27.8 C
Medan
Sunday, May 5, 2024

Kejati Jatim Langgar Prosedur

FOTO: Angger Bondan/Jawa Pos Dahlan Iskan keluar dari Rutan Medaeng setelah statusnya berubah menjadi tahanan rumah, Senin (31/10/2016).

SURABAYA, SUMUTPOS.CO  – Penyidik pidana khusus Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) melakukan kecerobohan sekaligus pelanggaraan hak asasi manusia dalam penetapan Dahlan Iskan sebagai tersangka dugaan penyelewengan di PT Panca Wira Usaha (PWU) Jatim. Itu terungkap dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Surabaya kemarin (21/11).

Yang paling mencolok adalah terbitnya surat perintah penyidikan (sprindik) pada hari yang sama dengan penetapan tersangka atas nama Dahlan pada 27 Oktober 2016. Parahnya lagi, pada hari itu juga langsung dilakukan penahanan.

”Itu termasuk tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum,” kata Prof Nur Basuki Minarno, pakar hukum Universitas Airlangga yang menjadi saksi ahli dalam sidang kemarin (21/11).

”Itu adalah pelanggaran hak asasi manusia,” tegasnya.

Nur menjelaskan, penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam mengumpulkan alat bukti untuk membuat terang sebuah peristiwa dan mencari pelaku. Sedangkan tersangka adalah seseorang yang diduga melakukan tindak pidana berdasar bukti permulaan yang cukup.

Sprindik merupakan tahap awal penyidik untuk memulai penyidikan. Sebab, saat itu belum ada barang bukti maupun alat bukti. ”Kalau keluar bersamaan (sprindik dan penetapan tersangka, Red), pertanyaannya, apa dasar seseorang ditetapkan sebagai tersangka? Padahal, dengan sprindik, baru akan mengumpulkan alat bukti dan barang bukti,” tutur dia.

Pieter Talaway, salah seorang anggota tim kuasa hukum Dahlan, mempertanyakan perihal sprindik umum dan khusus. Sebab, jaksa menyatakan telah mengeluarkan sprindik umum pada 30 Juni 2016, kemudian sprindik khusus pada 27 Oktober 2016 atas nama Dahlan.

Menanggapi hal tersebut, Nur mengatakan, dalam KUHAP tidak dikenal sprindik umum maupun sprindik khusus. ”Sprindik hanya satu, yang dijadikan acuan penyidik dalam melakukan penyidikan,” tegas guru besar Unair itu. Menurut dia, permintaan keterangan tidak termasuk kegiatan penyidikan. Hasil tanya jawab dalam permintaan keterangan itu tidak bisa dijadikan bukti.

Jika sprindik tidak sah, lanjut Nur, semua turunannya ikut menjadi tidak sah. Misalnya bukti yang dikumpulkan, permintaan keterangan saksi, sampai tindakan penetapan tersangka hingga penahanan. ”Sebab, sprindik merupakan dasar kewenangan penyidik dalam melakukan penyidikan,” paparnya.

Dalam penjelasannya, Nur juga menegaskan bahwa sidang praperadilan tidak otomatis gugur meski perkara pokoknya sudah dilimpahkan ke pengadilan. Dia mengatakan, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK), permohonan praperadilan gugur jika perkara pokok diperiksa. Yaitu ketika sidang pertama digelar dengan agenda pembacaan surat dakwaan. ”Bukan ketika perkara didaftarkan,” tegasnya.

Indra Priangkasa, anggota lain tim kuasa hukum Dahlan, selanjutnya mempertanyakan syarat penyitaan dokumen notaris oleh penyidik. Sebab, dokumen itu menjadi salah satu bukti yang dipegang penyidik. Sebagai dosen yang mengajarkan materi kenotariatan, Nur mengatakan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa penyitaan dokumen yang terkait dengan kenotariatan harus atas persetujuan majelis kehormatan notaris. ”Jika notaris itu meninggal dan belum ada penunjukan penggantinya, maka tetap harus seizin majelis kehormatan notaris. Bahkan, ahli waris pun tidak berwenang memberikan dokumen tersebut,” paparnya.

Hal mendasar lain yang menunjukkan kesewenang-wenangan penyidik Kejati Jatim adalah penghitungan kerugian negara. Nur memastikan bahwa hal itu hanya bisa dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal tersebut didasarkan pada serentetan peraturan perundang-undangan. Antara lain Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Ada juga Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK.

Dalam sidang tersebut, jaksa selaku termohon sempat bertanya dengan membacakan pertimbangan putusan salah satu gugatan di MK. Intinya, dalam menghitung kerugian negara, KPK bisa bekerja sama dengan BPK, BPKP, atau instansi lain. Mendengar pertanyaan itu, Nur menjawab dengan tegas. ”Itu pertimbangan. Bukan putusan,” ucapnya.

Nur mengatakan, penghitungan kerugian negara harus sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan. Dia mempertanyakan kemampuan aparat penegak hukum untuk melakukan penghitungan sesuai standar tersebut.

