30 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

Jurus Mengelabui Bawaslu Jelang Pencoblosan, Money Politics Dinamai, ‘Buah Tangan’

Ayo memilih

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sosialisasi dengan cara door to door yang dilakukan para caleg, dinilai membuka peluang terjadinya politik uang (money politics). Sebab, para caleg bisa dengan leluasa melakukan ‘transaksi’ dengan konstituen yang ditemuinya. Untuk mengelabui pengawas Pemilu, banyak istilah yang digunakan para caleg dan konstituennya untuk mengaburkan kata money politics. Salahsatunya dengan istilah ‘buah tangan’.

SAAT-SAAT menjelang hari pencoblosan dianggap menjadi kondisi yang paling rawan dalam menjaga nilai-nilai demokrasi. Pasalnya, di saat inilah banyak caleg yang ‘tebar uang’ untuk membeli suara. Namun di sebaliknya, masyarakat juga butuh dan rela ‘menjual’ suaranya demi mendapatkan sejumlah uang.

Pengamat politik dari Universitas Sumatera Utara (USU) Agus Suriadi menilai, money politics kian marak saat tahapan Pemilu tinggal menunggu hari pencoblosann

Bahkan menurutnya, cukup banyak istilah yang digunakan para caleg dan konstituennya untuk mengaburkan kata money politics ini untuk mengelabui pengawas Pemilu.

“Caleg datang menghampiri masyarakat di dapilnya. Lalu mereka bertanya dan membawa apa yang dibutuhkan masyarakat. Dengan dalih itu bukan sogokan, masyarakat dengan senang hati menerima ‘buah tangan’ yang dibawa caleg tersebut. Ini yang sering terjadi, dan seolah semua menutup mata bahwa ini bukan money politics,” kata Agus Suriadi kepada Sumut Pos, Selasa (9/4).

Menurut Agus, kondisi ini semakin mudah dan sering terjadi. Hal itu disebabkan, para caleg saat ini sudah tidak lagi melakukan kampanye terbuka tapi melakukan sosialisasi door to door, mendatangi masyarakat orang per orang serta kelompok per kelompok. “Nah, saat ketemu orang per orang itulah para caleg bisa dengan leluasa memberikan apa yang diinginkan masyarakat yang ditemuinya. Masyarakat membutuhkan, caleg pun memberi. Ini yang membuat para caleg sulit tersentuh dan ditindak saat melakukan money politics,” terangnya.

Bahkan saat ini, lanjut Agus, tidak sedikit juga yang melakukan politik uang secara vulgar. Memberikan uang dengan nominal yang sudah diatur dan disepakati kedua belah pihak, yakni caleg dan penerima. “Misalnya sudah mematokkan harga per suara, baik itu yang memberikan harganya adalah si caleg ataupun si pemilih. Tentu itu sudah sangat vulgar. Heran juga kita kalau yang seperti ini tidak tersentuh. Pihak berwenang dalam mengawasi pelanggaran seperti ini tentu tidak boleh menutup mata,” tegasnya.

Maka dari itu, sebut Agus, pihak berwenang harus terus melakukan antisipasi terkait money politics yang secara vulgar beredar di masyarakat yang mampu merusak nilai-nilai demokrasi ini. “Kalau pihak berwenang yang mengawasi dan menindak hal ini diam saja, itu sudah bahaya. Harus ada antisipasi, seperti sosialisasi kepada masyarakat bahwa tindakan hukum bila mereka terbukti menerima money politicss, walaupun mungkin praktik ini sudah mengakar di masyarakat kota sejak dulu,” tutupnya.

Senada, pengamat politik dari UMSU Sohibul Ansor Siregar menilai, politik uang tidak terlepas dari tingkat perekonomian dan pendidikan masyarakat. Menurutnya, semakin rendah tingkat pendidikan dan perekonomian masyarakat, maka semakin tinggi pula tingkat kemungkinan terjadinya serangan fajar menjelang pemilu. “Masyarakat yang berpendidikan dan memiliki tingkat ekonomi yang lebih tinggi, tentu akan lebih sulit diiming-imingi dengan uang,” katanya.

Namun kata Sohibul, ada pengecualian antara Pilpres dengan Pileg terkait serangan fajar. Menurutnya, kemungkinan terjadinya serangan fajar dalam pilpres tidak sebesar kemungkinan serangan fajar pada Pileg.

