MEDAN, SUMUTPOS.CO – Tahun 2021 mendatang, Upah Minimum Provinsi (UMP) Sumatera Utara tidak naik. Artinya, UMP Sumut akan menerapkan standar kebijakan Kementerian Ketenagakerjaan. Besarannya sama seperti tahun 2020, yakni Rp2,4 juta.
PELAKSANA Tugas (Plt) Kepala Dinas Ketenagakerjaan Sumut, Harianto Butarbutar mengatakan, pandemi Covid-19 menjadi alasan UMP Sumut 2021 tidak naik. “Sebab, pertumbuhan ekonomi nasional minus karena Covid-19,” kata Harianto saat dikonfirmasi wartawan, Jumat (30/10).
Ia mengatakan, UMP Sumut 2021 tidak naik sudah dibahas dan disepakati dalam rapat Dewan Pengupahan Sumut, Kamis (29/10) lalu. Dalam rapat yang dihadiri unsur pemerintah, serikat buruh/serikat pekerja dan unsur pengusaha itu, imbuh dia, diputuskan UMP 2021 tidak naik.
Senada dengan Menaker Ida Fauziyah, sambung Harianto, telah menerbitkan Surat Edaran (SE) yang ditujukan kepada gubernur se-Indonesia Nomor M/11/HK.04/2020 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Di samping Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahann
surat edaran menteri itu juga menjadi dasar penetapan UMP 2021.
Disebutkan di surat edaran itu, pertumbuhan ekonomi nasional minus karena pandemi Covid-19. Sehingga menteri meminta kepada gubernur se-Indonesia agar tidak menaikkan UMP 2021 atau sama dengan UMP 2020. “Kata ibu menteri dalam edaran itu, UMP 2021 tidak dinaikkan untuk melindungi perusahaan dan perlunya pemulihan ekonomi nasional,” ucap pria yang juga menjabat sebagai kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Sumut itu.
Meskipun UMP 2021 tidak naik, sambung dia, sudah menguntungkan buruh atau pekerja. Sebab secara umum perusahaan-perusahaan di Indonesia termasuk Sumut, terdampak pandemi.
Dengan kebijakan ini, Sumut mengikuti langkah 29 provinsi lain yang tak menaikkan UMP 2021. Praktis hanya empat provinsi saja yang tidak seragam dengan kebijakan Kemenaker tersebut. Yaitu Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sulawesi Selatan, dan DKI Jakarta.
Mengacu pada UU No.13/2003 ataupun UU Cipta Kerja, disebutkan bahwa menetapkan upah minimum adalah hak prerogatif gubernur. Sehingga bisa saja gubernur menetapkan UMP tidak sesuai dengan SE Menaker. “Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota,” bunyi pasal 89 ayat 3 dari UU dimaksud yang dikutip Sumut Pos, Minggu (1/11).
15 Provinsi Tak Naikkan UMP
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industri dan Jaminan Sosial (PHI & Jamsos) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Haiyani Rumondang menyebutkan, terdapat 15 provinsi mengikuti Surat Edaran (SE) Menaker untuk tidak menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2021. Sementara itu, ada 5 provinsi yang bertolak belakang dengan SE tersebut, memutuskan untuk menaikkan UMP yang diumumkan pada 31 Oktober 2020. Namun kata dia, provinsi-provinsi tersebut baru menyatakan secara lisan, belum memberikan surat keputusan (SK) dari daerah.
“Saat ini ada 15 provinsi yang menyatakan mengikuti sesuai ketentuan surat edaran tidak menaikkan upah secara by lisan. Tetapi surat keputusannya belum kami terima. Sedangkan, lima provinsinya memutuskan untuk menaikkan upah,” ujarnya, Minggu (1/11).
