Mahasiswa Asal Sumut Tolak Dievakuasi
TRIPOLI-Pemimpin Libya Moammar Kadhafi bereaksi keras terhadap serbuan yang dilakukan pasukan koalisi negara-negara anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO) di Tripoli dan Misrata.
Kemarin (20/3), sembari mengumumkan bakal terus mengobarkan perang, despot Libya yang telah berkuasa selama 41 tahun terakhir itu berjanji akan membuka gudang-gudang senjata untuk mempersenjatai warga sipil.
Selain itu, Kadhafi juga langsung mengirimkan jet tempur, tank, dan tentara ke Benghazi dan Misrata, kota di bagian timur dan barat Libya yang hingga kini masih dikuasai pemberontak. Benghazi ini pula yang diserbu loyalis Kadhafi pada Sabtu (19/3), tepatnya di bagian barat dan selatan. Namun, pemberontak tetap mampu memegang kendali atas kota berpenduduk sekitar satu juta jiwa itu.
”Kami akan terus melawan Anda dalam perang yang tanpa batasan,” kata Kadhafi lewat sambungan telepon kepada televisi pemerintah kemarin pagi waktu setempat, seperti dikutip Associated Press.
Menurut laporan BBC, suara Kadhafi dalam wawancara telepon itu tak terlalu terdengar. Namun, untuk lebih memperlihatkan taji gertakan sang kolonel, pihak televisi menayangkan ilustrasi visual berupa ikan emas raksasa yang menelan jet tempur Amerika Serikat.
“Kami akan melawan Anda inci demi inci. Ini tanah air kami, kami akan mempersenjatai semua rakyat Libya. Siapa saja yang bekerja sama dengan pasukan Salib (sebutan Kadhafi untuk pasukan koalisi, red) adalah pengkhianat,” lanjut Kadhafi.
Untuk menarik simpati, Kadhafi memang selalu berusaha mengaitkan pemberontakan sipil di negaranya dengan isu agama. Sebelumnya dia menyebut Al Qaidah sebagai otak. Kini dia menggunakan istilah yang berkorelasi dengan Perang Salib.
Padahal, sejatinya yang terjadi di Libya tak ubahnya dengan Tunisia dan Mesir: gerakan sipil pro demokrasi yang sumpek dengan kediktatoran yang doyan membungkam dan menghalalkan segala cara untuk bertahan.
Serangan pasukan koalisi Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis, dengan dukungan Kanada dan Italia itu diklaim media pemerintah Libya telah menewaskan 48 orang dan melukai 150 lainnya. Mayoritas korban adalah sipil dan anak-anak.
Tapi, Menteri Keuangan Inggris George Osborne meminta semua pihak agar tak begitu saja menelan angka-angka yang disodorkan kubu berkuasa di negeri bekas jajahan Italia tersebut. “Pihak militer telah sangat berhati-hati agar tidak sampai timbul korban di pihak sipil,” katannya kepada BBC.
Laksamana Mike Mullen, panglima Angkatan Bersenjata AS, juga menegaskan belum ada laporan masuk tentang adanya korban sipil. “Operasi itu bisa dikatakan sukses,” ujar Mullen dalam acara Meet the Press di stasiun televisi NBC.
Memang belum ada konfirmasi dari pihak independen tentang berapa persisnya jumlah korban, utamanya korban sipil, akibat serangan pasukan koalisi. Tapi, Komite Palang Merah Internasional tetap menyatakan sangat prihatin tentang dampak serbuan itu kepada pihak sipil.
Mereka meminta semua pihak agar membedakan antara warga sipil dan mereka yang bersenjata. Juga mengimbau perlunya diberi akses kepada organisasi kemanusiaan.
Serangan yang disebut sebagai Operasi Odyssey Dawn (Pengembaraan Fajar) itu melibatkan 112 rudal Tomahawk yang ditembakkan dari kapal perang dan kapal selam AS serta Inggris. Sasarannya adalah 20 sistem pertahanan udara Libya yang terletak di ibu kota Tripoli dan Misrata, satu-satunya kota di bagian barat Libya yang dikuasai pemberontak. Itu merupakan serangan militer pertama yang dilakukan secara koalisi sejak invasi ke iraq pada 2003.
Operasi Odyssey Dawn itu dilakukan sebagai hasil pertemuan darurat di Paris yang melibatkan 22 kepala negara atau pemerintahan. Mereka yang hadir dalam ajang tersebut sepakat untuk melakukan segala cara untuk membuat Kadhafi menghormati resolusi Dewan Keamanan PBB. Yaitu, yang terkait dengan zona larangan terbang serta gencatan senjata.
