SUMUTPOS.CO – Sungguh, siapapun presiden, bagaimanapun komposisi kabinet yang terbentuk, kita sebagai umat Muslim tetap wajib salat, zakat, puasa, dan menjalankan ibadah-ibadah sunnah lainnya.
Tidak sedikit kalangan dari umat yang merasa takut, khawatir, dan melihat masa depan akan buruk, karena beragam perkembangan yang terjadi seakan-akan tidak menguntungkan.
Pikiran semacam itu sepintas memang bisa dimaklumi, terutama jika melihat kondisi faktual yang terus berkembang. Namun secara prinsip, cara berpikir demikian harus dibuang jauh.
Saat Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam berdakwah, tak ada satu pun anggota masyarakat, apalagi pembesar masyarakat mengerti apa itu Islam. Beragam risiko dan konsekuensi pun harus dihadapi. Tapi semua terasa indah karena berada di jalan Allah Subhanahu wa Taala.
Selanjutnya, penting untuk terus diingat dan disegar-segarkan, kehidupan dunia ini bukanlah tempat yang aman, indah, dan nyaman secara hakikat. Akan selalu ada yang membuat kehidupan ini berguncang dan penuh kesulitan-kesulitan.
“Wahai manusia, Kami akan menguji kalian dengan kesempitan dan kenikmatan, untuk menguji iman kalian. Dan hanya kepada Kamilah kalian akan kembali”, (QS Al-Anbiya: 35).
Lantas apa yang harus dan idealnya dilakukan oleh umat Islam dalam situasi sulit? Pertama, tetap pada apa yang Allah perintahkan. Dengan demikian, lakukanlah dengan sebaik-baiknya. Bahkan menurut Ustad Abdullah Said, pendiri Hidayatullah, lakukanlah salat malam (tahajud).
Kala manusia berada dalam selimut (kecemasan, kengerian, kekhawatiran, dan ketakutan) Allah perintahkan kita untuk bangun dan membuang selimut itu.
“Pergilah berwudhu dan shalat! Kamu akan mendapakan kekuatan-kekuatan hingga kamu bebas dari ketakutan yang menyelimutimu”, (Buku Sistematika Wahyu Metode Alternatif Kebangkitan Islam Kedua, halaman 150).
Jika kita kembali pada sejarah Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam, maka sungguh setiap malam yang Beliau tidak pernah tinggalkan adalah tahajud (qiyamul lail).
Kedua, lakukanlah apa yang Allah perintahkan, seperti sabar, zikir, tilawah, tawakkal, hijrah, dan lain sebagainya. Semua itu adalah amalan kunci agar kita mendapatkan kekuatan menghadapi buruknya situasi dan kondisi.
Prinsipnya, bagaimanapun keadaan bumi dan langit, iman adalah kuncinya. Karena itu, Allah tegaskan agar kita benar-benar memperhatikan keimanan ini.
“Janganlah kamu lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”, (QS Ali Imran: 139).
Ketiga, bersatu dan budayakan musyawarah di kalangan umat. Kita tidak mungkin maju sendiri memperbaiki keadaan. Kita juga mustahil menjadi yang terkuat di dalam memperjuangkan kebenaran. Musyawarah atau kolaborasi menjadi syarat penting umat Islam dapat hidup lebih baik.
Dalam situasi sulit, umat harus saling memperkuat persatuan berpegang pada tali (ajaran) Allah dan berusaha sekuat tenaga untuk tidak bercerai berai. Pada saat yang sama membudayakan musyawarah, komitmen, dan bertawakkal atas itu semua.
Seperti yel-yel yang begitu sering diucapkan dalam beragam forum kebersamaan umat belakangan ini, ‘Islam bersatu tak bisa dikalahkan’. Tinggal bagaimana saat ini para tokoh dan perwakilan masing-masing kelompok benar-benar mengupayakannya menjadi karakter umat.
Langkah-langkah di atas tentu hal yang begitu umum di kalangan umat. Tapi, itu pula dasar yang harus kita tanam agar umat Islam bisa tampil sebagai umat terbaik, umat yang mampu melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar dan meneguhkan keimanan kepada Allah.
Pertanyaannya, siapa yang akan memulai ini semua? Daripada menunggu-nunggu, mengapa tidak kita secara pribadi, masing-masing mengusahakannya. Insya Allah dengan kesungguhan (mujahadah) Allah akan berikan pertolongan-Nya. Maka jangan takut dan jangan pula bersedih hati wahai kaum Muslimin. (htc/saz)