32 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Pengganti Mubarak Didesak Mundur

Revolusi Kedua Mesir

KAIRO – Unjuk rasa anti pemerintah terus berlanjut di Mesir. Kemarin (22/11) ribuan warga kembali membanjiri Tahrir Square di Kota Kairo dan menuntut militer yang masih bercokol di pemerintahan mundur. Bersamaan dengan itu, Mahkamah Tinggi Angkatan Darat (SCAF) menggelar rapat darurat bersama seluruh elemen pemerintah.

Pada hari keempat kemarin, para demonstran kembali bentrok dengan aparat. Tapi, kali ini bentrokan pecah di jalan-jalan utama yang menghubungkan Tahrir Square dengan kantor polisi Kairo. Sebab, setelah bentrokan Senin lalu (21/11), polisi menarik diri dari alun-alun utama tersebut untuk menghindari tertumpahnya lebih banyak darah.
Untuk menghalau para demonstran, polisi berpenutup kepala hitam yang didukung para personel militer menyemprotkan gas air mata. Mereka menembakkan peluru karet ke arah pengunjuk rasa yang beringas. Semprotan gas air mata dan tembakan peluru karet itu kembali memantik hujan batu dan bom molotov dari demonstran.

“Tujuan kami hanya satu: melengserkan pemerintahan. Mereka masih tetap saja mencuri dan membuat rakyat tak bisa makan,” keluh Raed Said (23) yang ikut berunjuk rasa kemarin. Kali ini pengunjuk rasa menggelorakan revolusi kedua tersebut mengganti nama Hosni Mubarak dengan Hussein Tantawi. Mereka menuntut pria yang menjabat field marshal segera mundur.

“Field marshal (Tantawi) harus mundur karena dia malah memilih untuk melindungi Mubarak daripada bersungguh-sungguh mengadilinya,” tandas Said. Hingga kini, aksi protes berjuluk revolusi kedua tersebut telah memakan korban sedikitnya 29 jiwa. Ratusan  demonstran lain terluka akibat bentrokan.

Jumlah pengunjuk rasa yang mendatangi Tahrir Square semakin banyak. Apalagi, di lokasi yang pernah menjadi saksi tumbangnya rezim Mubarak sudah banyak demonstran yang berkumpul. Ratusan aktivis anti pemerintah sengaja bekemah di Tahrir Square sejak Sabtu lalu (19/11). Di  lokasi kamping itu mereka mengibarkan bendera Mesir berukuran besar. Seorang aktivis mengusung papan bertulisan “kementerian kekerasan” dengan foto Mubarak, Tantawi, Perdana Menteri (PM) Essam Sharaf, dan petinggi Mesir lainnya.

Beberapa aktivis yang lain mengelilingi papan tersebut sambil mendendangkan slogan anti pemerintah. “Katakan, jangan gentar, dewan (militer) harus lengser. Rakyat ingin mengeksekusi field marshal,” teriak mereka.
Aksi unjuk rasa yang bergelora sejak Sabtu lalu itu memaksa kabinet Mesir yang dipimpin Sharaf menyatakan mundur. Hingga kemarin, dewan militer alias SCAF belum berkomentar soal pengunduran diri kabinet. Mereka hanya mengundang perwakilan seluruh partai pembentuk pemerintahan untuk membahas krisis yang berlangsung empat hari terakhir ini.

Namun, dewan militer tetap belum memberikan jawaban apa pun kepada kabinet terkait pengunduran diri mereka. Ketidakjelasan itu juga semakin mengobarkan amarah warga. “Ini hanyalah bagian dari permainan mereka. Ibarat bermain kartu, mereka memainkan joker. Karena itu, kami mendesak dewan militer bubar,” tuntut Mustafa Mursi, pengunjuk rasa berusia 60 tahun yang mengenakan masker antigas.

Bersamaan dengan itu, Amnesti Internasional (AI) juga mengkritik pemerintah serta dewan militer Mesir. Dalam protes tertulisnya, lembaga independen yang bermarkas di Kota London, Inggris, itu menyebut pemerintah Mesir telah gagal mewujudkan janji-janji mereka kepada rakyat. Terutama, janji meningkatkan perlindungan terhadap HAM.
“Euforia keberhasilan revolusi telah berganti ketakutan bahwa pemerintah yang represif dan sukses ditumbangkan hanya digantikan pemerintahan lain yang tak kalah represif,” ungkap AI dalam laporannya. Karena itu, AI mengimbau pemerintahan yang kini berkuasa segera mengganti seluruh perundangan darurat era Mubarak dan menyusun yang baru. (ap/afp/bbc/hep/c4/ami/jpnn)

Revolusi Kedua Mesir

KAIRO – Unjuk rasa anti pemerintah terus berlanjut di Mesir. Kemarin (22/11) ribuan warga kembali membanjiri Tahrir Square di Kota Kairo dan menuntut militer yang masih bercokol di pemerintahan mundur. Bersamaan dengan itu, Mahkamah Tinggi Angkatan Darat (SCAF) menggelar rapat darurat bersama seluruh elemen pemerintah.