Pesawat tempur Prancis yang memulai serangan jelang Sabtu tengah malam (19/3) itu. Mereka menggempur pasukan Kadhafi yang baru saja menghajar pertahanan pemberontak di Benghazi. Sempat ada kabar kalau satu pesawat Prancis berhasil dijatuhkan pasukan Kadhafi. Namun, Prancis membantah.
Berkat serangan yang juga melibatkan pesawat pengebom legendaris AS, B-2 Stealth, tersebut, klaim Mullen, zona larangan terbang sekarang benar-benar bisa diterapkan. Namun, belum jelas benar dampak kerusakan yang ditimbulkan serangan pihak koalisi.
Hanya ada konfirmasi dari Mohammed Ali, ketua Front Penyelamatan Libya, organisasi orang-orang yang diasingkan rezim Kadhafi. Dia menyatakan serangan kubu koalisi telah merusak markas Angkatan Udara di Mateiga di bagian timur Tripoli, dan Akademi Penerbangan di Misrata.
Selain didukung PBB via resolusi Dewan Keamanan, Operasi Odyssey Dawn itu juga diapresiasi para kepala negara yang pasukannya terlibat. Presiden AS Barack Obama yang tengah berkunjung ke Brazil menyatakan kalau serbuan itu diperlukan karena dunia tak tahan lagi melihat seorang tiran melakukan kekejaman kepada rakyatnya sendiri. Perdana Menteri Inggris David Cameron juga menganggap operasi militer itu “diperlukan, legal, dan benar.”
Namun, Obama memastikan kalau tindakan militer yang dilakukan di Libya itu sangat terbatas. “Tak ada pasukan darat Amerika yang telah dan akan terlibat,” katanya seperti dikutip Associated Press.
AS pernah menyerang Libya pada 1986, di masa pemerintahan Presiden George Bush, menyusul pengeboman di sebuah diskotik di Berlin, Jerman, yang diyakini Washington diotaki Tripoli. Ledakan itu menewaskan tiga orang, termasuk dua tentara Amerika. Sedangkan serangan udara AS ke Tripoli membunuh 100 orang, termasuk putri adopsi Kadhafi.
Chaves: Sekutu Ingin Kuasai Minyak Libya
Serangan pasukan sekutu atas nama resolusi PBB ke Libya mendapat reaksi beragam dari dunia internasional. Liga Arab menyebut tindakan tersebut tidak tepat untuk mencari solusi atas krisis Libya.
“Apa yang terjadi di Libya berbeda dengan tujuan pemberlakuan zona larangan terbang. Dan apa yang kita perlukan adalah melindungi warga sipil dan bukan membombardir mereka,” ujar Sekretaris Jenderal Liga Arab, Amr Musa kepada wartawan, seperti dilansir Agence France Presse.
Sebelumnya, 12 Maret, Liga Arab mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memberlakukan zona larangan terbang kepada Libya dan menyatakan bahwa Muammar Kadhafi telah kehilangan legitimasinya, setelah menyebut para demonstran berencana untuk menjatuhkan dirinya.
Kecaman serupa juga diungkapkan Presiden Venzuela Hugo Chavez. Dia menuduh serangan Amerika Serikat dan sekutu Eropanya bertujuan untuk merebut minyak yang dimiliki Libya.
Sekutu Chavez dan guru ideologi mereka Fidel Castro juga menyatakan keprihatinan yang sama, sebelum serangan pertama dilancarkan. Para pemimpin garis kiri seperti Bolivia dam Nikaragua juga menuduh negara berkuasa melakukan intervensi atas krisis Libya dan mengincar minyaknya.
Chavez, yang menjadi sekutu dekat Muammar Kadhafi, menyatakan perlunya mediasi untuk mencari solusi atas krisis Libya. Dia juga menyebut bahwa tindakan intervensi Amerika Serikat, Prancis, dan sekutunya “menjijikkan?.
“Jatuhnya lebih banyak korban, akan mengakibatkan perang lebih besar. Mereka (AS dan sekutunya) adalah jagonya perang,” tandas Chavez. “Sangat tidak bertanggungjawab. Dan dibalik itu semua adalah kepentingan AS dan sekutu Eropanya,” tegas Chavez.
“Mereka ingin menguasai minyak Libya. Nyawa rakyat Libya tidak mereka pikirkan,” tambah Chavez. “Sangat menyedihkan bahwa, sekali lagi, kebijakan suka berperang Dinasti Yankee (AS) dan sekutunya kembali diberlakukan. Dan menjijikkannya lagi PBB justru mendukung perang. PBB lebih memilih menyetujui pemberlakuan resolusi daripada membentuk komisi untuk dikirim ke Libya,” katanya.