“Calon legislatif itu ada ribuan jumlahnya di seluruh Indonesia. Semua bersaing mendapatkan suara di dapilnya masing-masing. Banyak masyarakat yang bahkan tidak mengenal calegnya, namun mau memilih karena serangan fajar. Sedangkan calon Presiden hanya ada dua paslon dan tentu sangat familiar dikalangan masyarakat. Pilihannya hanya dua, itu bedanya,” ujarnya.

Menyikapi praktek kotor seperti politik uang yang terus terjadi, Juru Bicara TKD Sumut Jokowi-Ma’ruf, Sutrisno Pangaribuan menegaskan, partai politik sebagai leading sector dan peserta pemilu sangat lemah memberikan pemahaman ke arah tersebut pada masyarakat.

“Sebenarnya kalau parpol atau bagian dari parpol sendiri mau jujur, tidak akan ada masalah. Kalaupun ada masalah yang terjadi (politik uang), itu masalahnya ada di kami (parpol) bukan masyarakat. Harusnya parpol selalu memberi edukasi kepada masyarakat tentang tidak baiknya politik uang ini,” katanya.

Ia menganggap, dalam konteks ini masyarakat tidak sepenuhnya salah walau tak dapat dipungkiri cerita soal politik uang frekuensinya makin kencang jelang hari pencoblosan. “Begitupun kondisi masyarakat kita hari ini, kita harus percaya penyelenggara pemilu tetap berjalan pada rel yang mengaturnya. Dan ini tidak terjadi pada even pemilu seperti pileg dan pilpres saja, pilkada wali kota, bupati ataupun gubernur juga tetap saja ada permainan politik uang,” katanya.

Pihaknya juga enggan melihat potensi kecurangan kompetitor dalam hal bermain politik uang, dan lebih memilih fokus pada diri sendiri. Lebih terpenting lagi, menurut dia, pemahaman seperti ini harus dilakukan oleh personal kontestan itu sendiri. “Bagi saya, lebih baik tidak terpilih lagi sebagai anggota dewan daripada harus main uang. Saya sudah buktikan hal itu pada saat duduk sebagai dewan periode 2014-2019,” kata politisi PDI Perjuangan itu.

Senada, Wakil Ketua Badan Pemenangan Provinsi Sumut Prabowo-Sandi, Robert Lumban Tobing mengatakan pihaknya sangat mengecam keras praktek politik uang yang dilakukan semua caleg mereka. Termasuk dalam kaitan pilpres atau tim kampanye capres, edukasi pentingnya pemilu dilaksanakan secara langsung, bersih, jujur dan adil kepada masyarakat supaya mampu menciptakan iklim demokrasi yang baik di Indonesia.

“Kalaupun ada yang kedapatan melakukan hal seperti itu, kami sangat mendukung supaya diproses oleh hukum. Karena bagi kita kemenangan yang diraih secara jujur jauh lebih penting dibanding harus tercederai dengan kecurangan seperti politik uang,” katanya.

Zeira Salin Ritonga, caleg DPRD Sumut dari PKB menilai, money politics bukanlah cerminan demokrasi, melainkan gambaran sempitnya pikiran masyarakat yang menerima ataupun meminta money politics. “Kalau masyarakat sudah memilih caleg karena uang, jangan masyarakat itu menuntut perubahan. Mengorbankan nasibnya lima tahun ke depan demi uang yang tidak seberapa adalah cerminan betapa sempitnya pikiran masyarakat itu,” kata Zeira.

Begitu sebaliknya, tindakan money politics yang dilakukan seorang caleg juga merupakan cerminan dari ketidakmampuan caleg tersebut dalam meyakinkan masyarakat bahwa dirinya adalah seorang yang amanah dan mampu mewakili serta memperjuangkan kepentingan rakyat. “Bagi para caleg incumbent justru lebih parah lagi. Kalau caleg incumbent masih juga memakai cara-cara kotor seperti money politics untuk bisa meraih suara, itu artinya caleg tersebut tidak yakin dengan kinerja dan prestasi yang telah dilakukannya selama menjabat sebagai wakil rakyat. Atau mungkin juga caleg tersebut memang tidak punya prestasi selama bekerja,” terangnya.

