25 C
Medan
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

Dua Kali Ganti Mobil, Jurnalis Jadi Tamu VIP

Mengunjungi Pertambangan Emas Proyek Martabe di Batangtoru (1)

Senin, 14 November, manajemen PT Agincourt Research mengajak wartawan surat kabar di Medan untuk mengunjungi langsung lokasi pertambangan emas Proyek Martabe di Batangtoru, Tapanuli Selatan.

Toga MH Siahaan, Medan

Pagi itu, Kota Medan diguyur hujan yang turun sejak dini hari. Tak terkecuali Bandara Polonia. Saya tiba di bandara saat waktu menunjukkan pukul 06.15 WIB, aktivitas di bandara mulai sibuk, berselimut berkabut. Lima belas menit kemudian, sejumlah rombongan sudah terlihat berkumpul di JW Lounge Bandara Polonia.

Katarina Hardono, Communication Manager PT Agincourt Resources (PT AR) , tampak bergerak aktif. Dia memastikan delapan wartawan yang diundang mengunjungi proyek tambang emas Batangtoru hadir di titik kumpul di JW Lounge. Apa boleh buat, seorang rekan jurnalis berhalangan untuk ikut.

Rencana perjalanan udara dengan pesawat kecil di tengah cuaca hujan dan berkabut, membuat beberapa anggota rombongan harap-harap cemas. Seorang rekan jurnalis bahkan terang-terangan mengungkapkan rasa khawatirnya. “Ini perjalanan pertama saya ke Pinangsori,” katanya mencoba tetap tersenyum.

Katarina Hardono yang hari itu mengenakan seragam proyek berwarna orange, langsung memberi komentar yang menenangkan, “Tenang aja, kita pernah kok terbang dengan cuaca yang lebih buruk.”

“Iya, juga beberapa kali terbang seperti ini, tidak apa-apa,” timpal Washington Tambunan.
Teman lain berujar, pilot bule jagonya menghadapi cuaca buruk. Maskapai Susi Air yang dicarter PT Agincourt Resources untuk kami tumpangi memang mempekerjakan pilot yang seluruhnya bule. Penjelasan itu lumayan manjur. Teman tersebut jadi lebih tenang.

Setelah sarapan pagi, Pukul 06.45 rombongan diarahkan masuk pesawat cessna dengan 12 penumpang. Seorang pria bule yang ternyata co-pilot pesawat menyapa kami dengan ramah. “Selamat pagi, selamat pagi,” ucap pria muda tersebut.

Bersama rombongan ada tujuh wartawan, Katarina Hardono, Tim Duffy sebagai Operational Manager PT Agincourt Resources, Washington Tambunan sebagai konsultan PT Agincourt Resources, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sumut Untungta Kaban dan Zubaidi, Kabid Pertambangan Umum Dinas Pertambangan Pemprov Sumut. Total ada 11 anggota rombongan dan pilot dan co-pilot yang keduanya bule.

Dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata, co-pilot kembali menyapa penumpang dan meminta untuk mengenakan sabuk pengaman. Co-pilot menjelaskan, perjalanan udara dari Polonia ke Bandara Kelas III FL Tobing/Pinangsori akan ditempuh dalam 50 menit.

Mesin pesawat dinyalakan sekitar pukul 07.00 WIB dan perlahan berpindah tempat ke landasan pacu. Suara gemuruh mengisi kabin, mengalahkan perasaan tak menentu saat pesawat mengangkasa, membelah tumpahan butiran air hujan dan kumpulan awan gelap.

Beberapa orang dari rombongan yang tadinya was-was, mulai tenang saat pesawat take off dengan mulus. Tim Duffy dan Washington Tambunan malah mulai menutup mata, memilih tidur sedangkan Untungta Kaban mulai membaca buku.

Daripada mengkhawatirkan apa yang belum tentu terjadi, memang lebih baik mencari kegiatan masing-masing. Saya memutuskan melayani pembicaraan dengan Zubaidi yang duduk tepat di sebelah kanan. Berbagai hal menjadi topik pembahasan.

