29 C
Medan
Sunday, November 24, 2024
spot_img

Siapa Merugikan Negara, Saya atau KPK?

Mengunjungi RE Siahaan di Rutan Tanjung Gusta Medan

Ir RE Siahaan boleh dibilang kontroversial. Namanya mulai populer saat bertarung pada Pilgubsu 16 April 2008. Ia kalah, tapi bangga. Kini sosok murah senyum ini diadili KPK. Ia tak ciut, tetap merasa tak bersalah, bahkan mengejek jaksa KPK tak becus membuat dakwaan. Kepada hakim Tipikor, ia berpesan agar jangan latah mengikuti kesalahan jaksa.

PANDA MT SIALLAGAN, Tanjung Gusta

Pertemuan dengan RE Siahaan berlangsung di taman Rumah Tahanan (Rutan) Tanjung Gusta Medan, Rabu (2/11) sore, di sebuah pendopo bertiang kayu dan beratap genteng seukuran 4 x 4 meter. Lantai pendopo dilengkapi kursi bambu dan meja artistik hasil pahatan tunggul kayu. Suasana taman terasa nyaman dan asri. Ada kolam hias di sekeliling pendopo, aneka bunga, pohon mangga, palma dan lain-lain.

Saat koran ini tiba, di pendopo itu tampak istri RE Siahaan, Elfrida Hutapea, ditemani putrinya Sylvia Siahaan dan cucunya Beatrix Tampubolon yang baru berusia sekitar dua tahun. Mereka asyik ngobrol dengan sepasang suami-istri yang tak lain adalah mantan Bupati Nias Binahati Baeha dan istrinya, yang telah divonis lima tahun penjara oleh pengadilan Tipikor dan ditahan di rutan itu. Binahati menjadi terpidana atas kasus korupsi dana penanggulangan bencana Nias tahun 2006. Seorang putri Binahati berparas cantik, juga tampak di pendopo. Sore itu, Binahati asyik mencicipi makanan dan jus buah bawaan istri dan putrinya.

“Bapak di kamar, sedang istirahat. Duduklah dulu!” ujar Elfrida Hutapea menjawab koran ini. Wartawan koran ini pun duduk, persis berhadapan dengan Elfrida Hutapea. Mantan Nyonya Walikota Siantar ini tampil sederhana dengan busana kasual dan celana pendek. Wajahnya agak lelah, tapi tetap banyak senyum, bahkan masih bisa tertawa keras saat Binahati melucu. Bupati yang dikenal benci wartawan ini ternyata sangat ramah, hangat dan penuh humor.

Topik pembicaraan dua keluarga pejabat ini berlangsung renyah, ringan, remeh, dan tak terkait kasus korupsi atau semacamnya. Sore itu mereka sedang bergunjing tentang seorang wanita cantik beranak satu yang kecantol dengan supir rutan. Awalnya si wanita datang ke rutan bersama anaknya untuk menjenguk suaminya yang sudah tiga bulan ditahan atas suatu kasus. Wanita itu lalu berkenalan dengan supir rutan, jatuh cinta dan menjalin hubungan. Sejak itu, wanita tersebut makin sering datang ke rutan, tapi bukan lagi menjenguk suaminya, melainkan menemui pacarnya. Menariknya, kadang-kadang ditemani pacar barunya, wanita itu tetap mengantarkan makanan untuk suaminya.

Cerita itu diutarakan Binahati dan ditanggapi tawa miris Elfrida Hutapea dan putrinya. “Kok bisa begitu ya,” ujarnya.
Terkait romantika itu, Elfrida Hutapea akhirnya menyinggung banyaknya perempuan-perempuan cantik yang datang ke rutan. Sebagian ada yang memakai sepatu hak tinggi. “Dari tadi kuperhatikan, banyak yang datang bersepatu tinggi sampai segini,” katanya sambil merentangkan jengkal tangannya. “Kok bisa mereka ke sini dengan sepatu begitu ya,” katanya lagi.

Demikianlah pembincangan dua keluarga itu berlangsung tanpa topik, melompat dari satu hal ke hal lain, kadang diselingi mimik serius, kadang ditingkahi tawa renyah. Topik hanya berganti ketika koran ini bertanya tentang RE Siahaan kepada Elfrida.

