Modal Kejujuran dan Rasa Kemanusiaan
Pasar global ekspor-impor pada abad keenam Masehi telah terpresentasikan oleh wilayah Arab, Persia, Syam, India, dan Cina. Dengan infrastruktur yang serba sederhana, para pelakunya telah menciptakan mekanisme bisnis, yang di antaranya merupakan cikal bisnis era sekarang.
Sebelum menjadi rasul, Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wasalam (SAW) sudah terlibat dalam kegiatan bisnis mancanegara. Jiwa entrepreneurshipnya tidak sesederhana yang dipikirkan sebagian orang, yang mengasosiasikannya dengan seorang pedagang dari pinggiran yang membawa serta menjual barang di perkotaan. Sebagai anak yatim piatu, ia telah ditempa untuk tumbuh sebagai sosok wiraswastawa mendiri.
Yang dikunjunginya justru banyak wilayah, tidak sekedar Syam, negeri yang meliputi Libanon, Yordania, dan Suriah. Hanya penulis belum tahu, perjalanannya ke arah tenggara sampai di mana. Yang pasti, ia pun menjual produk Cina.
Pada usia 17 tahun ia diserahi tugas penuh untuk mengurusi bisnis pamannya, bersamaan persaingan ekonomi secara global sangat tajam, terutama para pengusaha yang sudah profesional. Inilah yang dianggap masa tersulit sampai tiga tahun ke depan.
Secara bertahap Nabi Muhammad SAW telah mencontohkan pola bisnis yang luhur, jujur, dan bersih. Ia benar-benar menjadikan kepercayaan dan pelayanan sebagai modal esensial.
Ia bisnismen tangguh dalam menghadapi mekanisme pasar regional. Ia menjemput bola, memperluas jaringan, menyeleksi produk terbaru, mencari mitra strategis, khususnya di daerah yang sarat dengan perdagangan dan perindustrian.
Salah satu kunci keberhasilan bisnis Nabi Muhammad SAW adalah tidak menetapkan margin keuntungan terlalu besar. Sehingga bagaimana puin ketatnya persaingan bisa di atasi.
Otomatis hal itu membuka mata para konsumen mengejarnya. Sikap maklum akan margin ketuntungan yang diperoleh Nabi Muhammad SAW membuat mereka melakukan transaksi dengan tulus-ikhlas. Walaupun belum menjadi rasul, namun sudah menerapkan ajaran Islam, yakni saling rela antara pembeli dan penjual.
Kunci lainnya pada kemampuannya di bidang leadership (memimpin) dan manajemen, dua hal yang harus tertanam pada diri seorang bisnisme. Bukan hanya keterampilan memimpin dan mengatur orang lain, juga diri sendiri.
Niatnya tidak untuk memperkaya diri, tetapi membangun kehormatan dan kemuliaan bisnis dengan berbagai etika yang tinggi. Sehingga setiap transaksi berlangsung suka sama suka, tidak ada yang merasa dikadali maupun mengkadalin.
Dengan kata lain, penjual maupun pembeli tidak kecewa.
Sering kita lihat sekarang transaksi berlangsung fair. Masing-masing mengakuinya sesuai dengan hukum dagang. Tetapi hati kecil salah satu pihak merasa dirugikan.
Memegang amanah dan menepati janji. Itu kunci sukses lainnya lagi. Setiap orang yang bertransaksi bisnis dengannya selalu memperoleh kepuasan yang luar biasa. Maka tidak heran bila ia banyak hartawan di Mekkah yang menanamkan investasi.
Sering kita lihat pada era sekarang, para pedagang memanfaatkan keawaman, kelemahan, dan kepanikan pembeli untuk menaikan harga. Mereka berkeyakinan, posisi tawarnya di atas angin, sehingga kemungkinannya sangat kecil untuk sampai tidak dibeli.
Tetapi Nabi Muhammad SAW, juga para sahabatnya, selalu berusaha untuk menghindari perilaku tersebut. Bisnisnya benar-benar dilandasi kehormatan, kemuliaan, dan persahabatan, tidak sekedar perputaran uang dan barang. Sehingga setiap keuntungannya yang diperoleh dengan kemuliaan hati akan memperoleh kemuliaan manfaat.
Slogan “pembeli adalah raja” memang dipraktekkan olehnya. Artinya, memberi kesempatan bagi pembeli untuk meneliti barang yang dibelinya.