Namun, pihaknya belum bisa mengumumkan secara detail provinsi mana saja yang mengikuti aturan SE Menaker atau tidaknya. Lebih lanjut kata Haiyani, terkait adanya provinsi yang memutuskan menaikkan upah minimumnya, kepala daerah tersebut dipastikan mengetahui kondisi masing-masing daerah. Termasuk juga kondisi perusahaan di daerah tersebut. “Yang tahu kondisi daerah ini kan para gubernurnya. Sekarang kan tinggal bagaimana pelaksanaan pengawasannya. Kami hanya sebagai kolektif data daerah mana saja yang mengikuti aturan surat edaran,” ucapnya.
Padahal sebelumnya, berdasarkan data Kemenaker per 27 Oktober 2020, pukul 16.35 WIB, terdapat 18 provinsi mengikuti SE Menaker. Antara lain Banten, Bali, Aceh, Lampung, Bengkulu, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Maluku Utara, Kalimantan Barat Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Papua.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah sendiri menyebutkan, Surat Edaran (SE) mengenai penetapan upah minimum 2021 tersebut diterbitkan sebagai panduan atau pedoman bagi para kepala daerah untuk mengatasi kondisi di daerahnya yang mengalami dampak pandemi Covid-19 terkait dengan penetapan upah minimum 2021. “Apabila ada daerah yang tidak mempedomani surat edaran tersebut dalam penetapan upah minimumnya, hal tersebut tentunya sudah didasarkan pada pertimbangan dan kajian yang mendalam mengenai dampak Covid-19 terhadap perlindungan upah pekerja dan kelangsungan bekerja serta kelangsungan usaha di daerah yang bersangkutan,” ujarnya.
Dengan demikian, dirinya menegaskan, surat edaran hanyalah referensi saja. Sebab menurut dia, keputusan penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) merupakan ranah dari para gubernur. “Sehingga apabila ada pertimbangan lain daerah semestinya sudah menghitung dengan prudent (bijaksana),” ujarnya.
Diketahui, lima provinsi yang telah menetapkan kenaikan UMP 2021 yakni Jawa Timur (Jatim), Jawa Tengah (Jateng), Jogjakarta, DKI Jakarta, dan Sulawesi Selatan (Sulsel). UMP 2021 Jatim diputuskan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa naik 5,65 persen, dari Rp1.768.777,- di 2020 menjadi Rp1.868.777,- pada tahun depan. Sementara Jateng, naik 3,27 persen atau naik Rp56.963,9 menjadi Rp1.798.979 dari sebelumnya Rp1.742.015 pada 2020. Kemudian UMP 2021 di DI Jogjakarta naik 3,54 persen dari tahun 2020. Sehingga, UMP tahun depan menjadi Rp1.765.000,-.
Untuk DKI Jakarta, kenaikan UMP mencapai 3,5 persen, dari sebelumnya Rp4.267.349,- menjadi Rp4.416.186.548. Meski begitu, bagi perusahaan yang terdampak pandemi diperkenankan untuk menggunakan UMP 2020. Perusahaan bisa mengajukan ke Dinas Ketenagakerjaan dengan melengkapi sejumlah syarat.
Terakhir, Sulsel juga dikabarkan telah menetapkan UMP 2021-nya naik sebesar dua persen. Dengan demikian, pekerja bisa mendapat UMP debesar Rp 3.165.876,- di tahun depan.
Buruh Minta Naik 10 Persen
Ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN) Sumut, Anggiat Pasaribu, menolak keras keputusan pemerintah tidak menaikkan UMP Sumut 2021. “Meski diputuskan tidak naik, tapi serikat buruh serikat pekerja menolak tegas,” katanya.
Serikat buruh tetap menginginkan UMP 2021 naik 10 persen. “Harusnya ada kenaikan, bahkan serikat buruh usul naik 10 persen dan itu hal yang wajar untuk membantu kesulitan buruh saat ini,” ujarnya.
Bukan tak beralasan, katanya lagi, sebab secara rata-rata di Sumut, perusahaan-perusahaan bahkan tetap eksis meskipun di masa pandemi Covid-19. “Perusahaan sarung tangan misalnya, justru untungnya naik dua kali lipat saat ini,” ujar Anggiat mencontohkan.