“Sehat, gemuk kok. Nggak benar itu berita yang mengatakan bapak kurus. Lihatlah nanti!” kata Elfrida saat ditanya kesehatan suaminya, sembari bangkit merogoh sebuah tas dan mengeluarkan dua cangkir keramik kecil, menaruhnya di meja. Selanjutnya ia meraih termos dan menuang isinya ke dalam cangkir tersebut. Ternyata kopi.
“Ayo, ngopi kalian,” ujarnya ramah. Aroma kopi menghangatkan suasana. RE Siahaan yang ditunggu tak kunjung keluar dari sel. “Bapak mungkin tertidur! Kita tunggu ya!” ujarnya.

Setelah mempersilahkan Sumut Pos ngopi, Elfrida bercerita sekilas bahwa mereka tak paham mengapa suaminya ditahan. Mereka juga merasa diperlakukan tak adil oleh KPK, sebab selama 4 bulan ditahan di LP Cipinang, RE Siahaan ternyata tak pernah diperiksa secara intensif sebagaimana posisinya sebagai tersangka. Tiba-tiba, sehari menjelang masa penahanan habis, KPK memboyong RE Siahaan ke Rutan Tanjung Gusta Medan.

Sayangnya, tak banyak hal terlontar dari Elfrida, sebab Beatrix Tampubolon, cucu RE Siahaan yang duduk di pangkuan ibunya kerap bermain dan merengek, berpindah dari pangkuan ibunya ke pelukan neneknya. “Oppung…oppung,” ujar Beatrix dengan bahasa masih celat sambil berjalan tertatih dituntun Sylvia ke arah Elfrida. Elfrida lalu memangkunya, tapi tak lama, sebab Beatrix kemudian minta kembali ke ibunya.

Tiba-tiba suasana haru terjadi ketika Binahati beranjak dari duduknya, bermaksud kembali ke kamar tahanan. Istrinya menuntunnya turun dari pendopo dibantu putrinya. “Istirahat ya, main catur kalo suntuk!” ujar istrinya sambil mencium kedua pipi suaminya. Putrinya juga melakukan hal yang sama. Binahati melangkah lunglai menuju sel, tak lagi berpaling hingga punggungnya lenyap ditelan gerbang. Ia tampak sangat tua. Istrinya mendesah memandangi suaminya. Suasana hening dan sedih seketika merayap.

Istri Binahati dan putrinya tak langsung pulang, tapi duduk lagi di pendopo dan melanjutkan obrolan dengan Elfrida. Namun suasana tidak lagi sehangat ketika Binahati ada, yang pada kesempatan itu memang gemar melucu. Untunglah RE Siahaan segera muncul, lalu istri Binahati dan putrinya pun pamit, seolah tak ingin mengganggu pertemuan Sumut Pos dengan RE Siahaan.

Hari makin sore, hembusan angin kian terasa.Tak banyak hal berubah dalam diri RE Siahaan. Sedikit keunikan hanya tampak pada potongan rambutnya. Ketika menjabat Walikota Siantar, rambutnya tampak putih penuh uban, tapi kini sudah hitam. Mungkin dicat. Pada bagian belakang terdapat jabrik pendek. Model rambut ini mengemuka di kalangan anak muda tahun 90-an. RE Siahaan tampak gagah dengan tampilan itu, tapi ‘citra pejabat’ menjadi agak redup dalam dirinya.

Namun ia tetap menunjukkan kualitas seorang pemimpin. Suaranya lembut dan tegas, banyak senyum dan lugas. Ia seperti tak ciut ditahan KPK, lembaga yang dikenal ‘beringas’ terhadap para koruptor. Sejak dulu, karakter RE Siahaan memang santai, hangat, bersahabat, tapi bisa sangat tegas. Ia tahan berjam-jam ngopi sambil berdiskusi tentang pembangunan Siantar. Tapi sebagian kalangan menilai RE Siahaan keras, bahkan kerap disebut berdarah dingin.
Sikap hangat dan tegas itu yang dominan terlihat saat bincang-bincang dengannya di rutan. Dengan suara lembut dan tersenyum, ia mengejek KPK.