Dari semua itu, tidak heranlah bila ia memperoleh predikat Al Amin, orang yang sangat dipercaya, termasuk dari orang-orang yang beraawalan kepercayaan. Bagaimana pun bencinya segmen yang terakhir terhadapnya, tetapi ketika berada di ruang bisnis, mereka suka tidak suka akan menjatuhkan pilihan pelayanan dan kepercayaan terbaik pada diri Nabi Muhammad SAW.
Memang ia sering menjadi bahan perbincangan bernada positif di kalangan para pembeli. Semakin lama resonansinya semakin meluas. Ini membuat mereka ketika berinisiatif membeli barang, prioritas pertama ke tempat jualan Nabi Muhammad SAW.
Beliau mulai mengurangi kegiatan bisnisnya ketika mencapai usia 37 tahun. Sejak ia lebih banyak merenungkan upaya rehabilitasi sosial masyarakat sekitarnya di mana mereka sudah benar-benar masuk dalam jurang kejahiliahan. Renungan ini berlangsung sampai ia memperoleh wahyu pertama pada 17 Ramadhan di Gua Hira.
Walaupun kulturnya berbeda dengan sekarang, namun berbagai esensi bisnisnya bisa kita aplikasikan pakai sampai sekarang.
Bila keteladanan tersebut ditransformasikan ke dalam jual-beli di tanah air sekarang, serta dipraktekkan oleh para pelakunya, yakinlah, tidak akan ditemukan kasus seperti beberapa contoh berikut ini :
Pemilik toko sepatu mengatakan, “Untuk merek ini, tidak ada yang lebih murah daripada harga di sini”. Padahal ada. Ia sendiri tahu tempatnya. Hanya beberapa puluh meter dari sana.
Seorang sales keliling mengaku hanya memperoleh untung lima persen kepada pemilik rumah yang ia tawari barang. Padahal sebenarnya lebih dari itu.
Seorang montir mendramatisir komputer, seolah-olah kerusakannya lebih parah dan lebih komplek, agar si pemilik mau membeli suku cadang baru yang sudah tersedia padanya. Padahal ia tahu benar, masih ada celah untuk memperbaikinya tanpa mengganti komponen.
Produsen obat mengambil keuntungan sampai sepuluh kali lipat. Ia memanfaatkan fakta, hanya perusahaann seperti miliknyalah yang bisa merumuskan, meracik, serta memproduksinya.
Pembuat serta penjual roti eceran mengatakan, “Wah, tidak tahu”, kepada salah seorang pelanggannya yang menanyakan alamat pabrik tepung roti. Padahal tahu betul. Kebohongan ini dilakukan karena mencurigainya akan membuat roti sendiri, yang dikhawatirkan bisa mengurangi pendapatannya.
Pemilik modal membeli bahan pokok sebanyak mungkin, yang kemudian ditimbun. Pada saat paceklik, ia mempermainkan harga, karena merasa mempunyai posisi tawar lebih tinggi.
Memang sih apa enaknya mengambil keuntungan bisnis yang bermuatan “akal bulus” dan “tipu muslihat”? Malah beresiko bagi munculnya erosi legitimasi. Soalnya kalau sampai sang mitra bisnis merasa telah dikadalin, sedikit-banyak akan membuatnya berpikir dua kali untuk melakukan transaksi jual-beli pada kesempatan berikutnya.
Entah berapa banyak bisnis omset tinggi terhenti di tengah jalan karena salah satu pihak melakukan intrik mengambil keuntungan sendiri sambil merugikan pihak lain. Ironisnya lagi ini terjadi pula dalam lingkungan keluarga, sebuah komunitas yang seharuanya menciptakan sinergi kuat.
Sungguh indah bila transaksi jual-beli berlangsung dalam suasana transparan, “suka sama suka”, dan persahabatan. Penjual tidak menghargakan harga seenak perut. Pembeli tidak menekan harga serendah mungkin.
Sayangnya pribadi Nabi Muhammad SAW di bidang bisnis belum populer di tanah air. Memang ada sejarah perniagaannya bersama paman ketika ia masih kecil. Tetapi tampak hanya sekilas.
Padahal banyak inspirasi yang bisa diambil kegiatan bisnisnya untuk kemudian diiplementasinya dalam kehidupan bisnis sehari-sehari. Hendaknya hal itu menjadi perhatian para : ulama, pengusaha, sampai guru. Semoga demikian. (*)
Penulis/Pengirim: Nasrullah Idris Bidang Studi : Reformasi Sains
Matematika Teknologi