29 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Sulit Larang Masyarakat untuk Mudik

MEDAN, SUMUTPOS.CO – LARANGAN mudik lebaran Idul Fitri 1442 Hijriah yang dikeluarkan pemerintah beberapa waktu lalu, masih menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan.

Ketua IAKMI Sumut, Destanul Aulia.

Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Sumut, Destanul Aulia mengatakan, sejumlah media telah menyoroti adanya kebocoran dalam membatasi layanan mudik lebaran tahun 2021.

Karena itu, dikhawatirkan kebocoran ini justru akan meningkatkan penularan kasus baru Covid-19 di daerah masing-masing jika tidak diantisipasi. “Semakin disekat, semakin kuat daya orang untuk melakukan mudik. Jadi, ketika mudik dibatasi atau dilarang mulai tanggal 6 Mei, ternyata banyak yang mudik sebelum tanggal tersebut. Ini menjadi suatu bukti masih sulitnya secara budaya dan psikologis untuk merayakan lebaran tetapi menghindari kerumunan,” kata Destanul pada webinar yang digelar IAKMI Sumut, Sabtu (8/5) sore.

Menurutnya, merayakan kemenangan saat lebaran itu ada interaksi antara manusia dengan manusia. Nah, hal ini jelas berlawanan dari makna untuk menghindari kerumunan. “Kalau menghindari kerumunan itu sama saja dengan kesepian. Artinya, kita harus mempelajari karakteristik masyarakat sehingga kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan implementasinya didukung,” kata Destanul.

Dia menyebutkan, periodik menjelang lebaran merupakan momen yang berpotensi untuk terjadinya lonjakan kasus Corona lantaran tingginya mobilitas orang. Karena itu, mengantisipasi terjadinya lonjakan penularan kasus Covid-19 tersebut maka pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan mudik untuk membatasi mobilisasi tersebut. “IAKMI mendukung sepenuhnya kebijakan pemerintah terkait larangan mudik. Akan tetapi, perlu juga memikirkan dampak yang ditimbulkan kepada masyarakat. Oleh sebab itu, dengan semangat gotong-royong diharapkan dampak tersebut bisa diatasi dengan didukung oleh berbagai pihak selain pemerintah,” ujarnya.

Destanul juga mengatakan, wajar saja jika di negara India terjadi peningkatan yang signifikan kasus Covid-19 karena kedisiplinan dan kepatuhan masyarakatnya rendah. “India sudah melakukan berbagai upaya penanganan Covid-19, seperti lock down dan vaksinasi Corona yang cukup tinggi. Namun, lantaran masyarakatnya tidak disiplin menerapkan protokol kesehatan secara ketat terjadi ledakan kasus penularan virus Corona,” jelas dia.

Maka dari itu, diharapkan kedisiplinan dan kepatuhan masyarakat di Indonesia khususnya Sumut terhadap 5M protokol kesehatan juga menjadi penting. Penerapan 5M berupa memakai masker, mencuci tangan pakai sabun/hand sanitizer, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas bisa dimulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga. “Harus diakui kedisiplinan dan kepatuhan masyarakat Indonesia masih sangat rendah sekali. Oleh karena itu, mari kita dorong agar masyarakat meningkatkannya sehingga tidak terjadi lonjakan kasus Corona,” pungkasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Psikolog Irna Mirnauli menyampaikan, perilaku atau attitude manusia terdiri dari kognitif, afektif dan konatif. Makanya, isi kognitif atau pikiran menjadi sangat penting untuk dipengaruhi. “Saat ini banyak sekali terjadi disonansi kognitif (anggapan atau asumsi dasar dari informasi yang simpang siur, sehingga kita tidak tahu mana yang harus diikuti. Oleh sebab itu, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah harus ditingkatkan,” ungkap Irna.

Ia melanjutkan, bukan malah sebaliknya, menakut-nakuti. Sebagai contoh, ada yang menyampaikan bahwa mudik itu sama saja membunuh orang tuamu di kampung. “Kalau itu terbukti, maka ada proses pembelajaran. Tapi, kalau tidak terbukti maka orang akan semakin tidak percaya, sekalipun itu disampaikan oleh pejabat publik,” sambung dia.