“Aku bingung, betul-betul bingung, dakwaan jaksa tak jelas. Banyak kesalahan. Ini KPK loh, profesional, ekstraordinary. Jadi siapa yang merugikan negara, KPK atau saya? Mereka menghabiskan banyak uang menangani kasus ini, kok membuat dakwaan saja tak becus. Ini harus kita ulas,” katanya. (bersambung)

Mengunjungi RE Siahaan di Rutan Tanjung Gusta Medan

Ir RE Siahaan boleh dibilang kontroversial. Namanya mulai populer saat bertarung pada Pilgubsu 16 April 2008. Ia kalah, tapi bangga. Kini sosok murah senyum ini diadili KPK. Ia tak ciut, tetap merasa tak bersalah, bahkan mengejek jaksa KPK tak becus membuat dakwaan. Kepada hakim Tipikor, ia berpesan agar jangan latah mengikuti kesalahan jaksa.

PANDA MT SIALLAGAN, Tanjung Gusta

Pertemuan dengan RE Siahaan berlangsung di taman Rumah Tahanan (Rutan) Tanjung Gusta Medan, Rabu (2/11) sore, di sebuah pendopo bertiang kayu dan beratap genteng seukuran 4 x 4 meter. Lantai pendopo dilengkapi kursi bambu dan meja artistik hasil pahatan tunggul kayu. Suasana taman terasa nyaman dan asri. Ada kolam hias di sekeliling pendopo, aneka bunga, pohon mangga, palma dan lain-lain.

Saat koran ini tiba, di pendopo itu tampak istri RE Siahaan, Elfrida Hutapea, ditemani putrinya Sylvia Siahaan dan cucunya Beatrix Tampubolon yang baru berusia sekitar dua tahun. Mereka asyik ngobrol dengan sepasang suami-istri yang tak lain adalah mantan Bupati Nias Binahati Baeha dan istrinya, yang telah divonis lima tahun penjara oleh pengadilan Tipikor dan ditahan di rutan itu. Binahati menjadi terpidana atas kasus korupsi dana penanggulangan bencana Nias tahun 2006. Seorang putri Binahati berparas cantik, juga tampak di pendopo. Sore itu, Binahati asyik mencicipi makanan dan jus buah bawaan istri dan putrinya.

“Bapak di kamar, sedang istirahat. Duduklah dulu!” ujar Elfrida Hutapea menjawab koran ini. Wartawan koran ini pun duduk, persis berhadapan dengan Elfrida Hutapea. Mantan Nyonya Walikota Siantar ini tampil sederhana dengan busana kasual dan celana pendek. Wajahnya agak lelah, tapi tetap banyak senyum, bahkan masih bisa tertawa keras saat Binahati melucu. Bupati yang dikenal benci wartawan ini ternyata sangat ramah, hangat dan penuh humor.

Topik pembicaraan dua keluarga pejabat ini berlangsung renyah, ringan, remeh, dan tak terkait kasus korupsi atau semacamnya. Sore itu mereka sedang bergunjing tentang seorang wanita cantik beranak satu yang kecantol dengan supir rutan. Awalnya si wanita datang ke rutan bersama anaknya untuk menjenguk suaminya yang sudah tiga bulan ditahan atas suatu kasus. Wanita itu lalu berkenalan dengan supir rutan, jatuh cinta dan menjalin hubungan. Sejak itu, wanita tersebut makin sering datang ke rutan, tapi bukan lagi menjenguk suaminya, melainkan menemui pacarnya. Menariknya, kadang-kadang ditemani pacar barunya, wanita itu tetap mengantarkan makanan untuk suaminya.

Cerita itu diutarakan Binahati dan ditanggapi tawa miris Elfrida Hutapea dan putrinya. “Kok bisa begitu ya,” ujarnya.
Terkait romantika itu, Elfrida Hutapea akhirnya menyinggung banyaknya perempuan-perempuan cantik yang datang ke rutan. Sebagian ada yang memakai sepatu hak tinggi. “Dari tadi kuperhatikan, banyak yang datang bersepatu tinggi sampai segini,” katanya sambil merentangkan jengkal tangannya. “Kok bisa mereka ke sini dengan sepatu begitu ya,” katanya lagi.

Demikianlah pembincangan dua keluarga itu berlangsung tanpa topik, melompat dari satu hal ke hal lain, kadang diselingi mimik serius, kadang ditingkahi tawa renyah. Topik hanya berganti ketika koran ini bertanya tentang RE Siahaan kepada Elfrida.

