25 C
Medan
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

Surat Dakwaan Dinilai Kabur & Tidak Jelas, Eldin Tak Masuk Kategori OTT

SIDANG: Wali Kota Medan nonaktif, HT Dzulmi Eldin menjalani sidang lanjutan dengan agenda eksepsi di Pengadilan Tipikor Medan, Kamis (12/3). agusman/sumut pos
SIDANG: Wali Kota Medan nonaktif, HT Dzulmi Eldin menjalani sidang lanjutan dengan agenda eksepsi di Pengadilan Tipikor Medan, Kamis (12/3).
Agusman/sumut pos

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sidang kasus dugaan penerima suap Rp2,1 miliar dengan terdakwa HT Dzulmi Eldin memasuki agenda pembacaan eksepsi, di Ruang Cakra 1 Pengadilan Tipikor Medan, Kamis (12/3) pagi. Dalam eksepsi yang dibacakan tim kuasa hukum, surat dakwaan dianggap kabur dan tidak jelas.

“Bahwa surat perintah penyidikan nomor: Sprin. Dik/142/DIK.00/01/10/2019 tanggal 16 Oktober 2019, dan langsung dilakukan upaya paksa penahanan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Klas I Jakarta Timur Cabang KPK pada Pomdam Jaya Guntur pada tanggal 16 Oktober 2019 sampai dengan tanggal 4 November 2019,” ucap Nizamuddin SH, salah satu penasihat hukum Eldin.

Kemudian, kata Nizamuddin, pada surat dakwaan pertama maupun kedua, penuntut umum tidak menguraikan secara jelas, mendalam dan terperinci mengenai bentuk atau sifat keikutsertaan Eldin dalam kasus ini. ”Maka surat dakwaan penuntut umum diklasifikasikan sebagai surat dakwaan kabur dan tidak terang. Sehingga surat dakwaan batal demi hukum,” tegasnya.

Usai pembacaan eksepsi, majelis hakim yang diketuai Abdul Azis menunda sidang hingga pekan depan, dengan agenda jawaban jaksa (replik). Sementara usai sidang, Nizamuddin yang diwawancarai kembali menegaskan, Eldin tidak masuk dalam kategori operasi tangkap tangan (OTT) sesuai Pasal 1 angka 19 KUHAP. “Sehingga dalam keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PU/12/2014, kaidah dalam putusan MK harus mewajibkan setiap penyidik untuk melakukan pemeriksaan sebagai calon tersangka,” katanya.

Kemudian, dia menyinggung tentang kapasitas terdakwa Dzulmi Eldin sebagai orang yang melakukan atau orang yang turut melakukan. Menurutnya, kualifikasinya tidak dijelaskan, sehingga dia menganggapnya kabur.

Lebih lanjut, urainya, pada pertengahan Juli 2018 ada kegiatan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) di Tarakan. ”Tempus delicti yang disebutkan JPU pertengahan Juli 2018, tapi disisi yang lain ketika dia menguraikan siapa saja uang yang diambil Samsul Fitri tempus delictinya itu, April, Mei, Juni dan Juli. Nah timbul pertanyaan, kalau untuk April, Mei, Juni itu untuk siapa (uang dikumpulkan)? Kan bukan untuk kegiatan Apeksi,” jelasnya.

“Di situlah kekaburan, sehingga kalau menurut Pasal 143 ayat 3 itu, kalau dakwaan yang bersifat kabur, penguraian yang tidak jelas, tidak cermat tentang lokus dan tempus delicti menjadi kabur dan tidak jelas,” pungkasnya.

Sebelumnya, dalam dakwaan Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Iskandar Zulkarnain menyebutkan, kasus suap Eldin berawal dari kekurangan anggaran kegiatan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi). Terdakwa pada pertengahan Bulan Juli 2018 menerima laporan dari Samsul Fitri tentang dana yang dibutuhkan untuk keberangkatan kegiatan Apeksi di Tarakan Kalimantan Utara sejumlah Rp200 juta. Namun yang ditanggung APBD tidak mencapai jumlah tersebut.

Mendapat laporan itu, terdakwa kemudian memberikan arahan untuk meminta uang kepada Para Kepala OPD/ Pejabat Eselon II dan Samsul Fitri menyatakan kesanggupannya. “Samsul Fitri di hadapan terdakwa kemudian membuat catatan Para Kepala OPD/ Pejabat Eselon II yang akan dimintai uang serta perkiraan jumlahnya yang mencapai Rp240 juta. Atas catatan perhitungan Samsul Fitri tersebut terdakwa menyetujuinya,” urai jaksa.

Namun ternyata, permintaan Eldin melalui Samsul Fitri, hanya terkumpul Rp120 juta. Dalam kesempatan lain, permintaan Dzulmi Eldin ternyata terus berlanjut, hingga yang terakhir ia meminta uang pegangan dan perjalanan selama menghadiri undangan acara Program Sister City di Kota Ichikawa Jepang pada Juli 2019.

Penghitungan kebutuhan dana akomodasi kunjungan ke Jepang tersebut sejumlah Rp1,5 miliar. Sedangkan APBD Kota Medan mengalokasikan dana hanya Rp500 juta. Edin kemudian mengarahkan Samsul Fitri untuk meminta uang kepada Kepala OPD yang akan ikut dalam rombongan ke Jepang tersebut.

Keseluruhan uang yang dikumpulkan terdakwa dari para kepala OPD yang disetorkan ke Dzulmi Eldin, totalnya mencapai Rp2,1 miliar lebih.

