakim demi melindungi tokoh-tokoh politik korup dan menekan musuh-musuhnya serta menggunakan badan intelijenn
negara demi memata-matai saingan politik dan, setidaknya, seorang menteri senior dalam pemerintahannya sendiri.
Kawat-kawat itu juga merinci bagaimana mantan wakil presiden Jusuf Kalla pada Desember 2004 dilaporkan telah membayar jutaan dolar AS, sebagai uang suap, agar bisa memegang kendali atas Partai Golkar. Kawat-kawat itu juga mengungkapkan bahwa istri presiden, Kristiani Herawati, dan keluarga dekatnya ingin memperkaya diri melalui koneksi politik mereka.

Laporan The Age dan Sidney Morning Herald itu muncul saat Wakil Presiden Boediono mengunjungi Canberra, hari ini, untuk berbicara dengan Wayne Swan yang bertindak sebagai Perdana Menteri Australia, dan berdiskusi dengan para pejabat negara itu tentang perubahan administratif untuk mereformasi birokrasi di Indonesia.

Laporan-laporan diplomatik AS tersebut mengatakan, segera setelah menjadi presiden pada tahun 2004, Yudhoyono mengintervensi kasus Taufik Kiemas, suami mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Yudhoyono dilaporkan telah meminta Hendarman Supandji, waktu itu Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus, menghentikan upaya penuntutan terhadap Taufik Kiemas untuk apa yang para diplomat AS gambarkan sebagai ’korupsi selama masa jabatan istrinya’.
Pada Desember 2004, kedutaan AS di Jakarta melaporkan bahwa salah satu informan politiknya yang paling berharga, yaitu penasihat senior Yudhoyono sendiri, TB Silalahi, sudah menyarankan Hendarman Supandji yang telah mengumpulkan cukup bukti tentang korupsi Taufik Kiemas untuk menangkap Taufik.
Namun, Silalahi, salah seorang kepercayaan Yudhoyono di bidang politik, mengatakan kepada kedutaan AS bahwa Presiden secara pribadi telah memerintahkan Hendarman untuk tidak melanjutkan kasus Taufik. Tidak ada proses hukum yang diajukan terhadap Taufik, seorang tokoh politik berpengaruh yang kini menjadi Ketua MPR.
Selain menyebut Presiden Yudhoyono menyalahgunakan kekuasaan, koran Australia itu juga menuduh mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) membayar 6 juta dolar AS untuk memenangi suara dalam Kongres Partai Golkar pada Desember 2004.
“Dalam Kongres yang dihadiri 3.000 peserta perlu akomodasi dan apalagi menggunakan uang sendiri. Saya kira itu bisa dipertanggungjawabkan. Biasanya yang menang (dalam Kongres) itu membantu peserta kongres untuk tiket pulang dan hotel dan itu kita bantu,” kata Jusuf Kalla kemarin.
Dua media terkemuka Australia itu juga menuding Ibu Negara Ani Yudhoyono turut menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri. Bahkan, Ibu Negara disebut broker dan melakukan bisnis dengan sejumlah pengusaha Indonesia.
Membaca berita tersebut, Ibu Negara dikatakan terpukul dan tak kuasa menahan air mata dan menangis. “Ibu Negara terus terang menangis (disebut broker),” kata Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi di Kompleks Istana Kepresidenan, kemarin.
Sudi pun sempat memaparkan kalimat pertama yang meluncur dari mulut Ibu Negara setelah membaca berita yang dinilai menjijikkan tersebut. “Naudzubillah, itu tidak kita lakukan, tapi itu dikatakan bahwa kita melakukannya,” ujar Sudi, meniru ucapan Ibu Negara.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa pun mengecam pemberitaan tersebut. “Kita, kan, bergaul dengan Ibu Negara. Beliau mendedikasikan dirinya mendampingi Presiden, full. Dedikasinya untuk membangun rumah pintar, mobil pintar, semua aktivitas sosial. Seluruh kegiatan beliau transparan,” kata Hatta.