Dalam perbincangan, Zubaidi menunjuk ke luar jendela. Ternyata kami sudah berada di atas Danau Toba dengan ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan danau. Danau terbesar di Indonesia itu terlihat setelah 35 menit perjalanan.

Pemandangan di bawah terlihat jelas. Selain pesawat yang terbang tidak terlalu tinggi, kabut pun mulai menipis. Pemandangan Danau Toba dan Pulau Samosir dari ketinggian seribu meter ternyata tak seindah pemandangan dari perjalanan darat.

View eksotis malah tersaji saat perjalanan memasuki Sibolga sekitar 15 menit kemudian. Seperti cermin, laut di Teluk Sibolga dengan hamparan kerambanya, memantulkan cahaya memerah yang terpendar mentari pagi. Sejumlah jurnalis mulai mengeluarkan kamera dan merekam suasana pagi itu.

Zubaidi lantas mengingatkan, kami akan segera tiba di Bandara FL Tobing/Pinangsori dalam beberapa menit lagi. Benar saja, pesawat akhirnya mendarat dengan sedikit hentakan sekitar pukul 07.58 WIB. Pagi yang cerah meski perjalanan terlambat hampir 10 menit dari waktu yang diperkirakan.

Menunggu keluar dari pesawat, saya sempat menyapa pilot dan co-pilot. Di atar kertas yang disodorkan, sang pilot menuliskan namanya Kris. Pria 31 tahun ini ternyata dari Inggris dan sudah satu tahun menerbangkan pesawat Susi Air. Sedangkan rekannya bernama Jakub, berusia 23 tahun. Pemuda asal New Zealand ini baru bergabung dengan maskapai ini sejak sebulan terkahir. Perbincangan dengan keduanya tidak berlangsung lama karena rombongan sudah menuju ruang tunggu bandara.

Hari itu, bandara Kelas III yang dikelola Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (UPT Ditjen Hubud) itu terlihat sepi. Hanya ada beberapa petugas bandara dan tukang yang sedang bekerja merenovasi bandara.
Dari titik ini, tujuh wartawan lokal dan rombongan melanjutkan perjalanan darat menuju PTAR. Manajemen anak perusahaan korporasi G Resourches Group Limited ternyata sudah menyiapkan empat Toyota Kijang Innova. Satu mobil mengangkut 3 tamu. Selain itu, ternyata ada mobil double cabin yang sengaja disiapkan mengawal rombongan. “Ini prosedural standar. Pengawalan selalu diturunkan mengantar jemut tamu, khususnya tamu VIP,” ujar supir Kijang Innova yang akan membawa kami.

Tepat pukul 08.00 WIB, rombongan bergerak menuju Proyek Martabe. Di mobil ini, saya bersama Katarina Hardono dan wartawan Kompas, Aufrida Wismi. Sepanjang perjalanan, Katarina menjadi guide yang sangat baik saat menerangkan lahan PT AR yang sebagian wilayahnya berbatasan langsung dengan lahan kebun karet milik PTPN III. Katarina mulai menerangkan bagaimana perusahaan tambang emas yang induknya terdaftar di bursa saham Hongkong tersebut, menjalin hubungan baik dengan masyarakat sekitar. Kami pun bertukar banyak informasi.

Sekitar pukul 08.58, rombongan sampai di Gate 2, di wilayah terluar kawasan pertambangan dengan kontur berbukit-bukit. “Kita ganti mobil hangat. Mobil yang ini tidak mampu naik ke atas,” ujar Katarina. Sembari menerangkan kalau pakai jalur normal, melalui jalur darat, jarak Medan-Batangtoru bisa dicapai dalam 8 hingga 10 jam.

Ternyata mobil hangat yang dimaksud adalah microbus yang tidak memiliki pendingin udara. Semua rombongan diangkut dengan mobil ini. Suasana terlihat berbeda saat mobil mulai merayap di jalan semi offroad. Lebih 10 menit kemudian, kami sampai di Pelangi Camp untuk beristirahat sejenak. Sebuah buklet berisi profil perusahaan, dua eksemplas majalah Tona Nadenggan, majalah dwi bulanan yang beredar di internal perusahaan serta beberapa brosur tentang Proyek Martabe.

