30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Gelar Kongres I, PHI Siap Wujudkan Indonesia yang Bersih

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Dalam rangka menghadapi Pemilu 2024, Partai Hijau Indonesia (PHI) melangsungkan Kongres pertamanya pada 27-28 Februari 2021 di Pondok WALHI, Caringin, Bogor, Jawa Barat. Selain menetapkan AD/ART, menentukan kepengurusan, PHI juga menyiapkan strategi dalam menghadapi Pilkada dan Pemilu untuk memenangkan “Politik Hijau” atau politik lingkungan hidup.

Sekretaris Jenderal (Konvenor Nasional) PHI, John Muhammad meyakini Indonesia tengah menderita krisis lingkungan hidup dan krisis demokrasi. “Pelemahan KPK, pemaksaan Omnibus Law yang akan memuluskan investasi (energi) kotor akan semakin memperparah kerusakan lingkungan hidup kita. Sementara, di sisi lain, ketiadaan oposisi yang otentik – yang benar-benar setia membela masa depan Indonesia yang bersih, adil dan lestari – bakal membuat oligarki semakin merajalela dan mengekang negara dalam waktu tak terhingga. Maka, sebesar apapun mereka, kita tidak bisa diam saja,” kata Jhon dalam keterangan tertulisnya, Senin (1/3).

Mempertegas kondisi itu, sebelumnya, dalam Diskusi Daring Pra-Kongres PHI pada 24-26 Februari 2021 lalu, Nur Hidayati atau Yaya, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), mengatakan bahwa politik ekologis adalah politiknya rakyat kebanyakan yang wajib dibela. “Jadi politik hijau itu bukan politknya elit politik yang korup, melainkan politik rakyat kebanyakan yang berhak atas kualitas lingkungan hidup yang lebih baik,” bebernya.

Senada dengan Yaya, Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia menilai, politik hijau sangat potensial menantang oligarki. “Secara konseptual, jelas politik hijau adalah jawaban dari kedua krisis ini karena isunya mewakili warga kebanyakan. Sebagai contoh DKI Jakarta, indeks demokrasi bagus tapi indeks lingkungan hidupnya buruk atau sebaliknya. Jadi kalau kita mau kedua indeks tersebut naik maka tidak ada jalan lain harus melalui politik hijau,” tandasnya.

Adapun terkait tantangan sistem politik yang kurang demokratis dan semakin tidak memberikan ruang pada politik alternatif, Direktur Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati (Ninis) dan Ketua Kode Inisiatif Veri Junaidi sepakat bahwa publik harus mendorong perubahan sistem politik yang lebih adil dan PHI harus cerdas memanfaatkan peluang politik yang tersedia.

“Tren sistem politik saat ini adalah parpol-parpol besar menginginkan persyaratan administratif yang lebih sulit supaya parpol-parpol alternatif tidak dapat terlibat. Masalahnya, sistem politik ini hanya bisa berubah oleh parpol. Jadi kebutuhan parpol alternatif yang dapat memperbaiki sistem politik yang adil memang mendesak,” ujar Ninis.

Menyambut Ninis, Veri mengatakan, PHI harus cerdas dan kreatif menggunakan sumber dayanya. Ruang kontestasi elektoral seperti Dewan Perwakilan Daerah, Pilwalkot, Pilbup, Pilgub bahkan Pilpres sebenarnya terbuka untuk dimenangkan melalui jalur independen.

Meski begitu, anggota muda PHI seperti Defrio Nandi (DKI Jakarta), Abdul Ghofar (Jateng) dan Kristina Viri (DIY) tetap optimis memandang peluang PHI. “PHI satu-satunya parpol yang saya lihat benar-benar melawan politik mainstream dan terdepan membela minoritas,” kata Viri.

Hal senada juga disampaikan Ghofar. “Saya dari kampung dan melihat sendiri kalau politisi muda saat ini didominasi oleh praktik nepotisme. Nah, anak muda harus masuk untuk mengubah situasi ini,” tandasnya sembari ditambahkan Nandi atas keyakinanannya ada banyak anak muda yang masih idealis dan mau menjadi kader parpol yang mengedepankan nilai-nilai yang membela krisis iklim seperti PHI.