FOTO: Angger Bondan/Jawa Pos Dahlan Iskan keluar dari Rutan Medaeng setelah statusnya berubah menjadi tahanan rumah, Senin (31/10/2016).

SURABAYA, SUMUTPOS.CO  – Penyidik pidana khusus Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) melakukan kecerobohan sekaligus pelanggaraan hak asasi manusia dalam penetapan Dahlan Iskan sebagai tersangka dugaan penyelewengan di PT Panca Wira Usaha (PWU) Jatim. Itu terungkap dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Surabaya kemarin (21/11).

Yang paling mencolok adalah terbitnya surat perintah penyidikan (sprindik) pada hari yang sama dengan penetapan tersangka atas nama Dahlan pada 27 Oktober 2016. Parahnya lagi, pada hari itu juga langsung dilakukan penahanan.

”Itu termasuk tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum,” kata Prof Nur Basuki Minarno, pakar hukum Universitas Airlangga yang menjadi saksi ahli dalam sidang kemarin (21/11).

”Itu adalah pelanggaran hak asasi manusia,” tegasnya.

Nur menjelaskan, penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam mengumpulkan alat bukti untuk membuat terang sebuah peristiwa dan mencari pelaku. Sedangkan tersangka adalah seseorang yang diduga melakukan tindak pidana berdasar bukti permulaan yang cukup.

Sprindik merupakan tahap awal penyidik untuk memulai penyidikan. Sebab, saat itu belum ada barang bukti maupun alat bukti. ”Kalau keluar bersamaan (sprindik dan penetapan tersangka, Red), pertanyaannya, apa dasar seseorang ditetapkan sebagai tersangka? Padahal, dengan sprindik, baru akan mengumpulkan alat bukti dan barang bukti,” tutur dia.

Pieter Talaway, salah seorang anggota tim kuasa hukum Dahlan, mempertanyakan perihal sprindik umum dan khusus. Sebab, jaksa menyatakan telah mengeluarkan sprindik umum pada 30 Juni 2016, kemudian sprindik khusus pada 27 Oktober 2016 atas nama Dahlan.

Menanggapi hal tersebut, Nur mengatakan, dalam KUHAP tidak dikenal sprindik umum maupun sprindik khusus. ”Sprindik hanya satu, yang dijadikan acuan penyidik dalam melakukan penyidikan,” tegas guru besar Unair itu. Menurut dia, permintaan keterangan tidak termasuk kegiatan penyidikan. Hasil tanya jawab dalam permintaan keterangan itu tidak bisa dijadikan bukti.

Jika sprindik tidak sah, lanjut Nur, semua turunannya ikut menjadi tidak sah. Misalnya bukti yang dikumpulkan, permintaan keterangan saksi, sampai tindakan penetapan tersangka hingga penahanan. ”Sebab, sprindik merupakan dasar kewenangan penyidik dalam melakukan penyidikan,” paparnya.

Dalam penjelasannya, Nur juga menegaskan bahwa sidang praperadilan tidak otomatis gugur meski perkara pokoknya sudah dilimpahkan ke pengadilan. Dia mengatakan, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK), permohonan praperadilan gugur jika perkara pokok diperiksa. Yaitu ketika sidang pertama digelar dengan agenda pembacaan surat dakwaan. ”Bukan ketika perkara didaftarkan,” tegasnya.

Indra Priangkasa, anggota lain tim kuasa hukum Dahlan, selanjutnya mempertanyakan syarat penyitaan dokumen notaris oleh penyidik. Sebab, dokumen itu menjadi salah satu bukti yang dipegang penyidik. Sebagai dosen yang mengajarkan materi kenotariatan, Nur mengatakan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa penyitaan dokumen yang terkait dengan kenotariatan harus atas persetujuan majelis kehormatan notaris. ”Jika notaris itu meninggal dan belum ada penunjukan penggantinya, maka tetap harus seizin majelis kehormatan notaris. Bahkan, ahli waris pun tidak berwenang memberikan dokumen tersebut,” paparnya.

Hal mendasar lain yang menunjukkan kesewenang-wenangan penyidik Kejati Jatim adalah penghitungan kerugian negara. Nur memastikan bahwa hal itu hanya bisa dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal tersebut didasarkan pada serentetan peraturan perundang-undangan. Antara lain Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Ada juga Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK.

Dalam sidang tersebut, jaksa selaku termohon sempat bertanya dengan membacakan pertimbangan putusan salah satu gugatan di MK. Intinya, dalam menghitung kerugian negara, KPK bisa bekerja sama dengan BPK, BPKP, atau instansi lain. Mendengar pertanyaan itu, Nur menjawab dengan tegas. ”Itu pertimbangan. Bukan putusan,” ucapnya.

Nur mengatakan, penghitungan kerugian negara harus sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan. Dia mempertanyakan kemampuan aparat penegak hukum untuk melakukan penghitungan sesuai standar tersebut.

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/