BEIRUT, SUMUTPOS.CO – Ledakan di Beirut, Lebanon pada Selasa 4 Agustus, menewaskan ratusan orang dan melukai ribuan lainnya. Sehari setelah ledakan dahsyat mengguncang Beirut, banyak warga yang terbangun pada Rabu 5 Agustus dengan histeris, amarah dan trauma. Warga menuduh pemerintah melakukan ‘kelalaian’ yang menyebabkan ledakan besar tersebut.
Lebanon berada dalam situasi yang sangat sulit. Tidak hanya harus menghadapi pandemi Virus Corona COVID-19 yang masih berkembang, Lebanon juga harus menghadapi hiperinflasi, bahkan krisis kelaparan.
Ledakan dahsyat yang menurut pejabat Lebanon disebabkan oleh 2.750 ton ammonium nitrat yang disimpan selama enam tahun di pelabuhan itu, telah meratakan sebagian besar ibu kota. Bahkan, jendela-jendela rumah yang jauh berada dari lokasi ikut hancur akibat gelombang kejut dari ledakan yang luar biasa.
Presiden Lebanon, Michel Aoun mengatakan peristiwa yang menewaskan sedikitnya 135 orang dan melukai lebih dari 5.000 lainnya.
Masyarakat Lebanon menuduh kejadian itu akibat dari pihak berwenang melakukan korupsi, penelantaran dan salah urus. Pemerintah pun telah memberlakukan keadaan darurat selama dua minggu ke depan.
“Beirut menangis, Beirut menjerit, orang-orang histeris dan orang-orang lelah,” kata pembuat film Jude Chehab kepada BBC, dan meminta pihak yang bertanggung jawab untuk diadili.
Chadia Elmeouchi Noun, seorang warga Beirut yang saat ini dirawat di rumah sakit, mengatakan: “Saya tahu bahwa selama ini kita dipimpin oleh orang-orang yang tidak kompeten, pemerintah yang tidak kompeten. Tetapi biar saya kasih tahu Anda – apa yang telah mereka lakukan sekarang benar-benar tindakan kriminal.”
Di atas rasa trauma yang masih menyelimuti, keluarga yang rumahnya rusak dan hancur masih harus mencari tempat baru untuk berisitirahat. Menurut Wali Kota Beirut, Marwan Abboud, sekitar 300 ribu orang telah kehilangan tempat tinggal akibat ledakan.
Melalui media sosial, beberapa warga akhirnya mulai menawarkan tempat tinggal mereka untuk ditempati oleh korban yang kehilangan rumah. Tidak hanya individu, tapi pelaku bisnis perhotelan turut memposting nomor telepon mereka di bawah tagar ‘#ourhomesareopen’ (#rumahkamiterbuka).
Aksi solidaritas lain pun ikut bermunculan, seperti aksi penukaran barang guna menghadapi krisis ekonomi yang terlihat di beberapa grup Facebook. Selain itu, dukungan juga terus mengalir dari seantero negeri dan seluruh dunia.
Meskipun terlalu dini bagi banyak orang untuk memikirkan dampak masa depan dari ledakan itu pada kehidupan mereka, para analis menilai kemarahan warga yang diarahkan pada mereka yang bertanggung jawab akan memiliki dampak politik besar.
“Mereka berharap setelah ini, ketika mereka mulai menyelidiki siapa yang bertanggung jawab, maka akan menghasilkan masalah kekacauan lainnya, karena kepercayaan warga Lebanon dengan pihak berwenang sangat sedikit,” kata koresponden DW, Razan Salman. “Ini jadi tambahan dari krisis ekonomi yang telah melanda Lebanon sejak Oktober.”
“Orang-orang yang menyaksikan perang saudara mengatakan bahwa mereka belum pernah melihat hal seperti ini sebelumnya,” tambahnya.
Sementara, pemerintah Lebanon menetapkan keadaan darurat di Beirut selama dua minggu di tengah meningkatnya korban dalam bencana yang disebut Presiden Michel Aoun sebagai “malapetaka yang sulit digambarkan dengan kata-kata”.
Pertemuan darurat kabinet memutuskan langkah itu Rabu (05/08) dan tahanan rumah akan diawasi oleh tentara Lebanon.
Dewan Pertahanan Tertinggi Lebanon dengan keras menyatakan bahwa mereka bertanggung jawab atas ledakan itu akan menghadapi “hukuman maksimum”.