Perbuatan terdakwa diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a UU RI No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. (man)

SIDANG: Wali Kota Medan nonaktif, HT Dzulmi Eldin menjalani sidang lanjutan dengan agenda eksepsi di Pengadilan Tipikor Medan, Kamis (12/3). agusman/sumut pos
SIDANG: Wali Kota Medan nonaktif, HT Dzulmi Eldin menjalani sidang lanjutan dengan agenda eksepsi di Pengadilan Tipikor Medan, Kamis (12/3).
Agusman/sumut pos

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sidang kasus dugaan penerima suap Rp2,1 miliar dengan terdakwa HT Dzulmi Eldin memasuki agenda pembacaan eksepsi, di Ruang Cakra 1 Pengadilan Tipikor Medan, Kamis (12/3) pagi. Dalam eksepsi yang dibacakan tim kuasa hukum, surat dakwaan dianggap kabur dan tidak jelas.

“Bahwa surat perintah penyidikan nomor: Sprin. Dik/142/DIK.00/01/10/2019 tanggal 16 Oktober 2019, dan langsung dilakukan upaya paksa penahanan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Klas I Jakarta Timur Cabang KPK pada Pomdam Jaya Guntur pada tanggal 16 Oktober 2019 sampai dengan tanggal 4 November 2019,” ucap Nizamuddin SH, salah satu penasihat hukum Eldin.

Kemudian, kata Nizamuddin, pada surat dakwaan pertama maupun kedua, penuntut umum tidak menguraikan secara jelas, mendalam dan terperinci mengenai bentuk atau sifat keikutsertaan Eldin dalam kasus ini. ”Maka surat dakwaan penuntut umum diklasifikasikan sebagai surat dakwaan kabur dan tidak terang. Sehingga surat dakwaan batal demi hukum,” tegasnya.

Usai pembacaan eksepsi, majelis hakim yang diketuai Abdul Azis menunda sidang hingga pekan depan, dengan agenda jawaban jaksa (replik). Sementara usai sidang, Nizamuddin yang diwawancarai kembali menegaskan, Eldin tidak masuk dalam kategori operasi tangkap tangan (OTT) sesuai Pasal 1 angka 19 KUHAP. “Sehingga dalam keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PU/12/2014, kaidah dalam putusan MK harus mewajibkan setiap penyidik untuk melakukan pemeriksaan sebagai calon tersangka,” katanya.

Kemudian, dia menyinggung tentang kapasitas terdakwa Dzulmi Eldin sebagai orang yang melakukan atau orang yang turut melakukan. Menurutnya, kualifikasinya tidak dijelaskan, sehingga dia menganggapnya kabur.

Lebih lanjut, urainya, pada pertengahan Juli 2018 ada kegiatan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) di Tarakan. ”Tempus delicti yang disebutkan JPU pertengahan Juli 2018, tapi disisi yang lain ketika dia menguraikan siapa saja uang yang diambil Samsul Fitri tempus delictinya itu, April, Mei, Juni dan Juli. Nah timbul pertanyaan, kalau untuk April, Mei, Juni itu untuk siapa (uang dikumpulkan)? Kan bukan untuk kegiatan Apeksi,” jelasnya.

“Di situlah kekaburan, sehingga kalau menurut Pasal 143 ayat 3 itu, kalau dakwaan yang bersifat kabur, penguraian yang tidak jelas, tidak cermat tentang lokus dan tempus delicti menjadi kabur dan tidak jelas,” pungkasnya.

Sebelumnya, dalam dakwaan Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Iskandar Zulkarnain menyebutkan, kasus suap Eldin berawal dari kekurangan anggaran kegiatan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi). Terdakwa pada pertengahan Bulan Juli 2018 menerima laporan dari Samsul Fitri tentang dana yang dibutuhkan untuk keberangkatan kegiatan Apeksi di Tarakan Kalimantan Utara sejumlah Rp200 juta. Namun yang ditanggung APBD tidak mencapai jumlah tersebut.

Mendapat laporan itu, terdakwa kemudian memberikan arahan untuk meminta uang kepada Para Kepala OPD/ Pejabat Eselon II dan Samsul Fitri menyatakan kesanggupannya. “Samsul Fitri di hadapan terdakwa kemudian membuat catatan Para Kepala OPD/ Pejabat Eselon II yang akan dimintai uang serta perkiraan jumlahnya yang mencapai Rp240 juta. Atas catatan perhitungan Samsul Fitri tersebut terdakwa menyetujuinya,” urai jaksa.

Namun ternyata, permintaan Eldin melalui Samsul Fitri, hanya terkumpul Rp120 juta. Dalam kesempatan lain, permintaan Dzulmi Eldin ternyata terus berlanjut, hingga yang terakhir ia meminta uang pegangan dan perjalanan selama menghadiri undangan acara Program Sister City di Kota Ichikawa Jepang pada Juli 2019.

Penghitungan kebutuhan dana akomodasi kunjungan ke Jepang tersebut sejumlah Rp1,5 miliar. Sedangkan APBD Kota Medan mengalokasikan dana hanya Rp500 juta. Edin kemudian mengarahkan Samsul Fitri untuk meminta uang kepada Kepala OPD yang akan ikut dalam rombongan ke Jepang tersebut.

Keseluruhan uang yang dikumpulkan terdakwa dari para kepala OPD yang disetorkan ke Dzulmi Eldin, totalnya mencapai Rp2,1 miliar lebih.

Perbuatan terdakwa diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a UU RI No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. (man)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/