BKN Tunggu Pengaduan Korban Mutasi
JAKARTA-Kesabaran Mendagri Gamawan Fauzi tinggal tersisa sedikit. Tidak puas dengan laporan dari Plt Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho terkait mutasi besar-besaran di jajaran Pemprov Sumut, Gamawan mengancam akan segera mengeluarkan surat teguran kedua kepada Gatot.
“Kita akan tegur lagi. Kalau tidak segera bersikap, kita tegur lagi,” ujar Gamawan Fauzi kepada Sumut Pos di kantornya, Jakarta, kemarin (7/10).
Meski tidak menyebutkan bagaimana isi laporan dari Gatot yang sudah diterimanya, Gamawan memberi sinyal kekecewaaanya atas laporan Gatot itu. Kemungkinan besar, laporan Gatot sama sekali tidak mengubah atau menganulir mutasi besar-besaran yang telah dilakukannya, seperti diminta Gamawan. Sumber koran ini menyebut, laporan Gatot memang sama sekali tidak masuk pada substansi yang dikehendaki mantan gubernur Sumbar itu. Karenanya, Gamawan kecewa dan akan melayangkan surat teguran kedua yang sudah tentu lebih keras.
“Kan baru sekali kita tegur. Kita akan kirim teguran lagi,” ujar Gamawan singkat, lantaran buru-buru mengejar waktu untuk agenda kerja di luar kantor.
Terpisah, Kepala Biro Humas Badan Kepegawaian Negara (BKN) Aris Windiyanto menyarankan, para pejabat yang merasa menjadi korban kebijakan mutasi ngawur bisa membuat pengaduan ke BKN. Pengaduan itu nantinya ditelaah Deputi Pengendalian Kepegawaian BKN.
Aris mengatakan, pengaduan dari sejumlah daerah terkait kebijakan mutasi, juga banyak yang masuk ke BKN. “Bahkan Deputi Pengendalian Kepegawaian turun ke lapangan untuk mengecek laporan itu,” ujar Aris Dari hasil pengecekan, jika ternyata benar mutasi dilakukan secara ngawur, BKN akan mengeluarkan rekomendasi ke kepala daerah bahwa mutasi yang dilakukan melanggar aturan.
Upaya lain yang bisa dilakukan para korban kebijakan Gatot, kata Aris, dengan melakukan pendekatan-pendekatan ke pejabat yang memutasi. “Mengajukan gugatan ke PTUN adalah langkah terakhir setelah pendekatan-pendekatan gagal. Di daerah mana saya lupa, juga mengajukan gugatan ke PTUN dan berhasil,” ujarnya.
BKN, lanjutnya, menyayangkan kebijakan Gatot, yang sudah tentu akan menimbulkan keresahan di internal Pemprov Sumut. “Yang seperti ini, karena para PNS resah, yang rugi ya pemprov sebagai institusi, dan ujung-ujungnya pimpinannya sendiri yang rugi, karena kinerja anak buah tak maksimal,” kata Aris.
Dijelaskan, BKN sendiri sudah sering melakukan sosialisasi aturan terkait dengan pengangkatan PNS dalam jabatan struktural, yakni PP Nomor 100 Tahun 2000, yang diubah menjadi PP Nomor 13 Tahun 2002.
Aturan ini untuk memberikan panduan agar pengangkatan pejabat karier PNS dalam jabatan struktural dan kepangkatan, sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan perundangan yang berlaku. Pengangkatan harus berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras atau golongan.
Aris juga menjelaskan, pemberhentian PNS dari jabatannya, alias non job, juga tak boleh sembarangan. Sudah diatur di PP bahwa PNS diberhentikan dari jabatan struktural karena, mengundurkan diri dari jabatannya, mencapai batas usia pensiun, diberhentikan sebagai PNS, diangkat dalam jabatan struktural lainnya atau jabatan fungsional, cuti diluar tanggungan negara. “Kecuali cuti diluar tanggungan negara karena persalinan.”
Selain itu, karena tugas belajar lebih dari enam bulan, adanya perampingan organisasi pemerintah, tidak memenuhi persyaratan kesehatan jasmani dan rohani, dan hal lain yang ditetapkan perundangan yang berlaku.
Terkait masalah ini, sebelumnya pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sigit Pamungkas, menyarankan agar para pejabat yang dimutasi melakukan perlawanan secara terbuka terjadap kebijakan Gatot itu. Bila perlu, aksi terbuka juga dilakukan seluruh PNS di jajaran Pemprov Sumut.
Berdasarkan pengalaman kasus di Kabupaten Temanggung pada 2005, para PNS yang menggelar aksi mogok kerja, berhasil melakukan perlawanan terhadap Bupati Temanggung saat itu, Totok Ary Prabowo yang dinilai sewenang-wenang dan berbuntut langkah dewan yang menggunakan hak angket dan interpelasi.
“Kasus Temanggung adalah sebuah preseden, jika birokrasi kompak maka bisa mengalahkan kekuatan politik yang sewenang-wenang. Jika birokrasi lemah, maka gampang dipecah-pecah oleh politisasi birokrasi,” kata Sigit Pamungkas, yang juga dosen pascasarjana Ilmu Politik UGM itu, kepada koran ini, Kamis (7/10). (sam)