Sudi dan Hatta menambahkan, Ibu Negara tak akan memberikan pernyataan langsung terkait tuduhan yang disampaikan The Age dan Sydney Morning Herald.
Pihak Istana Kepresidenan RI menyebut bahwa hal tersebut tak lebih dari gosip. Tuduhan-tuduhan yang dipaparkan harian tersebut tak lebih dari informasi yang belum diverifikasi.
“Informasi dari sumber disebutkan dari Amerika Serikat. Namun yang kami ketahui, berdasarkan komunikasi dengan Kedubes AS selama ini, dikatakan bahwa informasi yang disampaikan itu lebih banyak informasi yang mentah dan belum diolah. Informasi yang menurut mereka perlu dikirimkan hanya untuk sekadar diketahui, sementara kandungan dari informasi itu masih sangat sumir,” kata Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah.
Faizasyah juga meminta agar media melakukan klarifikasi kepada tokoh-tokoh yang menjadi obyek pemberitaan. “Jadi apakah itu desas-desus, apakah itu gosip yang mereka laporkan, silakan dicek kebenarannya. Jadi, sejauh pengamatan kami, hal yang tidak memiliki kebenaran bahkan lebih bisa disebut sebagai gosip. Informasi yang tidak memiliki kredibilitas,” katanya.
Terkait substansi pemberitaan, Faizasyah enggan memberikan tanggapan. “Bagaimana kita bisa mengomentari sesuatu yang bersifat mentah dan cenderung mengada-ada,” ujarnya.
Pemerintah Indonesia menyatakan protes keras kepada Pemerintah Amerika Serikat terkait berita yang dilansir harian The Age dan Sydney Morning Herald edisi 11 Maret 2011. Demikian pernyataan resmi Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa di Kementerian Luar Negeri. “Hari ini kami telah meminta kehadiran Bapak Dubes AS bukan saja menyampaikan protes keras melainkan melalui Bapak Dubes meminta penjelasan dan klarifikasi Pemerintah AS mengenai laporan yang dimaksud,” katanya.
Marty menegaskan, apa yang dikutip kedua harian Australia dari WikiLeaks tersebut tidak benar dan bahkan tidak masuk akal. Bertolak belakang dengan kondisi Indonesia dalam 10 tahun ini. “Indonesia telah menjadi negara demokratis. Indonesia yang senantiasa bekerja keras memerangi korupsi meningkatkan prinsip good governance atau alat kelola pemerintahan yang baik dan supremasi hukum,” ujar Marty.
Kedutaan Besar Amerika Serikat menjelaskan, informasi yang dimuat kedua harian Australia itu merupakan informasi yang masih mentah, prematur, dan belum lengkap. Apa yang dikatakan terkait Presiden SBY itu tidak dapat dijadikan bukti yang benar.
“Laporan tersebut bukan mengeskpresikan kebijakan maupun putusan akhir dari kebijakan dan tidak bisa dijadikan bukti yang benar. Dokumen tersebut tidak bisa dilihat berdiri sendiri atau mewakili sikap Pemerintah AS,” ujar Scott Marciel.
Menurut Scott, jenis publikasi yang dilakukan dua media tersebut sangat tidak bertanggung jawab. Atas nama Kedutaan Besar AS, Scott menyampaikan rasa prihatin yang mendalam kepada Presiden dan seluruh bangsa Indonesia. (net/bbs/jpnn)

SBY Dibantai Media Australia

JAKARTA-Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ny Ani Yudhoyono, Megawati dan Taufik Kiemas, Jusuf Kalla dan sejumlah tokoh politik mendapat serangan 11 Maret 2011 berupa informasi yang memojokkan. tapi tanpa data, bukti akurat dan dokumen.

