26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Januari 2021, Sekolah Tatap Muka Dimulai

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pemerintah melalui penyesuaian Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri menetapkan, pembelajaran tatap muka akan kembali dilaksanakan pada Januari 2021. Informasi itu disampaikan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim.

“Pemerintah pada hari ini melakukan penyesuaian kebijakan. Kebijakan ini berlaku mulai semester genap tahun ajaran 2020/2021, jadinya Bulan Januari 2021,” kata Nadiem dalam telekonferensi pers Pengumuman Penyelenggaraan Pembelajaran Semester Genap TA 2020/2021 di masa Pandemi Covid-19, Jumat (20/11)n

Nadiem juga mengatakan, hal ini dikarenakan banyaknya permintaan dari pemangku kepentingan untuk kembali melaksanakan pembelajaran tatap muka. Dalam pembukaan sekolah ini, pemerintah daerah (pemda) yang diberikan kewenangan secara penuh terkait mana satuan pendidikan yang boleh dibuka dan yang tidak.

“Karena itu, bagi sekolah yang siap melakukan tatap muka, kalau ingin mempertemukan harus segera meningkatkan kesiapannya untuk melaksanakan ini dari sekarang sampai akhir tahun. Kami memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah, Kanwil kantor Kemenag diberikan kewenangan untuk menentukan pemberian izin pembelajaran tatap muka di sekolah-sekolah,” imbuhnya.

Menurut Nadiem, pembukaan ini bisa saja dilakukan secara serentak di tiap daerah, atau mungkin secara bertahap tergantung kepala daerah, memberikan izin atau tidak. Jika tidak, maka akan tetap dilaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) daring ataupun luring.

Di SKB kali ini, sekolah perlu mempersiapkan ceklis atau daftar periksa yang diminta, antara lain ketersediaan sarana dan prasarana sanitasi dan kebersihan, mampu mengakses fasilitas pelayanan kesehatan, kesiapan menerapkan wajib masker, memiliki thermogun, lalu memiliki pemetaan warga satuan pendidikan yang berpotensi menimbulkan penularan serta mendapatkan persetujuan orangtua atau wali.

“Tergantung kepada kesiapan masing-masing daerah sesuai evaluasi kepala daerahnya mengenai mana (sekolah) yang siap, mana yang tidak dan tentunya kesiapan sekolah masing-masing dalam menentukan dalam memenuhi semua checklist untuk melakukan tatap muka dan juga melaksanakan protokol kesehatan yang sangat ketat,” ucap dia.

Nadiem menjelaskan, terdapat 3 pihak yang menentukan, apakah sekolah itu boleh dibuka atau tidak. Pertama adalah pemda atau kanwil kantor Kemenag, kedua adalah kepala sekolah dan ketiga itu orangtua. “Kalau tiga pihak ini tidak mengijinkan sekolah itu bukan sekolah itu tidak diperkenankan untuk dibuka, tapi kalau tiga pihak itu setuju, berarti sekolah itu mulai boleh melaksanakan tatap muka,” tambahnya.

Atas hal ini, dia mengharapkan agar kebijakan ini dapat meminimalisir adanya los generation atau kesenjangan pendidikan. Di mana hal ini juga memberikan hak untuk mendapatkan pendidikan bagi warga negara.

Nadiem juga membeberkan dampak negatif PJJ. Salah satunya adalah ancaman putus sekolah. “Kita telah mengevaluasi hasil dari pada pembelajaran jarak jauh ini bahwa dampak negatif yang terjadi pada anak itu sesuatu hal yang nyata. Kalau terus-menerus dilaksanakan bisa menjadi suatu risiko yang permanen dan risiko pertama adalah ancaman putus sekolah,” terangnya.

Kata dia, banyak sekali anak-anak yang harus bekerja atau didorong oleh orangtuanya untuk bekerja. Tentunya ini berhubungan dengan situasi ekonomi keluarga yang tidak memadai. Begitu juga dengan persepsi orangtua yang menganggap, sekolah tidak lagi berperan penting dalam peningkatan kompetensi anak karena hanya melalui PJJ. Maka dari itu, banyak orangtua yang memberhentikan anaknya sekolah dulu. “Banyak anak dikeluarkan dari sekolah dan risikonya akan meningkat semakin lama,” tambahnya.

