25 C
Medan
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

Perempuan Penenun Ulos Makin Langka

JAKARTA-Perempuan-perempuan di Tanah Batak, Sumatera Utara, yang dulunya sangat aktif dengan kegiatan menenun selendang dan ulos, kini sudah langka. Malah nyaris tak lagi ditemukan, baik di wilayah perkotaan maupun perkampungan.

“Saya sempat berbincang dengan seorang ibu di sana yang masih aktif menenun. Dia bangga karena masih ada peninggalan nenek moyangnya yang masih dipertahankan sebagai warisan. Tetapi di sisi lain, terpancar raut sedih karena hampir tidak ada lagi yang menenun,” ujar Antropolog asal Belanda, Sandra Niessen yang sudah cukup lama melakukan penelitian di wilayah Tapanuli Utara saat mengadakan pertemuan dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA), Senin (7/11).

Sandra yang melakukan penelitian dengan dibantu Restuala Pakpahan dan MJA Nashir asal Indonesia itu menyebut banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Di antaranya, akibat melonjaknya harga bahan baku yang tak sebanding dengan harga jual. Belum lagi ditambah proses pembuatan yang menyita waktu dan tenaga yang cukup lama.
“Harga jualnya sudah terkalahkan oleh kain-kain dari pabrik, meski secara kualitas ulos masih lebih unggul. Yang kita khawatirkan jangan sampai akibat harga jual yang rendah ini kemudian berpengaruh pada proses produksi ulos yang asal jadi dengan kualitas rendah,” timpalnya.

Alasan lain karena pandangan bahwa menenun identik dengan warga miskin. Padahal kenyatannya tidak demikian. “Untuk semua hasil penelitian itu sudah saya tuangkan dalam bentuk buku. Dan karena saya tidak mau itu hanya habis di rak buku, makanya buku-buku yang ada dijual di sekitar wilayah penelitian biar bermanfaat. Dan sudah hampir terjual semua,” tuturnya.

Mewakili Pemerintah Indonesia, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar menyatakan apresiasinya. Terutama untuk Sandra dan rekannya. Ia mengaku tertarik sehingga mengundang si peneliti asal Belanda tersebut.

Terhadap hasil penelitian itu, Linda mengaku miris. Karena itu, ia berencana memfasilitasi masalah tersebut. Kini sudah dimulai dengan forum anak yang sudah terbangun hingga ke tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
“Pada intinya, kami melihat bahwa di sini ada peluang bagi perempuan dan anak-anak untuk berkarya. Jadi kami siap untuk fasilitasi persoalan ini. Apalagi kain ulos termasuk high class untuk ukuran dunia,” pungkas Linda. (yes/jpnn)

JAKARTA-Perempuan-perempuan di Tanah Batak, Sumatera Utara, yang dulunya sangat aktif dengan kegiatan menenun selendang dan ulos, kini sudah langka. Malah nyaris tak lagi ditemukan, baik di wilayah perkotaan maupun perkampungan.

“Saya sempat berbincang dengan seorang ibu di sana yang masih aktif menenun. Dia bangga karena masih ada peninggalan nenek moyangnya yang masih dipertahankan sebagai warisan. Tetapi di sisi lain, terpancar raut sedih karena hampir tidak ada lagi yang menenun,” ujar Antropolog asal Belanda, Sandra Niessen yang sudah cukup lama melakukan penelitian di wilayah Tapanuli Utara saat mengadakan pertemuan dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA), Senin (7/11).

Sandra yang melakukan penelitian dengan dibantu Restuala Pakpahan dan MJA Nashir asal Indonesia itu menyebut banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Di antaranya, akibat melonjaknya harga bahan baku yang tak sebanding dengan harga jual. Belum lagi ditambah proses pembuatan yang menyita waktu dan tenaga yang cukup lama.
“Harga jualnya sudah terkalahkan oleh kain-kain dari pabrik, meski secara kualitas ulos masih lebih unggul. Yang kita khawatirkan jangan sampai akibat harga jual yang rendah ini kemudian berpengaruh pada proses produksi ulos yang asal jadi dengan kualitas rendah,” timpalnya.

Alasan lain karena pandangan bahwa menenun identik dengan warga miskin. Padahal kenyatannya tidak demikian. “Untuk semua hasil penelitian itu sudah saya tuangkan dalam bentuk buku. Dan karena saya tidak mau itu hanya habis di rak buku, makanya buku-buku yang ada dijual di sekitar wilayah penelitian biar bermanfaat. Dan sudah hampir terjual semua,” tuturnya.

Mewakili Pemerintah Indonesia, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar menyatakan apresiasinya. Terutama untuk Sandra dan rekannya. Ia mengaku tertarik sehingga mengundang si peneliti asal Belanda tersebut.

Terhadap hasil penelitian itu, Linda mengaku miris. Karena itu, ia berencana memfasilitasi masalah tersebut. Kini sudah dimulai dengan forum anak yang sudah terbangun hingga ke tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
“Pada intinya, kami melihat bahwa di sini ada peluang bagi perempuan dan anak-anak untuk berkarya. Jadi kami siap untuk fasilitasi persoalan ini. Apalagi kain ulos termasuk high class untuk ukuran dunia,” pungkas Linda. (yes/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/