Caleg Bisa Dicoret

Komisioner Divisi Hukum KPU Sumut, Ira Wirtati mengatakan, pemberian uang secara langsung oleh peserta pemilu kepada masyarakat tidak dibenarkan berdasarkan ketentuan hukum yang ada. Jika kedapatan melanggar melakukan politik uang ini, kontestan pemilu bakal dicoret dalam kepesertaan bahkan setelah ia dinyatakan terpilih.

Disebut Ira, ketentuan sanksi bagi peserta pemilu yang melakukan politik uang ada diatur dalam UU No 7/2017 tentang Pemilu, dan turunannya PKPU 23/2018 tentang Pemilu. “Yang penting nggak uang tunai. Dalam ketentuan diatur maksimal jika diuangkan itu Rp60 ribu. Dan yang dibolehkan untuk diberikan itu sudah ditentukan, seperti topi, alat tulis, baju, jadi tidak sembarangan juga,” ujarnya menjawab Sumut Pos, Selasa (9/4).

Bahkan ia mencontohkan, saking tidak dibenarkannya permainan politik uang dalam pemilu, misalkan ada pengusaha yang punya pekerja namun dihalangi untuk menggunakan hak pilih, juga bisa dikenakan sanksi. “Jadi sudah jelas semua itu ada aturan main dan sanksinya,” katanya.

Ira menambahkan, khusus politik uang yang menjadi hal klasik setiap kali even pemilu, para kontestan pemilu menjadi sektor terdepan dalam memberikan pemahaman tersebut. Artinya, melalui aturan main yang sudah disusun sebelumnya tersebut, peserta pemilu tidak dibenarkan melakukan praktek kotor macam itu.

“Bagi oknum caleg maupun peserta pemilu lainnya jika kedapatan dan terbukti melakukan money politics, maka dia bisa dicoret dari kepesertaan dalam Daftar Calon Tetap (DPT) meski sudah terpilih nantinya dan meraih suara terbanyak,” katanya.

Pembatalan sebagai kontestan pemilu, imbuh dia, jika yang bersangkutan melakukan praktek politik uang secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM). “Dalam UU No.7 itu ada disebutkan pada salah satu pasal soal pembatalan calon sebagai peserta pemilu, namun saya gak ingat persis bunyinya apakah untuk capres ataupun calon DPD atau caleg. Yang jelas praktek politik uang sangat tidak dibenarkan,” tegasnya.

Butuhkan Peranan Masyarakat

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Deliserdang mengaku butuh peran serta masyarakat dalam mengawasi praktik money politics. Menurut Ketua Bawaslu Deliserdang, M Ali Sitorus sesuai undang-undang tentang pengawsan pemilu, Bawaslu memiliki kewenangan menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengahrr mengenai Pemilu. Kemudian memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran, administrasi Pemilu. Memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran politik uang.

“Bawaslu beberapa kali menggelar rapat koordinasi dengan partai politik peserta Pemilu. Agar mereka selalu taat dengan aturan perundang-undangan Pemilu. Sejak awal, Bawaslu melakukan upaya prepentif agar tidak terjadi pelanggaran kalau secara umumnya,” terang Ali.

Diterangkanya, secara khusus Bawaslu juga sudah mengingatkan kepada pengurus partai politik agar kader mereka yang ikut bertarung menuju kursi legislatif jangan menggunakan money politics atau tindakan serangan fajar. Diakui Ali, Bawaslu mengalami kendala karena kekurangan sumber daya manusia apabila melakukan pengawasan terhadap 686 Caleg yang ada. “Personel kami tentu tak cukup bila melalukan pengawasan terhadap caleg yang ada. Namun, kami melakukan pemetaan terhadap potensi yang ada,” ungkapnya.

Pemetaan potensi terjadinya serangan fajar atau aksi money politics bertujuan untuk mempermudah pengawasan. Pasalnya, Bawaslu berpendapat upaya atau tindakan menjanjikan sesuatu agar orang lain mengikuti apa yang diinginkan orang tersebut itu adalah money politics.