Dikatakan Irna, pada dasarnya perilaku manusia itu ada trial and error. Jadi, ketika mudik tidak terjadi masalah apapun terhadap keluarganya, maka akan cenderung mengulangi lagi. Namun, jika ada masalah misalnya ada anggota keluarganya yang meninggal dunia karena Covid-19 tentu akan berpikir untuk tidak mengulanginya.

Akan tetapi, hal itu sepertinya tidak banyak terjadi sehingga orang cenderung tidak khawatir untuk mudik. Artinya, kenapa mereka harus mengorbankan waktu atau momen bertemu keluarga saat lebaran. Terlebih, dari sisi agama, belum tentu juga tahun depan bisa ketemu orangtuanya. “Jadi, ini yang disebut menyangkut aspek afektif atau perasaan. Ini yang terkadang kurang diperhatikan oleh para pejabat, bagaimana menangani perasaan masyarakat kita,” terangnya.

Menurut Irna, apabila seseorang itu sudah memiliki pengetahuan yang bagus tentang dampak dari Covid-19 ini, maka perilakunya tentu cenderung positif. Nah, ini yang perlu disinkronkan antara satu informasi dengan informasi yang lain sehingga tidak terjadi disonansi kognitif. “Selama ini bisa dibilang kacau, misalnya pengetahuan yang ada tidak membuat orang memiliki perasaan tertentu. Jadi, tugas pemerintah saat ini barangkali mengatur informasi-informasi yang ada. Di samping itu, menciptakan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah sehingga masyarakat tidak lagi mendengar informasi yang hoaks atau tidak jelas,” paparnya.

Kemudian, konsistensi pemerintah dan ini sering tidak terjadi sehingga orang kemudian merasakan ketidakadilan. Misalnya, kenapa pada saat hari raya Idul Fitri dilarang mudik? Akan tetapi, pada hari raya lain tidak ada larangan. Lalu, kenapa si anu dihukum karena kasus kerumunan? Namun, dalam kasus kerumunan lain ada yang tidak dihukum. Hal ini bentuk ketidakadilan dalam perilaku yang juga menjadi faktor ketidakpercayaan.

“Kondisi masyarakat saat ini sedang marah, bosan, capek, karena sudah 2 tahun tidak boleh mudik. Kalau informasi atau kebijakan yang disampaikan tidak tepat, maka menimbulkan kemarahan atau suatu bentuk agresivitas. Contohnya, kita lihat di media sosial adanya mobil yang berani menerobos blokade petugas. Tidak mustahil ini akan menjadi suatu contoh yang akan diikuti,” imbuhnya.

Sementara, Jubir Satgas Covid-19 Sumut, dr Aris Yudhariansyah yang juga mengikuti webinar menyampaikan, sudah jelas disampaikan dan diatur terkait larangan mudik. Mulai tanggal 6 Mei dan berlanjut hingga 17 Mei mendatang, masyarakat dilarang melakukan perjalanan antar kota/kabupaten/provinsi/negara untuk tujuan mudik. Untuk itu, masyarakat diminta mematuhinya demi menekan penularan Covid-19. “Selain mudik, takbir keliling serta perayaan yang membuat kerumunan pada idul fitri tahun ini juga dilarang,” ujarnya.

Aris mengakui, memang sulit melarang masyarakat agar tidak mudik. Meski begitu, kebijakan tersebut harus benar-benar diterapkan sehingga pengawasan mesti dilakukan sungguh-sungguh dalam rangka menempatkan keselamatan masyarakat dari penyebaran virus corona. “Penyebaran Covid-19 harus diwaspadai. Berkaca dari luar negeri seperti India, angka penyebaran Covid-19 melonjak tinggi karena masyarakat lengah menerapkan protokol kesehatan. Karenanya, masyarakat Sumut jangan sampai lengah menerapkan setidaknya 5 M,” ucap Aris. (ris)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – LARANGAN mudik lebaran Idul Fitri 1442 Hijriah yang dikeluarkan pemerintah beberapa waktu lalu, masih menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan.