Dimitri Dwi Putra, salah satu Delegasi PHI DKI Jakarta dan peserta Kongres menyimpulkan bahwa krisis iklim saat ini terlalu serius untuk dibiarkan dan politik hijau harus menang. “Ketika kiamat ekologis terjadi, oligarki dan elit politik korup di Indonesia dapat dengan mudah menyelamatkan diri, sementara saya dan anak saya harus menjadi korban bencana. Inilah urgensi PHI dalam hidup saya,” tutupnya. (rel/adz)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Dalam rangka menghadapi Pemilu 2024, Partai Hijau Indonesia (PHI) melangsungkan Kongres pertamanya pada 27-28 Februari 2021 di Pondok WALHI, Caringin, Bogor, Jawa Barat. Selain menetapkan AD/ART, menentukan kepengurusan, PHI juga menyiapkan strategi dalam menghadapi Pilkada dan Pemilu untuk memenangkan “Politik Hijau” atau politik lingkungan hidup.

Sekretaris Jenderal (Konvenor Nasional) PHI, John Muhammad meyakini Indonesia tengah menderita krisis lingkungan hidup dan krisis demokrasi. “Pelemahan KPK, pemaksaan Omnibus Law yang akan memuluskan investasi (energi) kotor akan semakin memperparah kerusakan lingkungan hidup kita. Sementara, di sisi lain, ketiadaan oposisi yang otentik – yang benar-benar setia membela masa depan Indonesia yang bersih, adil dan lestari – bakal membuat oligarki semakin merajalela dan mengekang negara dalam waktu tak terhingga. Maka, sebesar apapun mereka, kita tidak bisa diam saja,” kata Jhon dalam keterangan tertulisnya, Senin (1/3).

Mempertegas kondisi itu, sebelumnya, dalam Diskusi Daring Pra-Kongres PHI pada 24-26 Februari 2021 lalu, Nur Hidayati atau Yaya, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), mengatakan bahwa politik ekologis adalah politiknya rakyat kebanyakan yang wajib dibela. “Jadi politik hijau itu bukan politknya elit politik yang korup, melainkan politik rakyat kebanyakan yang berhak atas kualitas lingkungan hidup yang lebih baik,” bebernya.

Senada dengan Yaya, Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia menilai, politik hijau sangat potensial menantang oligarki. “Secara konseptual, jelas politik hijau adalah jawaban dari kedua krisis ini karena isunya mewakili warga kebanyakan. Sebagai contoh DKI Jakarta, indeks demokrasi bagus tapi indeks lingkungan hidupnya buruk atau sebaliknya. Jadi kalau kita mau kedua indeks tersebut naik maka tidak ada jalan lain harus melalui politik hijau,” tandasnya.

Adapun terkait tantangan sistem politik yang kurang demokratis dan semakin tidak memberikan ruang pada politik alternatif, Direktur Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati (Ninis) dan Ketua Kode Inisiatif Veri Junaidi sepakat bahwa publik harus mendorong perubahan sistem politik yang lebih adil dan PHI harus cerdas memanfaatkan peluang politik yang tersedia.

“Tren sistem politik saat ini adalah parpol-parpol besar menginginkan persyaratan administratif yang lebih sulit supaya parpol-parpol alternatif tidak dapat terlibat. Masalahnya, sistem politik ini hanya bisa berubah oleh parpol. Jadi kebutuhan parpol alternatif yang dapat memperbaiki sistem politik yang adil memang mendesak,” ujar Ninis.

Menyambut Ninis, Veri mengatakan, PHI harus cerdas dan kreatif menggunakan sumber dayanya. Ruang kontestasi elektoral seperti Dewan Perwakilan Daerah, Pilwalkot, Pilbup, Pilgub bahkan Pilpres sebenarnya terbuka untuk dimenangkan melalui jalur independen.

Meski begitu, anggota muda PHI seperti Defrio Nandi (DKI Jakarta), Abdul Ghofar (Jateng) dan Kristina Viri (DIY) tetap optimis memandang peluang PHI. “PHI satu-satunya parpol yang saya lihat benar-benar melawan politik mainstream dan terdepan membela minoritas,” kata Viri.

Hal senada juga disampaikan Ghofar. “Saya dari kampung dan melihat sendiri kalau politisi muda saat ini didominasi oleh praktik nepotisme. Nah, anak muda harus masuk untuk mengubah situasi ini,” tandasnya sembari ditambahkan Nandi atas keyakinanannya ada banyak anak muda yang masih idealis dan mau menjadi kader parpol yang mengedepankan nilai-nilai yang membela krisis iklim seperti PHI.

Dimitri Dwi Putra, salah satu Delegasi PHI DKI Jakarta dan peserta Kongres menyimpulkan bahwa krisis iklim saat ini terlalu serius untuk dibiarkan dan politik hijau harus menang. “Ketika kiamat ekologis terjadi, oligarki dan elit politik korup di Indonesia dapat dengan mudah menyelamatkan diri, sementara saya dan anak saya harus menjadi korban bencana. Inilah urgensi PHI dalam hidup saya,” tutupnya. (rel/adz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/