JAKARTA-Banyaknya peraturan daerah (perda) tentang pajak dan retribusi yang diterbitkan pemkab/pemko di wilayah Sumut, yang sebagian dicoret oleh pusat tidak mengagetkan Manajer Hubungan Eksternal Komite Pengawasa Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng.
Menurut Robert, posisi Sumut yang dalam dua tahun berturut-turut menempati posisi terbanyak perdanya yang dicoret pusat, menunjukkan cara berpikir pejabat di wilayah Sumut masih bergaya lama. “Sumut selalu mendapat catatan buruk soal perda. Ini sudah era demokrasi, tapi mainset pejabatnya masih saja merasa sebagai penguasa, bukan pelayan rakyat. Mental penguasa lama, merasa berhak melakukan pungutan-pungutan, semacam upeti,” ujar Robert kepada Sumut Pos di Jakarta, Rabu (4/1).
Seperti diberitakan, sepanjang 2011, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengevaluasi sekitar 9000 peraturan daerah (perda). Dari jumlah itu, sebanyak 351 perda dibatalkan. Khusus dari wilayah Sumut, perda yang dicoret dan tak boleh lagi diberlakukan sebanyak 36 perda. Jumlah ini merupakan yang terbanyak dibanding provinsi lainnya di Indonesia. Mayoritas merupakan perda pajak dan retribusi.
Menurut Robert, mental pejabat merasa sebagai penguasa ini, selain di Sumut, juga hampir merata di daerah kawasan Indonesia timur. Khusus Sumut, kata pria asal NTT ini, selain faktor mental pejabat juga karena Sumut tergolong kaya sumber daya alam (SDA), seperti perkebunan dan kehutanan. “Semakin kaya, maka pungutan makin besar karena dianggap sebagai lahan,” imbuhnya.
Tentang perda yang dicoret pusat, menurut Robert, sejak 2010 sebenarnya pusat hanya punya kewenangan mengevaluasi, bukan membatalkan. Sedang yang berhak membatalkan adalah Pemda sendiri. Sementara, Pemda tidak mau membatalkan perda yang sudah dievaluasi pusat. Bahkan, setelah keluar UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah, perda-perda lama tidak disesuaikan dengan UU terbaru itu. Sesuai ketentuan, per 31 Desember 2011 semua perda harus disesuaikan dengan UU 28 Tahun 2009.
“Banyak daerah yang masih mempertahankan perda-perda lama karena kalau dibatalkan atau disesuaikan dengan UU 28, pendapat asli daerahnya akan berkurang,” kata Robert.
Berarti masih terjadi pungutan-pungutan berdasar perda yang belum disesuaikan dengan UU 28? Robert membenarkan. Mestinya, para pengusaha dan warga tidak perlu membayar pungutan yang landasannya perda yang bertentangan dengan UU 28.
Hanya saja, dalam realitanya, pengusaha terlebih warga, tetap saja membayar pajak dan pungutan itu. “Karena kalau pengusaha tak mau membayar, mereka berhadapan dengan Pemda dan malah repot, apalagi pengusaha kecil,” ujarnya.
Dia berharap, pengusaha secara kompak berani mengambil sikap tegas tidak membayar pungutan yang dasarnya perda bermasalah. “Kalau tegas, akan membawa pesan ke Pemda agar serius membenahi regulasi,” harapnya. (sam)