Ketua IAKMI Sumut, Destanul Aulia.

Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Sumut, Destanul Aulia mengatakan, sejumlah media telah menyoroti adanya kebocoran dalam membatasi layanan mudik lebaran tahun 2021.

Karena itu, dikhawatirkan kebocoran ini justru akan meningkatkan penularan kasus baru Covid-19 di daerah masing-masing jika tidak diantisipasi. “Semakin disekat, semakin kuat daya orang untuk melakukan mudik. Jadi, ketika mudik dibatasi atau dilarang mulai tanggal 6 Mei, ternyata banyak yang mudik sebelum tanggal tersebut. Ini menjadi suatu bukti masih sulitnya secara budaya dan psikologis untuk merayakan lebaran tetapi menghindari kerumunan,” kata Destanul pada webinar yang digelar IAKMI Sumut, Sabtu (8/5) sore.

Menurutnya, merayakan kemenangan saat lebaran itu ada interaksi antara manusia dengan manusia. Nah, hal ini jelas berlawanan dari makna untuk menghindari kerumunan. “Kalau menghindari kerumunan itu sama saja dengan kesepian. Artinya, kita harus mempelajari karakteristik masyarakat sehingga kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan implementasinya didukung,” kata Destanul.

Dia menyebutkan, periodik menjelang lebaran merupakan momen yang berpotensi untuk terjadinya lonjakan kasus Corona lantaran tingginya mobilitas orang. Karena itu, mengantisipasi terjadinya lonjakan penularan kasus Covid-19 tersebut maka pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan mudik untuk membatasi mobilisasi tersebut. “IAKMI mendukung sepenuhnya kebijakan pemerintah terkait larangan mudik. Akan tetapi, perlu juga memikirkan dampak yang ditimbulkan kepada masyarakat. Oleh sebab itu, dengan semangat gotong-royong diharapkan dampak tersebut bisa diatasi dengan didukung oleh berbagai pihak selain pemerintah,” ujarnya.

Destanul juga mengatakan, wajar saja jika di negara India terjadi peningkatan yang signifikan kasus Covid-19 karena kedisiplinan dan kepatuhan masyarakatnya rendah. “India sudah melakukan berbagai upaya penanganan Covid-19, seperti lock down dan vaksinasi Corona yang cukup tinggi. Namun, lantaran masyarakatnya tidak disiplin menerapkan protokol kesehatan secara ketat terjadi ledakan kasus penularan virus Corona,” jelas dia.

Maka dari itu, diharapkan kedisiplinan dan kepatuhan masyarakat di Indonesia khususnya Sumut terhadap 5M protokol kesehatan juga menjadi penting. Penerapan 5M berupa memakai masker, mencuci tangan pakai sabun/hand sanitizer, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas bisa dimulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga. “Harus diakui kedisiplinan dan kepatuhan masyarakat Indonesia masih sangat rendah sekali. Oleh karena itu, mari kita dorong agar masyarakat meningkatkannya sehingga tidak terjadi lonjakan kasus Corona,” pungkasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Psikolog Irna Mirnauli menyampaikan, perilaku atau attitude manusia terdiri dari kognitif, afektif dan konatif. Makanya, isi kognitif atau pikiran menjadi sangat penting untuk dipengaruhi. “Saat ini banyak sekali terjadi disonansi kognitif (anggapan atau asumsi dasar dari informasi yang simpang siur, sehingga kita tidak tahu mana yang harus diikuti. Oleh sebab itu, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah harus ditingkatkan,” ungkap Irna.

Ia melanjutkan, bukan malah sebaliknya, menakut-nakuti. Sebagai contoh, ada yang menyampaikan bahwa mudik itu sama saja membunuh orang tuamu di kampung. “Kalau itu terbukti, maka ada proses pembelajaran. Tapi, kalau tidak terbukti maka orang akan semakin tidak percaya, sekalipun itu disampaikan oleh pejabat publik,” sambung dia.