Kedua, adalah berbagai resiko tumbuh kembang peserta didik. Kesenjangan pendidikan akan semakin meningkat karena perbedaan akses ataupun status sosial keluarga. “Banyak sekali anak-anak sekarang tidak sekolah dan tentunya risiko-risiko bahwa ada satu generasi di Indonesia, anak-anak kita yang kesenjangan pembelajarannya dan harus mengejarnya, itu mungkin sebagian akan ketinggalan dan tidak bisa mengejar kembali pada saat kembali sekolah,” jelas Nadiem.

Lalu, alasan terakhir pembukaan sekolah adalah tekanan psikososial dan kekerasan dalam keluarga. Minimnya interaksi dengan guru, teman dan lingkungan luar ditambah tekanan akibat sulitnya PJJ dapat menyebabkan stres pada anak. “Tentunya peningkatan insiden kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga juga meningkat dan ini menjadi salah satu pertimbangan kita yang terpenting,” tegasnya.

Dia pun menegaskan bahwa pembukaan kembali sekolah dalam menerapkan pembelajaran tatap muka, bukan berarti kegiatan belajar-mengajar dilaksanakan seperti sebelum waktu pandemi. “Pembelajaran tatap muka bukan kembali ke sekolah seperti normal, ini sangat di luar yang normal,’’ tegasnya lagi.

Sebab saat melakukan kembali pembelajaran tatap muka, peserta didik di dalam kelas perlu untuk menjaga jarak minimal 1,5 meter. Begitu juga dengan kapasitas yang dibatasi hanya 50 persen dari peserta didik. Jadi, mau tidak mau semua sekolah harus melakukan rotasi atau shifting dalam pembelajaran tatap muka. Hal ini demi menghindari interaksi fisik yang ada di lingkungan sekolah.

’’Jumlah maksimal peserta didik di PAUD hanya 5 anak biasanya kan 15. Jumlah peserta didik ini pendidikan dasar menengah 18 anak maksimal yang biasanya 36 dan SLB 5 dari standar 8 peserta didik. Jadi sistem bergiliran atau shifting,’’ imbuhnya.

Untuk itu, karena masih banyaknya salah persepsi dari warga pendidikan, Nadiem berharap pemerintah daerah untuk melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah di wilayahnya. ’’Mohon juga dibantu disosialisasikan di masing-masing daerah bahwa kalaupun sekolah itu sudah memenuhi semua kriteria dan ceklis untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka, protokol kesehatan yang tepat harus masih dilaksanakan ya,’’ urainya. 

Mengenai hal ini, Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto menyampaikan, pihaknya akan turut mendukung pelaksanaan serta edukasi protokol kesehatan di dalam lingkungan sekolah.

“Kemenkes sepenuhnya akan mendukung kebijakan ini, kami berkomitmen meningkatkan peran puskesmas, melakukan pengawasan dan pembinaan dalam penerapan protokol kesehatan,” jelasnya.

Ia meminta kepada semua warga pendidikan menerapkan protokol kesehatan seperti penggunaan masker, menjaga jarak serta mencuci tangan dengan disiplin tinggi. Seiring dengan peningkatan pengendalian Covid-19. “Agar kia sehat dan selamat dalam melewati pandemi Covid-19 ini. Di samping terus meningkatkan keseiapan fasilitas kesehatan dan pencegahan serta pengendalian Covid-19,” ujarnya.

Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda pun memberikan dukungan. Menurutnya, metode pembelajaran jarak jauh (PJJ) dikhawatirkan akan semakin menimbulkan kesenjangan peserta didik. Bahkan sampai menyebabkan loss learning seperti yang disampaikan Bank Dunia dan Unicef beberapa waktu lalu.

Lebih parah lagi jika peserta didik kemudian harus putus sekolah karena tidak mempunyai biaya atau terpaksa harus membantu orang tua mereka.

“Kami menerima laporan bahwa jumlah pekerja anak selama pandemi ini juga meningkat, karena mereka terpaksa harus membantu orang tua yang kesulitan ekonomi,” katanya.

Pembukaan sekolah dengan pola tatap muka, kata Huda akan mengembalikan ekosistem pembelajaran bagi para peserta didik. Hampir satu tahun ini, sebagian peserta didik tidak merasakan hawa dan nuansa sekolah tatap muka. “Kondisi ini membuat mereka seolah terlepas dari rutinas dan kedisplinan pembelajaran. Pembukaan kembali sekolah tatap muka akan membuat mereka kembali pada rutinitas dan mindset untuk kembali belajar,” ucap dia.

Kendati demikian, Huda menegaskan jika pemerintah harus memastikan syarat-syarat pembukaan sekolah tatap muka terpenuhi. Di antaranya ketersediaan bilik disinfektan, sabun dan westafel untuk cuci tangan, hingga pola pembelajaran yang fleksibel.