Pada hari keempat kemarin, para demonstran kembali bentrok dengan aparat. Tapi, kali ini bentrokan pecah di jalan-jalan utama yang menghubungkan Tahrir Square dengan kantor polisi Kairo. Sebab, setelah bentrokan Senin lalu (21/11), polisi menarik diri dari alun-alun utama tersebut untuk menghindari tertumpahnya lebih banyak darah.
Untuk menghalau para demonstran, polisi berpenutup kepala hitam yang didukung para personel militer menyemprotkan gas air mata. Mereka menembakkan peluru karet ke arah pengunjuk rasa yang beringas. Semprotan gas air mata dan tembakan peluru karet itu kembali memantik hujan batu dan bom molotov dari demonstran.

“Tujuan kami hanya satu: melengserkan pemerintahan. Mereka masih tetap saja mencuri dan membuat rakyat tak bisa makan,” keluh Raed Said (23) yang ikut berunjuk rasa kemarin. Kali ini pengunjuk rasa menggelorakan revolusi kedua tersebut mengganti nama Hosni Mubarak dengan Hussein Tantawi. Mereka menuntut pria yang menjabat field marshal segera mundur.

“Field marshal (Tantawi) harus mundur karena dia malah memilih untuk melindungi Mubarak daripada bersungguh-sungguh mengadilinya,” tandas Said. Hingga kini, aksi protes berjuluk revolusi kedua tersebut telah memakan korban sedikitnya 29 jiwa. Ratusan  demonstran lain terluka akibat bentrokan.

Jumlah pengunjuk rasa yang mendatangi Tahrir Square semakin banyak. Apalagi, di lokasi yang pernah menjadi saksi tumbangnya rezim Mubarak sudah banyak demonstran yang berkumpul. Ratusan aktivis anti pemerintah sengaja bekemah di Tahrir Square sejak Sabtu lalu (19/11). Di  lokasi kamping itu mereka mengibarkan bendera Mesir berukuran besar. Seorang aktivis mengusung papan bertulisan “kementerian kekerasan” dengan foto Mubarak, Tantawi, Perdana Menteri (PM) Essam Sharaf, dan petinggi Mesir lainnya.

Beberapa aktivis yang lain mengelilingi papan tersebut sambil mendendangkan slogan anti pemerintah. “Katakan, jangan gentar, dewan (militer) harus lengser. Rakyat ingin mengeksekusi field marshal,” teriak mereka.
Aksi unjuk rasa yang bergelora sejak Sabtu lalu itu memaksa kabinet Mesir yang dipimpin Sharaf menyatakan mundur. Hingga kemarin, dewan militer alias SCAF belum berkomentar soal pengunduran diri kabinet. Mereka hanya mengundang perwakilan seluruh partai pembentuk pemerintahan untuk membahas krisis yang berlangsung empat hari terakhir ini.

Namun, dewan militer tetap belum memberikan jawaban apa pun kepada kabinet terkait pengunduran diri mereka. Ketidakjelasan itu juga semakin mengobarkan amarah warga. “Ini hanyalah bagian dari permainan mereka. Ibarat bermain kartu, mereka memainkan joker. Karena itu, kami mendesak dewan militer bubar,” tuntut Mustafa Mursi, pengunjuk rasa berusia 60 tahun yang mengenakan masker antigas.

Bersamaan dengan itu, Amnesti Internasional (AI) juga mengkritik pemerintah serta dewan militer Mesir. Dalam protes tertulisnya, lembaga independen yang bermarkas di Kota London, Inggris, itu menyebut pemerintah Mesir telah gagal mewujudkan janji-janji mereka kepada rakyat. Terutama, janji meningkatkan perlindungan terhadap HAM.
“Euforia keberhasilan revolusi telah berganti ketakutan bahwa pemerintah yang represif dan sukses ditumbangkan hanya digantikan pemerintahan lain yang tak kalah represif,” ungkap AI dalam laporannya. Karena itu, AI mengimbau pemerintahan yang kini berkuasa segera mengganti seluruh perundangan darurat era Mubarak dan menyusun yang baru. (ap/afp/bbc/hep/c4/ami/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/