Karenanya, serikat buruh atau serikat pekerja, sebut dia menganggap tidak naiknya UMP Sumut 2021 adalah keputusan sepihak Pemprov Sumut. Pihaknya akan menggelar unjukrasa dalam waktu dekat menentang keputusan itu dan menuntut adanya kenaikan UMP Sumut 2021.
Elemen buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Sumatera Utara juga menolak keputusan tersebut. Karenanya, mereka juga berencana kembali turun aksi memprotes keras rencana pemerintah tidak menaikan upah buruh tahun depan dan menolak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.
Ketua FSPMI Sumut, Willy Agus Utomo mengatakan, pemerintah tidak memiliki sensitivitas terhadap penderitaan kaum buruh, dan hanya mementingkan kepentingan kalangan pengusaha saja. “Hak buruh terus dikebiri. Belum lagi protes kami terhadap Omnibus Law yang merugikan buruh, kami juga harus menerima kabar buruk, upah buruh tidak mengalami kenaikan 2021. Kami menolak tegas dan akan melawan kebijakan yang tidak berprikemanusiaan tersebut,” kata Willy didampingi Sekretaris FSPMI Sumut Tony R Silalahi, Ketua FSPMI Deliserdang Dedi Heriawan, dan LBH FSPMI Sumut Daniel Marbun SH, kepada sejumlah wartawan di Medan, Minggu (1/11).
Ia mengatakan, kondisi kehidupan kaum buruh Sumut sudah sangat memprihatinkan, begitu juga halnya terkait upah buruh di Sumut yang sudah sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan daerah industri lainnya di Indonesia. Ini berlangsung dalam kurun waktu lima tahun terakhir. “Karena itu kami meminta agar Gubernur Sumut Eddy Rahmayadi mengabaikan surat edaran menteri. Kami minta kenaikan UMP dan UMK di Sumut untuk tahun 2021 naik minimal 8 persen,” tuntut Willy.
Lebih lanjut dikatakannya, kenaikan upah minimum pada tahun depan justru akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi karena adanya kenaikan daya beli kaum buruh di tengah masyarakat.
Selain itu, tambahnya, tidak semua perusahaan kesulitan akibat pandemi Covid-19, oleh karenanya tidak ada alasan Gubsu untuk tidak menaikan UMP dan UMK di Sumut pada 2021 mendatang. “UU Ketenagakerjaan sudah mengatur, bagi perusahaan yang nantinya tidak mampu menaikan upah dapat melakukan penangguhan, jadi kenapa dikondisikan seolah semua pengusaha tidak mampu menaikan upah,” pungkasnya.
Sementara itu, Sekretaris FSPMI Sumut,Tony Rickson Silalahi menambahkan, berkaitan hal tersebut, maka FSPMI Sumut telah memutuskan akan melakukan aksi damai, dengan catatan tetap terukur, terarah dan konstitusional, yang akan dilaksanakan pada hari Senin, 2 November 2020. Masa Aksi, lanjut Tony akan berasal dari perwakilan buruh FSPMI Kota Medan, Kabupaten Deliserdang, Serdangbedagai, Kota Tebingtinggi, Batubara, Labuhanbatu Raya dan Padanglawas. “Estimasi massa seribuan orang, aksi kita pusatkan di Kantor Gubernur Sumut dan Kantor DPRD Sumut,” ujarnya.
Tony menjelaskan, dalam aksi nanti pihaknya mengusung tiga poin tuntutan, yakni, agar Presiden RI mengeluarkan Perppu pencabutan UU Omnibus Law, menolak tegas tidak naik upah justru meminta pada Gubsu agar menaikan UMP dan UMK di Sumut sebesar 8 persen untuk Tahun 2021, dan selesaikan kasus-kasus perburuhan di Sumut.
“Aksi nanti merupakan aksi serentak buruh secara nasional yang dipusatkan di Istana Presiden RI Jakarta, dan diikuti oleh buruh FSPMI di 24 provinsi lainnya di Indonesia yang melakukan aksi di kantor Pemerintahaan setempat,” tutupnya. (prn/mag-1/bbs)