“Penyelenggara sekolah juga harus memastikan jika physical distancing benar-benar diterapkan dengan mengatur letak duduk siswa dalam kelas. Waktu belajar juga harus fleksibel, misalnya siswa cukup datang sekolah 2-3 seminggu dengan lama belajar 3-4 jam saja,” pungkas dia.

P2G Ingatkan Pemda

Dimulainya kembali pembelajaran tatap muka tanpa melihat status zonasi daerah pada Januari 2021, menimbulkan ketidaksetujuan beberapa pihak. Seperti yang disampaikan Koordinator Nasional Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim. Menurutnya, pembelajaran tatap muka bisa menimbulkan risiko. Khususnya jika melihat segi kesiapan sekolah.

“Mereka itu belum siap untuk membuka kembali sekolah dengan memenuhi ceklis yang sangat ketat sekali, inikan menjadi persoalan karena pokok-pokok pangkalnya adalah infrastruktur protokol kesehatan,” jelas dia kepada JawaPos.com (grup Sumut Pos), Jumat (20/11).

Hal lainnya yang menjadi perhatian adalah sikap dari pemerintah daerah (pemda) untuk membuka sekolah. Berdalih mengatakan, karena anak bosan melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) akan menjadi bumerang di masa pandemi seperti sekarang ini. “Seandainya pemda memaksakan diri untuk dibuka (sekolah, Red), harus tetap ada perizinan sekolah dari orang tua, kalau tidak ada izin jangan coba-coba memaksakan, karena hak anak adalah untuk mendapatkan kesehatan, kehidupan, keselamatan, pendidikan,” tutur dia.

Dia pun memahami bahwa keputusan ini begitu dilema. Sebab jika sekolah ditutup akan ada loss generation. Sedangkan jika dibuka, kesiapan sekolah yang dikhawatirkan membuat klaster baru.

“Kami memahami dilematisnya untuk sekolah itu dibuka, pilihannya sekolah tidak dibuka alias PJJ diperpanjang tapi kita akan mengalami learning loss dan itu juga udah di wanti2 oleh Bank dan Unicef. Kalau sekolah dibuka, kalaupun dengan protokol kesehatan, kami itu meragukan kesiapan sekolah itu untuk dibuka,” tutupnya. (jpc)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pemerintah melalui penyesuaian Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri menetapkan, pembelajaran tatap muka akan kembali dilaksanakan pada Januari 2021. Informasi itu disampaikan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim.

“Pemerintah pada hari ini melakukan penyesuaian kebijakan. Kebijakan ini berlaku mulai semester genap tahun ajaran 2020/2021, jadinya Bulan Januari 2021,” kata Nadiem dalam telekonferensi pers Pengumuman Penyelenggaraan Pembelajaran Semester Genap TA 2020/2021 di masa Pandemi Covid-19, Jumat (20/11)n

Nadiem juga mengatakan, hal ini dikarenakan banyaknya permintaan dari pemangku kepentingan untuk kembali melaksanakan pembelajaran tatap muka. Dalam pembukaan sekolah ini, pemerintah daerah (pemda) yang diberikan kewenangan secara penuh terkait mana satuan pendidikan yang boleh dibuka dan yang tidak.

“Karena itu, bagi sekolah yang siap melakukan tatap muka, kalau ingin mempertemukan harus segera meningkatkan kesiapannya untuk melaksanakan ini dari sekarang sampai akhir tahun. Kami memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah, Kanwil kantor Kemenag diberikan kewenangan untuk menentukan pemberian izin pembelajaran tatap muka di sekolah-sekolah,” imbuhnya.

Menurut Nadiem, pembukaan ini bisa saja dilakukan secara serentak di tiap daerah, atau mungkin secara bertahap tergantung kepala daerah, memberikan izin atau tidak. Jika tidak, maka akan tetap dilaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) daring ataupun luring.

Di SKB kali ini, sekolah perlu mempersiapkan ceklis atau daftar periksa yang diminta, antara lain ketersediaan sarana dan prasarana sanitasi dan kebersihan, mampu mengakses fasilitas pelayanan kesehatan, kesiapan menerapkan wajib masker, memiliki thermogun, lalu memiliki pemetaan warga satuan pendidikan yang berpotensi menimbulkan penularan serta mendapatkan persetujuan orangtua atau wali.

