JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim menegaskan, pihak sekolah harus memperhatikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya terkait aturan mengenai pakaian seragam khas siswa.
Ketentuan itu diatur pada pasal 34 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 45 tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengahn
“Maka, sekolah tidak boleh sama sekali membuat peraturan atau imbauan kepada peserta didik untuk menggunakan model pakaian kekhususan agama tertentu sebagai pakaian seragam sekolah,” kata Nadiem, Minggu (24/1). “Apalagi jika tidak sesuai dengan agama atau kepercayaan peserta didik,” ucap dia.
Pernyataan tersebut disampaikan Nadiem dalam merespons adanya dugaan soal kewajiban siswi non-muslim mengenakan jilbab di SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat. Permendikbud tentang pakaian seragam sekolah tidak mewajibkan model pakaian kekhususan agama tertentu sebagai pakaian seragam sekolah.
Selain itu, sekolah tidak boleh membuat peraturan atau imbauan bagi peserta didik untuk menggunakan model pakaian kekhususan agama tertentu sebagai pakaian seragam sekolah.
Nadiem mengatakan, aturan yang mewajibkan hijab bagi non-muslim merupakan bentuk intoleransi atas keberagaman. “Sehingga bukan saja melanggar peraturan undang-undang melainkan juga nilai-nilai Pancasila dan kebhinekaan,” tutur dia.
Selain itu, Nadiem menekankan, setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan ekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orangtua atau wali. Hal itu sesuai dengan Pasal 55 Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Kemudian, ia memaparkan Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pasal tersebut mengatur bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Nadiem menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menoleransi guru dan kepala sekolah yang melakukan pelanggaran dalam bentuk intoleransi.
Menurutnya, sejak menerima laporan mengenai SMKN 2 Padang, Kemdikbud telah berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk segera mengambil tindakan tegas. Ia juga meminta agar pemerintah daerah segera memberikan sanksi yang tegas atas pelanggaran disiplin bagi seluruh pihak yang terbukti terlibat sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
“Termasuk kemungkinan menerapkan pembebasan jabatan agar permasalahan ini menjadi pembelajaran kita bersama ke depannya,” ucap Nadiem.
Nadiem menambahkan, Kemendikbud akan terus berupaya untuk mencegah adanya praktik intoleransi di lingkungan sekolah. Dalam waktu, kata Nadiem, Kemendikbud akan mengeluarkan surat edaran dan membuka hotline khusus pengaduan untuk menghindari terulangnya pelanggaran serupa.
Selain itu, Nadiem menekankan, sesuai Pasal 55 Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan ekspresi sesuai dengan tingkat intelekualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua atau wali.
Bertentangan dengan Bhineka Tunggal Ika
Menyikapi polemik tersebut, anggota DPR RI Komisi VIII Bidang Sosial dan Agama, Lisda Hendrajoni turut angkat bicara. Menurutnya, aturan tersebut harus segera dicabut. Pasalnya, bertentangan dengan semangat menjaga persatuan dalam keberagaman di Indonesia.
“Kita minta aturan itu dicabut. Ini tidak sesuai dengan semangat Bhineka Tunggal Ika. Kita harus toleransi,” kata Lisda yang dihubungi Kompas.com, Sabtu (23/1).
Dikatakan, sekolah negeri harusnya dapat dimasuki siapapun dan dari golongan apapun yang diakui di Indonesia. Oleh karena itu, aturan sekolah di Kota Padang yang mewajibkan siswinya harus berjilbab termasuk kepada non-muslim tersebut tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun.
Karena hal itu dapat menjadi pemicu konflik suku, ras, dan agama (SARA) di tengah keberagaman yang ada di Indonesia. “Ini akan sangat berbeda kalau sekolah itu dari yayasan atau pondok pesantren. Tentu merujuk ke aturan masing-masing. Itu silakan saja, tapi tidak boleh untuk negeri,” kata anggota DPR asal Sumbar dari Fraksi Nasdem itu. (kps)