Dikatakan Irna, pada dasarnya perilaku manusia itu ada trial and error. Jadi, ketika mudik tidak terjadi masalah apapun terhadap keluarganya, maka akan cenderung mengulangi lagi. Namun, jika ada masalah misalnya ada anggota keluarganya yang meninggal dunia karena Covid-19 tentu akan berpikir untuk tidak mengulanginya.

Akan tetapi, hal itu sepertinya tidak banyak terjadi sehingga orang cenderung tidak khawatir untuk mudik. Artinya, kenapa mereka harus mengorbankan waktu atau momen bertemu keluarga saat lebaran. Terlebih, dari sisi agama, belum tentu juga tahun depan bisa ketemu orangtuanya. “Jadi, ini yang disebut menyangkut aspek afektif atau perasaan. Ini yang terkadang kurang diperhatikan oleh para pejabat, bagaimana menangani perasaan masyarakat kita,” terangnya.

Menurut Irna, apabila seseorang itu sudah memiliki pengetahuan yang bagus tentang dampak dari Covid-19 ini, maka perilakunya tentu cenderung positif. Nah, ini yang perlu disinkronkan antara satu informasi dengan informasi yang lain sehingga tidak terjadi disonansi kognitif. “Selama ini bisa dibilang kacau, misalnya pengetahuan yang ada tidak membuat orang memiliki perasaan tertentu. Jadi, tugas pemerintah saat ini barangkali mengatur informasi-informasi yang ada. Di samping itu, menciptakan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah sehingga masyarakat tidak lagi mendengar informasi yang hoaks atau tidak jelas,” paparnya.

Kemudian, konsistensi pemerintah dan ini sering tidak terjadi sehingga orang kemudian merasakan ketidakadilan. Misalnya, kenapa pada saat hari raya Idul Fitri dilarang mudik? Akan tetapi, pada hari raya lain tidak ada larangan. Lalu, kenapa si anu dihukum karena kasus kerumunan? Namun, dalam kasus kerumunan lain ada yang tidak dihukum. Hal ini bentuk ketidakadilan dalam perilaku yang juga menjadi faktor ketidakpercayaan.

“Kondisi masyarakat saat ini sedang marah, bosan, capek, karena sudah 2 tahun tidak boleh mudik. Kalau informasi atau kebijakan yang disampaikan tidak tepat, maka menimbulkan kemarahan atau suatu bentuk agresivitas. Contohnya, kita lihat di media sosial adanya mobil yang berani menerobos blokade petugas. Tidak mustahil ini akan menjadi suatu contoh yang akan diikuti,” imbuhnya.

Sementara, Jubir Satgas Covid-19 Sumut, dr Aris Yudhariansyah yang juga mengikuti webinar menyampaikan, sudah jelas disampaikan dan diatur terkait larangan mudik. Mulai tanggal 6 Mei dan berlanjut hingga 17 Mei mendatang, masyarakat dilarang melakukan perjalanan antar kota/kabupaten/provinsi/negara untuk tujuan mudik. Untuk itu, masyarakat diminta mematuhinya demi menekan penularan Covid-19. “Selain mudik, takbir keliling serta perayaan yang membuat kerumunan pada idul fitri tahun ini juga dilarang,” ujarnya.

Aris mengakui, memang sulit melarang masyarakat agar tidak mudik. Meski begitu, kebijakan tersebut harus benar-benar diterapkan sehingga pengawasan mesti dilakukan sungguh-sungguh dalam rangka menempatkan keselamatan masyarakat dari penyebaran virus corona. “Penyebaran Covid-19 harus diwaspadai. Berkaca dari luar negeri seperti India, angka penyebaran Covid-19 melonjak tinggi karena masyarakat lengah menerapkan protokol kesehatan. Karenanya, masyarakat Sumut jangan sampai lengah menerapkan setidaknya 5 M,” ucap Aris. (ris)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/