“Tergantung kepada kesiapan masing-masing daerah sesuai evaluasi kepala daerahnya mengenai mana (sekolah) yang siap, mana yang tidak dan tentunya kesiapan sekolah masing-masing dalam menentukan dalam memenuhi semua checklist untuk melakukan tatap muka dan juga melaksanakan protokol kesehatan yang sangat ketat,” ucap dia.

Nadiem menjelaskan, terdapat 3 pihak yang menentukan, apakah sekolah itu boleh dibuka atau tidak. Pertama adalah pemda atau kanwil kantor Kemenag, kedua adalah kepala sekolah dan ketiga itu orangtua. “Kalau tiga pihak ini tidak mengijinkan sekolah itu bukan sekolah itu tidak diperkenankan untuk dibuka, tapi kalau tiga pihak itu setuju, berarti sekolah itu mulai boleh melaksanakan tatap muka,” tambahnya.

Atas hal ini, dia mengharapkan agar kebijakan ini dapat meminimalisir adanya los generation atau kesenjangan pendidikan. Di mana hal ini juga memberikan hak untuk mendapatkan pendidikan bagi warga negara.

Nadiem juga membeberkan dampak negatif PJJ. Salah satunya adalah ancaman putus sekolah. “Kita telah mengevaluasi hasil dari pada pembelajaran jarak jauh ini bahwa dampak negatif yang terjadi pada anak itu sesuatu hal yang nyata. Kalau terus-menerus dilaksanakan bisa menjadi suatu risiko yang permanen dan risiko pertama adalah ancaman putus sekolah,” terangnya.

Kata dia, banyak sekali anak-anak yang harus bekerja atau didorong oleh orangtuanya untuk bekerja. Tentunya ini berhubungan dengan situasi ekonomi keluarga yang tidak memadai. Begitu juga dengan persepsi orangtua yang menganggap, sekolah tidak lagi berperan penting dalam peningkatan kompetensi anak karena hanya melalui PJJ. Maka dari itu, banyak orangtua yang memberhentikan anaknya sekolah dulu. “Banyak anak dikeluarkan dari sekolah dan risikonya akan meningkat semakin lama,” tambahnya.

Kedua, adalah berbagai resiko tumbuh kembang peserta didik. Kesenjangan pendidikan akan semakin meningkat karena perbedaan akses ataupun status sosial keluarga. “Banyak sekali anak-anak sekarang tidak sekolah dan tentunya risiko-risiko bahwa ada satu generasi di Indonesia, anak-anak kita yang kesenjangan pembelajarannya dan harus mengejarnya, itu mungkin sebagian akan ketinggalan dan tidak bisa mengejar kembali pada saat kembali sekolah,” jelas Nadiem.

Lalu, alasan terakhir pembukaan sekolah adalah tekanan psikososial dan kekerasan dalam keluarga. Minimnya interaksi dengan guru, teman dan lingkungan luar ditambah tekanan akibat sulitnya PJJ dapat menyebabkan stres pada anak. “Tentunya peningkatan insiden kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga juga meningkat dan ini menjadi salah satu pertimbangan kita yang terpenting,” tegasnya.

Dia pun menegaskan bahwa pembukaan kembali sekolah dalam menerapkan pembelajaran tatap muka, bukan berarti kegiatan belajar-mengajar dilaksanakan seperti sebelum waktu pandemi. “Pembelajaran tatap muka bukan kembali ke sekolah seperti normal, ini sangat di luar yang normal,’’ tegasnya lagi.

Sebab saat melakukan kembali pembelajaran tatap muka, peserta didik di dalam kelas perlu untuk menjaga jarak minimal 1,5 meter. Begitu juga dengan kapasitas yang dibatasi hanya 50 persen dari peserta didik. Jadi, mau tidak mau semua sekolah harus melakukan rotasi atau shifting dalam pembelajaran tatap muka. Hal ini demi menghindari interaksi fisik yang ada di lingkungan sekolah.

’’Jumlah maksimal peserta didik di PAUD hanya 5 anak biasanya kan 15. Jumlah peserta didik ini pendidikan dasar menengah 18 anak maksimal yang biasanya 36 dan SLB 5 dari standar 8 peserta didik. Jadi sistem bergiliran atau shifting,’’ imbuhnya.

Untuk itu, karena masih banyaknya salah persepsi dari warga pendidikan, Nadiem berharap pemerintah daerah untuk melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah di wilayahnya. ’’Mohon juga dibantu disosialisasikan di masing-masing daerah bahwa kalaupun sekolah itu sudah memenuhi semua kriteria dan ceklis untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka, protokol kesehatan yang tepat harus masih dilaksanakan ya,’’ urainya. 