Kepala bea cukai Badri Daher mengatakan kepada LBCI TV bahwa pihaknya telah meminta agar amonium nitrat dipindahkan dari pelabuhan, namun hal itu “tidak pernah terlaksana dan kami tinggalkan masalah ini kepada para pakar untuk menyelidiki penyebabnya”.
Para ahli di Universitas Sheffield di Inggris memperkirakan bahwa ledakan tersebut memiliki sekitar sepersepuluh dari kekuatan ledakan bom atom yang dijatuhkan di kota Hiroshima Jepang selama Perang Dunia Kedua dan “tidak diragukan lagi merupakan salah satu ledakan non-nuklir terbesar dalam sejarah”.
Menteri Perekonomian Raoul Nehme menggambarkan situasinya seperti “kiamat”. “Sebelum kejadian ini, kami dalam situasi yang sangat buruk. Anda tahu, kami meminta bantuan Dana Moneter Internasional, dan jika sekarang Anda melihat foto-foto yang beredar, pelabuhan telah hancur.
“Dan tak satu pun rumah, saya katakan lagi, tak satu pun rumah, tak satu pun toko, tak satu pun apartemen, yang tidak rusak. Ini seperti kiamat dan di sekitar pelabuhan, tak ada yang tersisa,” kata Nehme.
Ia mengatakan di lokasi ledakan, semuanya hancur dan terlempar ke laut. “Kami punya sebidang tanah dan sekarang tanah itu lenyap. Kerugiannya mungkin miliaran dolar, tapi kami belum menghitungnya secara pasti.”
Kabinet telah meminta pasukan keamanan untuk menjamin tidak ada yang masuk ke lokasi ledakan.
Para petugas juga merencanakan untuk membangun kamar-kamar jenazah di Beirut karena rumah sakit yang kewalahan menyusul ledakan itu.
Pasukan keamanan telah menyegel daerah di sekitar lokasi ledakan, dan tim penyelamat terus melakukan pencarian korban meninggal dan yang masih selamat di bawah puing-puing, sementara itu kapal melakukan pencarian di air lepas pantai. Puluhan orang dikabarkan masih hilang.
Menteri Kesehatan Masyarakat Hamad Hassan mengatakan fasilitas kesehatan Lebanon kekurangan tempat tidur dan tidak memiliki peralatan yang cukup untuk merawat korban terluka dan kritis.
Gubernur Beirut Marwan Aboud mengatakan: “Beirut membutuhkan makanan, Beirut membutuhkan pakaian, rumah, bahan untuk membangun kembali rumah. Beirut membutuhkan tempat bagi para pengungsi, untuk rakyatnya.”
Sejumlah negara telah menawarkan bantuan kemanusiaan. Tiga pesawat Prancis akan tiba membawa 55 tim penyelamat, peralatan medis, dan klinik keliling untuk merawat 500 orang, dan Presiden Prancis Emmanuel Macron akan berkunjung pada hari ini, Kamis (06/08).
Uni Eropa, Rusia, Tunisia, Turki, Iran dan Qatar mengirim pasokan bantuan. Inggris juga siap mengirim ahli medis dan bantuan kemanusiaan, kata Menteri Luar Negeri Dominic Raab.
Apa yang memicu ledakan tersebut?
Amonium nitrat seberat hampir 3.000 ton itu dilaporkan telah berada di gudang di pelabuhan Beirut selama enam tahun setelah diturunkan dari kapal yang disita pada 2013.
Amonium nitrat adalah bahan kimia industri yang biasa digunakan di seluruh dunia sebagai pupuk pertanian, dan bahan peledak untuk penambangan, demikian dikutip dari laman CNN, Kamis (6/8).
Perdana Menteri Hassan Diab mengatakan, bahan kimia itu telah disimpan selama enam tahun terakhir “tanpa langkah pencegahan.” Ia pun menjanjikan penyelidikan atas ledakan itu.
Kepala pelabuhan Beirut dan kepala otoritas bea cukai mengatakan kepada media setempat bahwa mereka telah menulis surat kepada pengadilan beberapa kali meminta agar bahan kimia itu diekspor atau dijual untuk memastikan keamanan pelabuhan.
Manajer Umum Pelabuhan Hassan Koraytem mengatakan kepada OTV bahwa mereka telah mengetahui bahwa bahan itu berbahaya ketika pengadilan pertama kali memerintahkannya disimpan di gudang, “tetapi tidak sampai tingkat ini”.
Dewan Pertahanan Tertinggi Lebanon telah berjanji bahwa mereka yang dianggap bertanggung jawab akan menghadapi “hukuman maksimum”. (lp6/bbc/net)