Sedangkan aksi serangan fajar yang dilakukan para Caleg secara sembunyi sembunyi menjadi tantangan bagi Bawaslu. Oleh itu dibutuhkan peran aktif masyarakat untuk melaporkan setiap adanya dugaan money politics atau serangan fajar. “Setiap laporan masyarakat akan diterima.Laporan itu akan diproses segerah, dimulai dari penyidikan. Bahkan sampai melakukan pemanggilan terhadap yang dituduhkan,” pungkasnya. (prn/mag-1/btr)

Ayo memilih

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sosialisasi dengan cara door to door yang dilakukan para caleg, dinilai membuka peluang terjadinya politik uang (money politics). Sebab, para caleg bisa dengan leluasa melakukan ‘transaksi’ dengan konstituen yang ditemuinya. Untuk mengelabui pengawas Pemilu, banyak istilah yang digunakan para caleg dan konstituennya untuk mengaburkan kata money politics. Salahsatunya dengan istilah ‘buah tangan’.

SAAT-SAAT menjelang hari pencoblosan dianggap menjadi kondisi yang paling rawan dalam menjaga nilai-nilai demokrasi. Pasalnya, di saat inilah banyak caleg yang ‘tebar uang’ untuk membeli suara. Namun di sebaliknya, masyarakat juga butuh dan rela ‘menjual’ suaranya demi mendapatkan sejumlah uang.

Pengamat politik dari Universitas Sumatera Utara (USU) Agus Suriadi menilai, money politics kian marak saat tahapan Pemilu tinggal menunggu hari pencoblosann

Bahkan menurutnya, cukup banyak istilah yang digunakan para caleg dan konstituennya untuk mengaburkan kata money politics ini untuk mengelabui pengawas Pemilu.

“Caleg datang menghampiri masyarakat di dapilnya. Lalu mereka bertanya dan membawa apa yang dibutuhkan masyarakat. Dengan dalih itu bukan sogokan, masyarakat dengan senang hati menerima ‘buah tangan’ yang dibawa caleg tersebut. Ini yang sering terjadi, dan seolah semua menutup mata bahwa ini bukan money politics,” kata Agus Suriadi kepada Sumut Pos, Selasa (9/4).

Menurut Agus, kondisi ini semakin mudah dan sering terjadi. Hal itu disebabkan, para caleg saat ini sudah tidak lagi melakukan kampanye terbuka tapi melakukan sosialisasi door to door, mendatangi masyarakat orang per orang serta kelompok per kelompok. “Nah, saat ketemu orang per orang itulah para caleg bisa dengan leluasa memberikan apa yang diinginkan masyarakat yang ditemuinya. Masyarakat membutuhkan, caleg pun memberi. Ini yang membuat para caleg sulit tersentuh dan ditindak saat melakukan money politics,” terangnya.

Bahkan saat ini, lanjut Agus, tidak sedikit juga yang melakukan politik uang secara vulgar. Memberikan uang dengan nominal yang sudah diatur dan disepakati kedua belah pihak, yakni caleg dan penerima. “Misalnya sudah mematokkan harga per suara, baik itu yang memberikan harganya adalah si caleg ataupun si pemilih. Tentu itu sudah sangat vulgar. Heran juga kita kalau yang seperti ini tidak tersentuh. Pihak berwenang dalam mengawasi pelanggaran seperti ini tentu tidak boleh menutup mata,” tegasnya.

Maka dari itu, sebut Agus, pihak berwenang harus terus melakukan antisipasi terkait money politics yang secara vulgar beredar di masyarakat yang mampu merusak nilai-nilai demokrasi ini. “Kalau pihak berwenang yang mengawasi dan menindak hal ini diam saja, itu sudah bahaya. Harus ada antisipasi, seperti sosialisasi kepada masyarakat bahwa tindakan hukum bila mereka terbukti menerima money politicss, walaupun mungkin praktik ini sudah mengakar di masyarakat kota sejak dulu,” tutupnya.

Senada, pengamat politik dari UMSU Sohibul Ansor Siregar menilai, politik uang tidak terlepas dari tingkat perekonomian dan pendidikan masyarakat. Menurutnya, semakin rendah tingkat pendidikan dan perekonomian masyarakat, maka semakin tinggi pula tingkat kemungkinan terjadinya serangan fajar menjelang pemilu. “Masyarakat yang berpendidikan dan memiliki tingkat ekonomi yang lebih tinggi, tentu akan lebih sulit diiming-imingi dengan uang,” katanya.

Namun kata Sohibul, ada pengecualian antara Pilpres dengan Pileg terkait serangan fajar. Menurutnya, kemungkinan terjadinya serangan fajar dalam pilpres tidak sebesar kemungkinan serangan fajar pada Pileg.