Adalah harian Australia, The Age dan Sidney Morning Herald edisi Jumat, 11 Maret 2011, kompak menurunkan berita utama dengan judul Yudhohono Abused Power (Yudhoyono Menyalahgunakan Kekuasaan). Isi beritanya memojokkan SBY dan kroni-kroninya serta sejumlah politisi. Laporan harian itu berdasarkan kawat-kawat diplomatik rahasia kedutaan besar Amerika Serikat di Jakarta yang bocor ke situs WikiLeaks.

Kawat-kawat diplomatik tersebut, yang diberikan WikiLeaks khusus untuk The Age dan Sidney Morning Herald, mengatakan, Yudhoyono secara pribadi telah campur tangann
untuk memengaruhi jaksa dan hakim demi melindungi tokoh-tokoh politik korup dan menekan musuh-musuhnya serta menggunakan badan intelijenn
negara demi memata-matai saingan politik dan, setidaknya, seorang menteri senior dalam pemerintahannya sendiri.
Kawat-kawat itu juga merinci bagaimana mantan wakil presiden Jusuf Kalla pada Desember 2004 dilaporkan telah membayar jutaan dolar AS, sebagai uang suap, agar bisa memegang kendali atas Partai Golkar. Kawat-kawat itu juga mengungkapkan bahwa istri presiden, Kristiani Herawati, dan keluarga dekatnya ingin memperkaya diri melalui koneksi politik mereka.

Laporan The Age dan Sidney Morning Herald itu muncul saat Wakil Presiden Boediono mengunjungi Canberra, hari ini, untuk berbicara dengan Wayne Swan yang bertindak sebagai Perdana Menteri Australia, dan berdiskusi dengan para pejabat negara itu tentang perubahan administratif untuk mereformasi birokrasi di Indonesia.

