JAKARTA – Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial (KY), Suparman Marzuki mengatakan, selama tahun 2011 ini pihaknya menerima enam laporan terkait hakim yang diduga melakukan tindakan asusila.
“Ada lima sampai enam laporan. Pokoknya variasi-nya urusan asusila. Ada yang perselingkuhan, dan yang lain. Tidak enak kalau disebutkan,” kata Suparman di Jakarta, Kamin (24/11).
Namun, Suparman enggan menyebutkan nama dan asal hakim yang diduga melakukan perbuatan asusila itu dengan alasan masih dalam penyelidikan. Dari enam laporan yang masuk ke KY, dua di antaranya sudah diputus untuk diberhentikan lewat MKH karena perbuatan tercelanya. “Dua hakim kan sudah di MKH-kan. Sisanya masih dalam pengembangan, masih harus didalami benar atau tidak, itu proses penyidikannya lama,” ujarnya.
KY lanjut Suparman, mendapatkan laporan adanya hakim yang diduga melakukan tindakan asusila tersebut dari masyarakat umum maupun dari pasangan selingkuhnya. “Semacam pecah kongsi gitu lah. Kalau yang pecah kongsi itu seperti hakim D (Dainuri asal Aceh),” ujarnya.
Dikatakan Suparman, hakim yang diberhentikan dengan tidak hormat sudah dipatikan tidak akan mendapat hak pensiunnya. “Tapi yang diberhentikan dengan hormat masih dapat hak pensiun,” tandas Suparman. “Masyarakat kita sekarang ini sudah cerdas. Belum tentu juga lawan selingkuh tidak menjadi musibah. Begitu salah satu aneh, pecah kongsi,” sambungnya.
KY belum puas meski telah berhasil membawa kasus hakim cabul asal Jogjakarta Dwi Djanuwanto ke Majelis Kehormatan Hakim (MKH) hingga akhirnya dipecat. Lembaga pengawal kode etik dan perilaku hakim itu masih akan membawa perkara gratifikasi atau suap yang dilakukan Dwi ke penegak hukum.
“Tentu saja, nggak lama lagi kami akan laporkan tindakan itu ke penegak hukum,” kata Komisioner KY Suparman Marzuki kemarin (24/11). Menurutnya, dengan diputusnya Dwi bersalah oleh MKH, itu telah menunjukkan bahwa hakim tersebut melakukan gratifikasi dan korupsi.
Menurut Suparman, dalam persidangan MKH, Dwi telah terbukti telah menerima sesuatu barang, yakni beberapa tiket penerbangan tujuan Jogjakarta-Kupang dari beberapa pihak yang berperkara. Selain telah melanggar kode etik hakim, dengan penerimaan tersebut, maka Dwi bisa dijerat dengan tindak pidana korupsi. Karena penerimaan itu berkaitan langsung dengan jabatannya dan mempengaruhi independensinya sebagai hakim.
KY kata Suparman, tidak bisa mendalami tindak pidana korupsi yang dilakukan Dwi. Sebab, lembaga yang dipimpinnya itu hanya bisa menangani laporan perilaku hakim yang telah melanggar kode etik sebagai seorang pengadil.
Saat ditanya kapan pihaknya akan melaporkan tindak pidana korupsi yang dilakukan Dwi itu kepada penegak hukum, Suparman belum bisa memastikannya. Sebab, KY masih menunggu rampungnya pengurusan administrasi pemecatan Dwi oleh Mahkamah Agung. “Mudah-mudahan bisa kami laporkan dalam bulan-bulan ini,” kata Suparman.
Penegak hukum yang akan diserahi KY untuk menangani kasus Dwi hingga saat ini belum dipilih. KY, kata Suparman, masih mempertimbangkan ke penegak hukum mana akan melimpahkan. Apakah kepolisian, kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Seperti diketahui, Dwi dilaporkan salah satu advokat lantaran berkali-kali meminta tiket pesawat saat bertugas di Pengadilan Negeri Kupang pada 2009. Salah satu pihak yang dimintai tiket untuk pulang ke Jogjakarta adalah keluarga terdakwa Ali Arifin yang saat itu tersangkut kasus korupsi.
Tak hanya meminta tiket, dalam MKH terungkap bahwa Dwi juga pernah mengirim pesan singkat kepada seorang pengacara untuk menyediakan penari telanjang yang bisa menemaninya di hotel. Karena terbukti meminta, menerima sesuatu, dan bertindak asusila, maka MKH pun memecatnya sebagai hakim.
Petrus Balla Patyona kuasa hukum Ali Arifin yang merupakan pelapor kasus tersebut mengaku mengapresiasi langkah KY untuk melaporkan tindakan gratifikasi yang dilakukan Dwi. (kuh/nw/kyd/jpnn)