Di camp ini, agenda kunjungan sehari di Proyek Martabe diawali dengan perkenalan standar keselamatan bagi pengunjung. Dilanjutkan dengan sambutan dari manajemen PT AR yang disampaikan Tim Duffy dan diterjemahkan Katarina Hardono.

Dalam kata-kata pembukanya, Tim Duffy menyatakan pihaknya ingin memperkaya pemahaman para jurnalis tentang pertambangan dan Proyek Martabe. Pasalnya, Tim yang suka membaca artikel di media yang mengulas Proyek Martabe, khususnya terbitan Medan, berulang kali menemukan banyak hal yang dirasanya kurang tepat. “Karena itu kami merasa perlu memperkenalkan Proyek Martabe kepada teman-teman jurnalis,” demikian Tim mengungkapkan salah satu alasan pihaknya menyelenggarakan kunjungan sehari para jurnalis di Proyek Martabe.

Secara garis besar, apa yang dipaparkan Tim Duffy sudah tersaji di buklet perusahaan. Proyek Martabe di Batangtoru berada di bawah naungan PT Agincourt Resources, anak perusahaan G-Resources Group Limited, perusahaan emas Asia-Pasifik yang berbasis dan terdaftar di Hongkong. Aset utama perusahaan adalah proyek emas dan perak. Proyek ini dibeli dari OZ Minerals Limited senilai 220 juta dolar AS pada 2009. Proyek Maratbe menjadi standar bagi bisnis G-resources lainnya di Indonesia.

Proyek Martabe terletak di lahan seluas sekitar 3000 ha (5 x 6 km) yang masuk dalam kontrak karya generasi keenam selama 30 tahun dengan opsi perpanjangan kontrak. Cadangan emas di proyek ini mencapai 2,7 juta ounce cadangan emas dan 32,8 juta ounce cadangan perak.

Secara umum, Tim Duffy menggambarkan Proyek Martabe sebagai proyek tambang yang berkelanjutan, peduli lingkungan dan memiliki hubungan yang harmonis dengan masyarakat di sekitar tambang yang sejahtera. (bersambung)

Mengunjungi Pertambangan Emas Proyek Martabe di Batangtoru (1)

Senin, 14 November, manajemen PT Agincourt Research mengajak wartawan surat kabar di Medan untuk mengunjungi langsung lokasi pertambangan emas Proyek Martabe di Batangtoru, Tapanuli Selatan.

Toga MH Siahaan, Medan

Pagi itu, Kota Medan diguyur hujan yang turun sejak dini hari. Tak terkecuali Bandara Polonia. Saya tiba di bandara saat waktu menunjukkan pukul 06.15 WIB, aktivitas di bandara mulai sibuk, berselimut berkabut. Lima belas menit kemudian, sejumlah rombongan sudah terlihat berkumpul di JW Lounge Bandara Polonia.

Katarina Hardono, Communication Manager PT Agincourt Resources (PT AR) , tampak bergerak aktif. Dia memastikan delapan wartawan yang diundang mengunjungi proyek tambang emas Batangtoru hadir di titik kumpul di JW Lounge. Apa boleh buat, seorang rekan jurnalis berhalangan untuk ikut.

Rencana perjalanan udara dengan pesawat kecil di tengah cuaca hujan dan berkabut, membuat beberapa anggota rombongan harap-harap cemas. Seorang rekan jurnalis bahkan terang-terangan mengungkapkan rasa khawatirnya. “Ini perjalanan pertama saya ke Pinangsori,” katanya mencoba tetap tersenyum.

Katarina Hardono yang hari itu mengenakan seragam proyek berwarna orange, langsung memberi komentar yang menenangkan, “Tenang aja, kita pernah kok terbang dengan cuaca yang lebih buruk.”

“Iya, juga beberapa kali terbang seperti ini, tidak apa-apa,” timpal Washington Tambunan.
Teman lain berujar, pilot bule jagonya menghadapi cuaca buruk. Maskapai Susi Air yang dicarter PT Agincourt Resources untuk kami tumpangi memang mempekerjakan pilot yang seluruhnya bule. Penjelasan itu lumayan manjur. Teman tersebut jadi lebih tenang.