“Sehat, gemuk kok. Nggak benar itu berita yang mengatakan bapak kurus. Lihatlah nanti!” kata Elfrida saat ditanya kesehatan suaminya, sembari bangkit merogoh sebuah tas dan mengeluarkan dua cangkir keramik kecil, menaruhnya di meja. Selanjutnya ia meraih termos dan menuang isinya ke dalam cangkir tersebut. Ternyata kopi.
“Ayo, ngopi kalian,” ujarnya ramah. Aroma kopi menghangatkan suasana. RE Siahaan yang ditunggu tak kunjung keluar dari sel. “Bapak mungkin tertidur! Kita tunggu ya!” ujarnya.

Setelah mempersilahkan Sumut Pos ngopi, Elfrida bercerita sekilas bahwa mereka tak paham mengapa suaminya ditahan. Mereka juga merasa diperlakukan tak adil oleh KPK, sebab selama 4 bulan ditahan di LP Cipinang, RE Siahaan ternyata tak pernah diperiksa secara intensif sebagaimana posisinya sebagai tersangka. Tiba-tiba, sehari menjelang masa penahanan habis, KPK memboyong RE Siahaan ke Rutan Tanjung Gusta Medan.

Sayangnya, tak banyak hal terlontar dari Elfrida, sebab Beatrix Tampubolon, cucu RE Siahaan yang duduk di pangkuan ibunya kerap bermain dan merengek, berpindah dari pangkuan ibunya ke pelukan neneknya. “Oppung…oppung,” ujar Beatrix dengan bahasa masih celat sambil berjalan tertatih dituntun Sylvia ke arah Elfrida. Elfrida lalu memangkunya, tapi tak lama, sebab Beatrix kemudian minta kembali ke ibunya.

Tiba-tiba suasana haru terjadi ketika Binahati beranjak dari duduknya, bermaksud kembali ke kamar tahanan. Istrinya menuntunnya turun dari pendopo dibantu putrinya. “Istirahat ya, main catur kalo suntuk!” ujar istrinya sambil mencium kedua pipi suaminya. Putrinya juga melakukan hal yang sama. Binahati melangkah lunglai menuju sel, tak lagi berpaling hingga punggungnya lenyap ditelan gerbang. Ia tampak sangat tua. Istrinya mendesah memandangi suaminya. Suasana hening dan sedih seketika merayap.

Istri Binahati dan putrinya tak langsung pulang, tapi duduk lagi di pendopo dan melanjutkan obrolan dengan Elfrida. Namun suasana tidak lagi sehangat ketika Binahati ada, yang pada kesempatan itu memang gemar melucu. Untunglah RE Siahaan segera muncul, lalu istri Binahati dan putrinya pun pamit, seolah tak ingin mengganggu pertemuan Sumut Pos dengan RE Siahaan.

Hari makin sore, hembusan angin kian terasa.Tak banyak hal berubah dalam diri RE Siahaan. Sedikit keunikan hanya tampak pada potongan rambutnya. Ketika menjabat Walikota Siantar, rambutnya tampak putih penuh uban, tapi kini sudah hitam. Mungkin dicat. Pada bagian belakang terdapat jabrik pendek. Model rambut ini mengemuka di kalangan anak muda tahun 90-an. RE Siahaan tampak gagah dengan tampilan itu, tapi ‘citra pejabat’ menjadi agak redup dalam dirinya.

Namun ia tetap menunjukkan kualitas seorang pemimpin. Suaranya lembut dan tegas, banyak senyum dan lugas. Ia seperti tak ciut ditahan KPK, lembaga yang dikenal ‘beringas’ terhadap para koruptor. Sejak dulu, karakter RE Siahaan memang santai, hangat, bersahabat, tapi bisa sangat tegas. Ia tahan berjam-jam ngopi sambil berdiskusi tentang pembangunan Siantar. Tapi sebagian kalangan menilai RE Siahaan keras, bahkan kerap disebut berdarah dingin.
Sikap hangat dan tegas itu yang dominan terlihat saat bincang-bincang dengannya di rutan. Dengan suara lembut dan tersenyum, ia mengejek KPK.

“Aku bingung, betul-betul bingung, dakwaan jaksa tak jelas. Banyak kesalahan. Ini KPK loh, profesional, ekstraordinary. Jadi siapa yang merugikan negara, KPK atau saya? Mereka menghabiskan banyak uang menangani kasus ini, kok membuat dakwaan saja tak becus. Ini harus kita ulas,” katanya. (bersambung)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/