Mengenai hal ini, Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto menyampaikan, pihaknya akan turut mendukung pelaksanaan serta edukasi protokol kesehatan di dalam lingkungan sekolah.

“Kemenkes sepenuhnya akan mendukung kebijakan ini, kami berkomitmen meningkatkan peran puskesmas, melakukan pengawasan dan pembinaan dalam penerapan protokol kesehatan,” jelasnya.

Ia meminta kepada semua warga pendidikan menerapkan protokol kesehatan seperti penggunaan masker, menjaga jarak serta mencuci tangan dengan disiplin tinggi. Seiring dengan peningkatan pengendalian Covid-19. “Agar kia sehat dan selamat dalam melewati pandemi Covid-19 ini. Di samping terus meningkatkan keseiapan fasilitas kesehatan dan pencegahan serta pengendalian Covid-19,” ujarnya.

Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda pun memberikan dukungan. Menurutnya, metode pembelajaran jarak jauh (PJJ) dikhawatirkan akan semakin menimbulkan kesenjangan peserta didik. Bahkan sampai menyebabkan loss learning seperti yang disampaikan Bank Dunia dan Unicef beberapa waktu lalu.

Lebih parah lagi jika peserta didik kemudian harus putus sekolah karena tidak mempunyai biaya atau terpaksa harus membantu orang tua mereka.

“Kami menerima laporan bahwa jumlah pekerja anak selama pandemi ini juga meningkat, karena mereka terpaksa harus membantu orang tua yang kesulitan ekonomi,” katanya.

Pembukaan sekolah dengan pola tatap muka, kata Huda akan mengembalikan ekosistem pembelajaran bagi para peserta didik. Hampir satu tahun ini, sebagian peserta didik tidak merasakan hawa dan nuansa sekolah tatap muka. “Kondisi ini membuat mereka seolah terlepas dari rutinas dan kedisplinan pembelajaran. Pembukaan kembali sekolah tatap muka akan membuat mereka kembali pada rutinitas dan mindset untuk kembali belajar,” ucap dia.

Kendati demikian, Huda menegaskan jika pemerintah harus memastikan syarat-syarat pembukaan sekolah tatap muka terpenuhi. Di antaranya ketersediaan bilik disinfektan, sabun dan westafel untuk cuci tangan, hingga pola pembelajaran yang fleksibel.

“Penyelenggara sekolah juga harus memastikan jika physical distancing benar-benar diterapkan dengan mengatur letak duduk siswa dalam kelas. Waktu belajar juga harus fleksibel, misalnya siswa cukup datang sekolah 2-3 seminggu dengan lama belajar 3-4 jam saja,” pungkas dia.

P2G Ingatkan Pemda

Dimulainya kembali pembelajaran tatap muka tanpa melihat status zonasi daerah pada Januari 2021, menimbulkan ketidaksetujuan beberapa pihak. Seperti yang disampaikan Koordinator Nasional Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim. Menurutnya, pembelajaran tatap muka bisa menimbulkan risiko. Khususnya jika melihat segi kesiapan sekolah.

“Mereka itu belum siap untuk membuka kembali sekolah dengan memenuhi ceklis yang sangat ketat sekali, inikan menjadi persoalan karena pokok-pokok pangkalnya adalah infrastruktur protokol kesehatan,” jelas dia kepada JawaPos.com (grup Sumut Pos), Jumat (20/11).

Hal lainnya yang menjadi perhatian adalah sikap dari pemerintah daerah (pemda) untuk membuka sekolah. Berdalih mengatakan, karena anak bosan melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) akan menjadi bumerang di masa pandemi seperti sekarang ini. “Seandainya pemda memaksakan diri untuk dibuka (sekolah, Red), harus tetap ada perizinan sekolah dari orang tua, kalau tidak ada izin jangan coba-coba memaksakan, karena hak anak adalah untuk mendapatkan kesehatan, kehidupan, keselamatan, pendidikan,” tutur dia.

Dia pun memahami bahwa keputusan ini begitu dilema. Sebab jika sekolah ditutup akan ada loss generation. Sedangkan jika dibuka, kesiapan sekolah yang dikhawatirkan membuat klaster baru.

“Kami memahami dilematisnya untuk sekolah itu dibuka, pilihannya sekolah tidak dibuka alias PJJ diperpanjang tapi kita akan mengalami learning loss dan itu juga udah di wanti2 oleh Bank dan Unicef. Kalau sekolah dibuka, kalaupun dengan protokol kesehatan, kami itu meragukan kesiapan sekolah itu untuk dibuka,” tutupnya. (jpc)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/