Setelah sarapan pagi, Pukul 06.45 rombongan diarahkan masuk pesawat cessna dengan 12 penumpang. Seorang pria bule yang ternyata co-pilot pesawat menyapa kami dengan ramah. “Selamat pagi, selamat pagi,” ucap pria muda tersebut.

Bersama rombongan ada tujuh wartawan, Katarina Hardono, Tim Duffy sebagai Operational Manager PT Agincourt Resources, Washington Tambunan sebagai konsultan PT Agincourt Resources, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sumut Untungta Kaban dan Zubaidi, Kabid Pertambangan Umum Dinas Pertambangan Pemprov Sumut. Total ada 11 anggota rombongan dan pilot dan co-pilot yang keduanya bule.

Dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata, co-pilot kembali menyapa penumpang dan meminta untuk mengenakan sabuk pengaman. Co-pilot menjelaskan, perjalanan udara dari Polonia ke Bandara Kelas III FL Tobing/Pinangsori akan ditempuh dalam 50 menit.

Mesin pesawat dinyalakan sekitar pukul 07.00 WIB dan perlahan berpindah tempat ke landasan pacu. Suara gemuruh mengisi kabin, mengalahkan perasaan tak menentu saat pesawat mengangkasa, membelah tumpahan butiran air hujan dan kumpulan awan gelap.

Beberapa orang dari rombongan yang tadinya was-was, mulai tenang saat pesawat take off dengan mulus. Tim Duffy dan Washington Tambunan malah mulai menutup mata, memilih tidur sedangkan Untungta Kaban mulai membaca buku.

Daripada mengkhawatirkan apa yang belum tentu terjadi, memang lebih baik mencari kegiatan masing-masing. Saya memutuskan melayani pembicaraan dengan Zubaidi yang duduk tepat di sebelah kanan. Berbagai hal menjadi topik pembahasan.

Dalam perbincangan, Zubaidi menunjuk ke luar jendela. Ternyata kami sudah berada di atas Danau Toba dengan ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan danau. Danau terbesar di Indonesia itu terlihat setelah 35 menit perjalanan.

Pemandangan di bawah terlihat jelas. Selain pesawat yang terbang tidak terlalu tinggi, kabut pun mulai menipis. Pemandangan Danau Toba dan Pulau Samosir dari ketinggian seribu meter ternyata tak seindah pemandangan dari perjalanan darat.

View eksotis malah tersaji saat perjalanan memasuki Sibolga sekitar 15 menit kemudian. Seperti cermin, laut di Teluk Sibolga dengan hamparan kerambanya, memantulkan cahaya memerah yang terpendar mentari pagi. Sejumlah jurnalis mulai mengeluarkan kamera dan merekam suasana pagi itu.

Zubaidi lantas mengingatkan, kami akan segera tiba di Bandara FL Tobing/Pinangsori dalam beberapa menit lagi. Benar saja, pesawat akhirnya mendarat dengan sedikit hentakan sekitar pukul 07.58 WIB. Pagi yang cerah meski perjalanan terlambat hampir 10 menit dari waktu yang diperkirakan.

Menunggu keluar dari pesawat, saya sempat menyapa pilot dan co-pilot. Di atar kertas yang disodorkan, sang pilot menuliskan namanya Kris. Pria 31 tahun ini ternyata dari Inggris dan sudah satu tahun menerbangkan pesawat Susi Air. Sedangkan rekannya bernama Jakub, berusia 23 tahun. Pemuda asal New Zealand ini baru bergabung dengan maskapai ini sejak sebulan terkahir. Perbincangan dengan keduanya tidak berlangsung lama karena rombongan sudah menuju ruang tunggu bandara.