Bertindak atas dasar resolusi Dewan Keamanan PBB, jet tempur Prancis melepaskan tembakan kepada pasukan Kadhafi, Sabtu (19/3). Sementara kapal perang Amerika Serikat dan Inggris meluncurkan rudal mereka ke pangkalan militer Libya beberapa jam kemudian.
“Kami tahu apa yang akan terjadi. Bom, bom, perang, dan semakin banyak korban jatuh,” papar Chavez dalam pidatonya yang disiarkan melalui televisi di Caracas.
Sementara, Iran juga memperingatkan rakyat Libya untuk tidak percaya dengan “niat baik” kekuatan barat untuk membela mereka menyerang pasukan Kadhafi. Menurutnya, tujuan utama AS dan sekutunya adalah memperluas neo kolonialisme terhadap negara kaya minyak tersebut.
Teheran telah menyatakan dukungannya terhadap perlawanan rakyat Libya terhadap pemerintah dan menyebutnya sebagai kebangkitan Islam di dunia Arab.
Namun sebagai musuh besar Amerika Serikat, yang telah menginvasi dua negara tetangganya, Iraq dan Afghanistan, menaruh kecurigaan intervensi militer Barat di Libya.
“Catatan sejarah dan aksi negara-negara berkuasa dalam menginvasi negara lain menunjukkan bahwa setiap tindakan mereka (AS dan sekutunya) selalu mencurigakan,” terang juru bicara Kementerian Dalam Negeri Iran, Ramin Mehmanparast seperti dikutip kantor berita ISNA.
Tolak Dievakuasi
Dua mahasiswa asal Indonesia menolak dievakuasi dari Libya. Satu diantara mahasiswa itu diketahui asal Kecamatan Perbaungan, Serdang Bedagai, Sumatera Utara dan seorang lagi asal Sulawesi. Menurut penelusuran yang dilakukan Sumut Pos, mahasiswa laki-laki itu sedang kuliah di Akademi Dakwah Islam Internasional di Libya.
MAlfiansyah Harahap, yang sudah dievakuasi dari Libya akibat ketegangan di negara itu, mengenal kedua mahasiswa asal Indonesia itu. Saat dihubungi tadi malam, pria yang sudah 5 tahun menetap di Benghadzi menuturkan, di akademi itu ada 113 mahasiswa Indonesia, termasuk kedua mahasiswa yang hingga kini menolak dievakuasi. Keduanya sudah dibujuk oleh teman-temannya sesama mahasiswa dari Indonesia. Tetapi mereka enggan kembali dengan alasan sedang menyelesaikan kuliah juga karena keamanan mereka dijamin pihak Akademi Dakwah Islam Internasional.
Kedua mahasiswa itu minta namanya tidak disebutkan, karena takut membuat khawatir orangtua mereka. ”Kami yakin kami akan baik-baik saja di sini,” begitu ungkapan kedua mahasiswa tersebut kepada Alfiansyah.
Menurut Alfiansyah juga, kedua mahasiswa tersebut merupakan mahasiswa yang baik dan aktif berkegiatan di kampus. Dan keduanya saat ini berada di tingkat 3, atau saat sedang berusia 23 atau 24 tahun.
Alfiansyah menegaskan, sebelum kembali ke Indonesia, ada dua opsi yang diberikan untuk para mahasiswa Indonesia. Pertama, pemerintah Indonesia memfasilitasi pemulangan, kedua menuruti permintaan pihak kampus dan menjamin keamanannya.
Sejak Alfiansyah kembali ke Indonesia, komunikasi dengan kedua mahasiswa tersebut sudah putus. ”Bahkan sejak saya di Tunisia, internet di Libya sudah putus,” katanya. ”Saya akan mencoba untuk telepon mereka langsung, karena internet yang sudah putus,” ujar Alfiansyah. Setelah dicoba, ternyata keduanya belum bisa dihubungi.
Alfiansyah dan WNI yang dievakuasi dari Libya berada di Tunisia awal Maret lalu. Sementara untuk mengetahui kondisi di Libya, Alfiansyah dan teman-temannya memantau berita dari media online atau TV.
Kepulangan Alfiansyah disambut baik oleh keluarga, terutama sang bunda, Nurhamidah Siregar. ”Saya sempat berpikir, apakah anak saya akan aman. Apakah makanan dan kesehatannya baik-baik saja, karena pemberitaan membuat saya merasa sangat sedih dengan keadaan di Libya,” terang Nurhamidah.(ttg/cak/jpnn/mag-9)