“Calon legislatif itu ada ribuan jumlahnya di seluruh Indonesia. Semua bersaing mendapatkan suara di dapilnya masing-masing. Banyak masyarakat yang bahkan tidak mengenal calegnya, namun mau memilih karena serangan fajar. Sedangkan calon Presiden hanya ada dua paslon dan tentu sangat familiar dikalangan masyarakat. Pilihannya hanya dua, itu bedanya,” ujarnya.

Menyikapi praktek kotor seperti politik uang yang terus terjadi, Juru Bicara TKD Sumut Jokowi-Ma’ruf, Sutrisno Pangaribuan menegaskan, partai politik sebagai leading sector dan peserta pemilu sangat lemah memberikan pemahaman ke arah tersebut pada masyarakat.

“Sebenarnya kalau parpol atau bagian dari parpol sendiri mau jujur, tidak akan ada masalah. Kalaupun ada masalah yang terjadi (politik uang), itu masalahnya ada di kami (parpol) bukan masyarakat. Harusnya parpol selalu memberi edukasi kepada masyarakat tentang tidak baiknya politik uang ini,” katanya.

Ia menganggap, dalam konteks ini masyarakat tidak sepenuhnya salah walau tak dapat dipungkiri cerita soal politik uang frekuensinya makin kencang jelang hari pencoblosan. “Begitupun kondisi masyarakat kita hari ini, kita harus percaya penyelenggara pemilu tetap berjalan pada rel yang mengaturnya. Dan ini tidak terjadi pada even pemilu seperti pileg dan pilpres saja, pilkada wali kota, bupati ataupun gubernur juga tetap saja ada permainan politik uang,” katanya.

Pihaknya juga enggan melihat potensi kecurangan kompetitor dalam hal bermain politik uang, dan lebih memilih fokus pada diri sendiri. Lebih terpenting lagi, menurut dia, pemahaman seperti ini harus dilakukan oleh personal kontestan itu sendiri. “Bagi saya, lebih baik tidak terpilih lagi sebagai anggota dewan daripada harus main uang. Saya sudah buktikan hal itu pada saat duduk sebagai dewan periode 2014-2019,” kata politisi PDI Perjuangan itu.

Senada, Wakil Ketua Badan Pemenangan Provinsi Sumut Prabowo-Sandi, Robert Lumban Tobing mengatakan pihaknya sangat mengecam keras praktek politik uang yang dilakukan semua caleg mereka. Termasuk dalam kaitan pilpres atau tim kampanye capres, edukasi pentingnya pemilu dilaksanakan secara langsung, bersih, jujur dan adil kepada masyarakat supaya mampu menciptakan iklim demokrasi yang baik di Indonesia.

“Kalaupun ada yang kedapatan melakukan hal seperti itu, kami sangat mendukung supaya diproses oleh hukum. Karena bagi kita kemenangan yang diraih secara jujur jauh lebih penting dibanding harus tercederai dengan kecurangan seperti politik uang,” katanya.

Zeira Salin Ritonga, caleg DPRD Sumut dari PKB menilai, money politics bukanlah cerminan demokrasi, melainkan gambaran sempitnya pikiran masyarakat yang menerima ataupun meminta money politics. “Kalau masyarakat sudah memilih caleg karena uang, jangan masyarakat itu menuntut perubahan. Mengorbankan nasibnya lima tahun ke depan demi uang yang tidak seberapa adalah cerminan betapa sempitnya pikiran masyarakat itu,” kata Zeira.

Begitu sebaliknya, tindakan money politics yang dilakukan seorang caleg juga merupakan cerminan dari ketidakmampuan caleg tersebut dalam meyakinkan masyarakat bahwa dirinya adalah seorang yang amanah dan mampu mewakili serta memperjuangkan kepentingan rakyat. “Bagi para caleg incumbent justru lebih parah lagi. Kalau caleg incumbent masih juga memakai cara-cara kotor seperti money politics untuk bisa meraih suara, itu artinya caleg tersebut tidak yakin dengan kinerja dan prestasi yang telah dilakukannya selama menjabat sebagai wakil rakyat. Atau mungkin juga caleg tersebut memang tidak punya prestasi selama bekerja,” terangnya.