Hari itu, bandara Kelas III yang dikelola Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (UPT Ditjen Hubud) itu terlihat sepi. Hanya ada beberapa petugas bandara dan tukang yang sedang bekerja merenovasi bandara.
Dari titik ini, tujuh wartawan lokal dan rombongan melanjutkan perjalanan darat menuju PTAR. Manajemen anak perusahaan korporasi G Resourches Group Limited ternyata sudah menyiapkan empat Toyota Kijang Innova. Satu mobil mengangkut 3 tamu. Selain itu, ternyata ada mobil double cabin yang sengaja disiapkan mengawal rombongan. “Ini prosedural standar. Pengawalan selalu diturunkan mengantar jemut tamu, khususnya tamu VIP,” ujar supir Kijang Innova yang akan membawa kami.

Tepat pukul 08.00 WIB, rombongan bergerak menuju Proyek Martabe. Di mobil ini, saya bersama Katarina Hardono dan wartawan Kompas, Aufrida Wismi. Sepanjang perjalanan, Katarina menjadi guide yang sangat baik saat menerangkan lahan PT AR yang sebagian wilayahnya berbatasan langsung dengan lahan kebun karet milik PTPN III. Katarina mulai menerangkan bagaimana perusahaan tambang emas yang induknya terdaftar di bursa saham Hongkong tersebut, menjalin hubungan baik dengan masyarakat sekitar. Kami pun bertukar banyak informasi.

Sekitar pukul 08.58, rombongan sampai di Gate 2, di wilayah terluar kawasan pertambangan dengan kontur berbukit-bukit. “Kita ganti mobil hangat. Mobil yang ini tidak mampu naik ke atas,” ujar Katarina. Sembari menerangkan kalau pakai jalur normal, melalui jalur darat, jarak Medan-Batangtoru bisa dicapai dalam 8 hingga 10 jam.

Ternyata mobil hangat yang dimaksud adalah microbus yang tidak memiliki pendingin udara. Semua rombongan diangkut dengan mobil ini. Suasana terlihat berbeda saat mobil mulai merayap di jalan semi offroad. Lebih 10 menit kemudian, kami sampai di Pelangi Camp untuk beristirahat sejenak. Sebuah buklet berisi profil perusahaan, dua eksemplas majalah Tona Nadenggan, majalah dwi bulanan yang beredar di internal perusahaan serta beberapa brosur tentang Proyek Martabe.

Di camp ini, agenda kunjungan sehari di Proyek Martabe diawali dengan perkenalan standar keselamatan bagi pengunjung. Dilanjutkan dengan sambutan dari manajemen PT AR yang disampaikan Tim Duffy dan diterjemahkan Katarina Hardono.

Dalam kata-kata pembukanya, Tim Duffy menyatakan pihaknya ingin memperkaya pemahaman para jurnalis tentang pertambangan dan Proyek Martabe. Pasalnya, Tim yang suka membaca artikel di media yang mengulas Proyek Martabe, khususnya terbitan Medan, berulang kali menemukan banyak hal yang dirasanya kurang tepat. “Karena itu kami merasa perlu memperkenalkan Proyek Martabe kepada teman-teman jurnalis,” demikian Tim mengungkapkan salah satu alasan pihaknya menyelenggarakan kunjungan sehari para jurnalis di Proyek Martabe.

Secara garis besar, apa yang dipaparkan Tim Duffy sudah tersaji di buklet perusahaan. Proyek Martabe di Batangtoru berada di bawah naungan PT Agincourt Resources, anak perusahaan G-Resources Group Limited, perusahaan emas Asia-Pasifik yang berbasis dan terdaftar di Hongkong. Aset utama perusahaan adalah proyek emas dan perak. Proyek ini dibeli dari OZ Minerals Limited senilai 220 juta dolar AS pada 2009. Proyek Maratbe menjadi standar bagi bisnis G-resources lainnya di Indonesia.

Proyek Martabe terletak di lahan seluas sekitar 3000 ha (5 x 6 km) yang masuk dalam kontrak karya generasi keenam selama 30 tahun dengan opsi perpanjangan kontrak. Cadangan emas di proyek ini mencapai 2,7 juta ounce cadangan emas dan 32,8 juta ounce cadangan perak.

Secara umum, Tim Duffy menggambarkan Proyek Martabe sebagai proyek tambang yang berkelanjutan, peduli lingkungan dan memiliki hubungan yang harmonis dengan masyarakat di sekitar tambang yang sejahtera. (bersambung)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/