Laporan-laporan diplomatik AS tersebut mengatakan, segera setelah menjadi presiden pada tahun 2004, Yudhoyono mengintervensi kasus Taufik Kiemas, suami mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Yudhoyono dilaporkan telah meminta Hendarman Supandji, waktu itu Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus, menghentikan upaya penuntutan terhadap Taufik Kiemas untuk apa yang para diplomat AS gambarkan sebagai ’korupsi selama masa jabatan istrinya’.
Pada Desember 2004, kedutaan AS di Jakarta melaporkan bahwa salah satu informan politiknya yang paling berharga, yaitu penasihat senior Yudhoyono sendiri, TB Silalahi, sudah menyarankan Hendarman Supandji yang telah mengumpulkan cukup bukti tentang korupsi Taufik Kiemas untuk menangkap Taufik.
Namun, Silalahi, salah seorang kepercayaan Yudhoyono di bidang politik, mengatakan kepada kedutaan AS bahwa Presiden secara pribadi telah memerintahkan Hendarman untuk tidak melanjutkan kasus Taufik. Tidak ada proses hukum yang diajukan terhadap Taufik, seorang tokoh politik berpengaruh yang kini menjadi Ketua MPR.
Selain menyebut Presiden Yudhoyono menyalahgunakan kekuasaan, koran Australia itu juga menuduh mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) membayar 6 juta dolar AS untuk memenangi suara dalam Kongres Partai Golkar pada Desember 2004.
“Dalam Kongres yang dihadiri 3.000 peserta perlu akomodasi dan apalagi menggunakan uang sendiri. Saya kira itu bisa dipertanggungjawabkan. Biasanya yang menang (dalam Kongres) itu membantu peserta kongres untuk tiket pulang dan hotel dan itu kita bantu,” kata Jusuf Kalla kemarin.
Dua media terkemuka Australia itu juga menuding Ibu Negara Ani Yudhoyono turut menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri. Bahkan, Ibu Negara disebut broker dan melakukan bisnis dengan sejumlah pengusaha Indonesia.
Membaca berita tersebut, Ibu Negara dikatakan terpukul dan tak kuasa menahan air mata dan menangis. “Ibu Negara terus terang menangis (disebut broker),” kata Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi di Kompleks Istana Kepresidenan, kemarin.
Sudi pun sempat memaparkan kalimat pertama yang meluncur dari mulut Ibu Negara setelah membaca berita yang dinilai menjijikkan tersebut. “Naudzubillah, itu tidak kita lakukan, tapi itu dikatakan bahwa kita melakukannya,” ujar Sudi, meniru ucapan Ibu Negara.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa pun mengecam pemberitaan tersebut. “Kita, kan, bergaul dengan Ibu Negara. Beliau mendedikasikan dirinya mendampingi Presiden, full. Dedikasinya untuk membangun rumah pintar, mobil pintar, semua aktivitas sosial. Seluruh kegiatan beliau transparan,” kata Hatta.
Sudi dan Hatta menambahkan, Ibu Negara tak akan memberikan pernyataan langsung terkait tuduhan yang disampaikan The Age dan Sydney Morning Herald.
Pihak Istana Kepresidenan RI menyebut bahwa hal tersebut tak lebih dari gosip. Tuduhan-tuduhan yang dipaparkan harian tersebut tak lebih dari informasi yang belum diverifikasi.
“Informasi dari sumber disebutkan dari Amerika Serikat. Namun yang kami ketahui, berdasarkan komunikasi dengan Kedubes AS selama ini, dikatakan bahwa informasi yang disampaikan itu lebih banyak informasi yang mentah dan belum diolah. Informasi yang menurut mereka perlu dikirimkan hanya untuk sekadar diketahui, sementara kandungan dari informasi itu masih sangat sumir,” kata Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah.
Faizasyah juga meminta agar media melakukan klarifikasi kepada tokoh-tokoh yang menjadi obyek pemberitaan. “Jadi apakah itu desas-desus, apakah itu gosip yang mereka laporkan, silakan dicek kebenarannya. Jadi, sejauh pengamatan kami, hal yang tidak memiliki kebenaran bahkan lebih bisa disebut sebagai gosip. Informasi yang tidak memiliki kredibilitas,” katanya.
Terkait substansi pemberitaan, Faizasyah enggan memberikan tanggapan. “Bagaimana kita bisa mengomentari sesuatu yang bersifat mentah dan cenderung mengada-ada,” ujarnya.
Pemerintah Indonesia menyatakan protes keras kepada Pemerintah Amerika Serikat terkait berita yang dilansir harian The Age dan Sydney Morning Herald edisi 11 Maret 2011. Demikian pernyataan resmi Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa di Kementerian Luar Negeri. “Hari ini kami telah meminta kehadiran Bapak Dubes AS bukan saja menyampaikan protes keras melainkan melalui Bapak Dubes meminta penjelasan dan klarifikasi Pemerintah AS mengenai laporan yang dimaksud,” katanya.
Marty menegaskan, apa yang dikutip kedua harian Australia dari WikiLeaks tersebut tidak benar dan bahkan tidak masuk akal. Bertolak belakang dengan kondisi Indonesia dalam 10 tahun ini. “Indonesia telah menjadi negara demokratis. Indonesia yang senantiasa bekerja keras memerangi korupsi meningkatkan prinsip good governance atau alat kelola pemerintahan yang baik dan supremasi hukum,” ujar Marty.
Kedutaan Besar Amerika Serikat menjelaskan, informasi yang dimuat kedua harian Australia itu merupakan informasi yang masih mentah, prematur, dan belum lengkap. Apa yang dikatakan terkait Presiden SBY itu tidak dapat dijadikan bukti yang benar.
“Laporan tersebut bukan mengeskpresikan kebijakan maupun putusan akhir dari kebijakan dan tidak bisa dijadikan bukti yang benar. Dokumen tersebut tidak bisa dilihat berdiri sendiri atau mewakili sikap Pemerintah AS,” ujar Scott Marciel.
Menurut Scott, jenis publikasi yang dilakukan dua media tersebut sangat tidak bertanggung jawab. Atas nama Kedutaan Besar AS, Scott menyampaikan rasa prihatin yang mendalam kepada Presiden dan seluruh bangsa Indonesia. (net/bbs/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/