SUMBAR, SUMUTPOS.CO – Sebagian warga Sumatera Barat (Sumbar) memiliki tradisi menjelang menunaikan ibadah puasa. Namanya Balimau alias mandi bersama-sama. Bahkan kalangan muda-mudi tak afdol rasanya puasa tanpa prosesi Balimau.
Dulu, Balimau hanya digelar bersama keluarga besar dengan cara mandi di tepi sungai. Biasanya mandi menggunakan air dicampur jeruk nipis dan dilaksanakan sore hari atau selepas salat ashar.
“Mandi biasa saja. Niatnya membersihkan diri untuk berpuasa esok harinya,” kata Anwar Malin Sati, 56, tetua kampung di Nagari (Desa) Salayo, Kabupaten Solok, Sumbar, Rabu (16/5).
Tapi lama kelamaan, Balimau menjadi lebih fulgar. Prosesinya tak lagi dilakukan bersama keluarga. Bahkan, banyak muda-mudi yang menggelar Balimau jauh dari lokasi rumahnya. Yakni dengan pergi ke sebuah pemandian umum. Seperti di Danau Singkarak, mata air dan sebagainya.
Hal itu yang sering kali diributkan masyarakat dan ditentang para ulama. “Dulu, Balimau digelar di pemandian dekat rumah. Bersama anak, istri dan keluarga dekat. Tapi kini, Balimau justru dilakukan dengan cara hura-hura seperti bertamasya,” bebernya.
Bahkan, kebiasaan Balimau justru dilakukan dengan menggelar pesta organ tunggal dan sebagainya. Merembetnya tradisi Balimau menjadi ajang hura-hura di kalangan generasi muda, berulang kali diingatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar. Apalagi esensi Balimau dikaitkan dengan Ramadan.
Ketua MUI Sumbar Buya Gusrizal Gazahar mengatakan, ulama tidak melarang seseorang mandi. Namun jika dijadikan sebuah ritual yang harus dilakukan atau bahkan memandang puasanya akan afdol, Ramadan akan lebih baik dengan balimau. Itu harus diluruskan.
“Tidak ada petunjuk syariat Islam tentang mandi Balimau sebelum masuk Ramadan. Semua orang belajar fiqih. Apakah ada mandi sunah sebelum Ramadan? Tidak ada kan? Ini harus kami luruskan,” terang dosen usul fiqih itu.
Lantas, kebiasaan Balimau juga dikaitkan dengan tradisi turun-temurun. Dalam kajian Islam, analisis ketentuan syariat dalam ilmu usul mengkaji muara dari sebuah kegiatan. Apakah itu membawa kemaslahatan umat atau malah lebih kepada mudaratnya.
Sebagian besar ulama memandang bahwa Balimau memiliki lebih banyak mudarat ketimbang maslahatnya. Sebab dalam Balimau, baik di sungai atau di mana saja, laki-laki dan perempuan mencebur mandi ke tempat yang sama. Tidak jelas lagi batasan aurat, mana mahram, dan mana yang tidak.
“Apakah itu yang diridhoi Allah? Tidak kan? Balimau juga dijadikan ajang pacaran muda-mudi. Masa pergi Balimau ke Puncak Lawang. Mana ada air di sana. Jadi ini jelas membuka peluang kemaksiatan. Tapi masih dianggap hal biasa dan permisif saja,” beber lulusan Al-Azhar, Mesir itu.
Amat tidak baik jika menyambut Ramadan dilakukan dengan cara-cara yang dekat dengan kemaksiatan. “Makanya, MUI mengimbau untuk menghentikan kebiasaan itu. Sebab mudaratnya lebih besar ketimbang manfaatnya,” tegas Gus Rizal. (rcc/JPC/ram)