Caleg Bisa Dicoret

Komisioner Divisi Hukum KPU Sumut, Ira Wirtati mengatakan, pemberian uang secara langsung oleh peserta pemilu kepada masyarakat tidak dibenarkan berdasarkan ketentuan hukum yang ada. Jika kedapatan melanggar melakukan politik uang ini, kontestan pemilu bakal dicoret dalam kepesertaan bahkan setelah ia dinyatakan terpilih.

Disebut Ira, ketentuan sanksi bagi peserta pemilu yang melakukan politik uang ada diatur dalam UU No 7/2017 tentang Pemilu, dan turunannya PKPU 23/2018 tentang Pemilu. “Yang penting nggak uang tunai. Dalam ketentuan diatur maksimal jika diuangkan itu Rp60 ribu. Dan yang dibolehkan untuk diberikan itu sudah ditentukan, seperti topi, alat tulis, baju, jadi tidak sembarangan juga,” ujarnya menjawab Sumut Pos, Selasa (9/4).

Bahkan ia mencontohkan, saking tidak dibenarkannya permainan politik uang dalam pemilu, misalkan ada pengusaha yang punya pekerja namun dihalangi untuk menggunakan hak pilih, juga bisa dikenakan sanksi. “Jadi sudah jelas semua itu ada aturan main dan sanksinya,” katanya.

Ira menambahkan, khusus politik uang yang menjadi hal klasik setiap kali even pemilu, para kontestan pemilu menjadi sektor terdepan dalam memberikan pemahaman tersebut. Artinya, melalui aturan main yang sudah disusun sebelumnya tersebut, peserta pemilu tidak dibenarkan melakukan praktek kotor macam itu.

“Bagi oknum caleg maupun peserta pemilu lainnya jika kedapatan dan terbukti melakukan money politics, maka dia bisa dicoret dari kepesertaan dalam Daftar Calon Tetap (DPT) meski sudah terpilih nantinya dan meraih suara terbanyak,” katanya.

Pembatalan sebagai kontestan pemilu, imbuh dia, jika yang bersangkutan melakukan praktek politik uang secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM). “Dalam UU No.7 itu ada disebutkan pada salah satu pasal soal pembatalan calon sebagai peserta pemilu, namun saya gak ingat persis bunyinya apakah untuk capres ataupun calon DPD atau caleg. Yang jelas praktek politik uang sangat tidak dibenarkan,” tegasnya.

Butuhkan Peranan Masyarakat

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Deliserdang mengaku butuh peran serta masyarakat dalam mengawasi praktik money politics. Menurut Ketua Bawaslu Deliserdang, M Ali Sitorus sesuai undang-undang tentang pengawsan pemilu, Bawaslu memiliki kewenangan menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengahrr mengenai Pemilu. Kemudian memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran, administrasi Pemilu. Memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran politik uang.

“Bawaslu beberapa kali menggelar rapat koordinasi dengan partai politik peserta Pemilu. Agar mereka selalu taat dengan aturan perundang-undangan Pemilu. Sejak awal, Bawaslu melakukan upaya prepentif agar tidak terjadi pelanggaran kalau secara umumnya,” terang Ali.

Diterangkanya, secara khusus Bawaslu juga sudah mengingatkan kepada pengurus partai politik agar kader mereka yang ikut bertarung menuju kursi legislatif jangan menggunakan money politics atau tindakan serangan fajar. Diakui Ali, Bawaslu mengalami kendala karena kekurangan sumber daya manusia apabila melakukan pengawasan terhadap 686 Caleg yang ada. “Personel kami tentu tak cukup bila melalukan pengawasan terhadap caleg yang ada. Namun, kami melakukan pemetaan terhadap potensi yang ada,” ungkapnya.

Pemetaan potensi terjadinya serangan fajar atau aksi money politics bertujuan untuk mempermudah pengawasan. Pasalnya, Bawaslu berpendapat upaya atau tindakan menjanjikan sesuatu agar orang lain mengikuti apa yang diinginkan orang tersebut itu adalah money politics.

Sedangkan aksi serangan fajar yang dilakukan para Caleg secara sembunyi sembunyi menjadi tantangan bagi Bawaslu. Oleh itu dibutuhkan peran aktif masyarakat untuk melaporkan setiap adanya dugaan money politics atau serangan fajar. “Setiap laporan masyarakat akan diterima.Laporan itu akan diproses segerah, dimulai dari penyidikan. Bahkan sampai melakukan pemanggilan terhadap yang dituduhkan,” pungkasnya. (prn/mag-1/btr)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/