25 C
Medan
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

John Cusack pun tak Terlelap

Oleh : Iwan Junaidi, redaktur pelaksana Sumutpos

Dalam dua pekan terakhir kondisi cuaca sangat tidak bersahabat. Pagi panas, malam pun hujan. Bahkan, tak jarang dari mulai pagi sampai malam hujan terus mengguyur, seakan terlalu banyak debu yang harus disingkirkan dari bumi.

Butuh kesabaran untuk menyikapi cuaca ekstrim yang sering mengganggu aktivitas tersebut. Namun, belum lagi kesabaran kita benar-benar teruji, sebuah kabar tak sedap kembali singgah ke telinga. Itu saat tiga hari lalu Simeulue diguncang gempa hebat berkekuatan 7,1 skala richter.

Semuanya panik. Masyarakat berlarian guna menghindar dari bencana tsunami yang siap mengancam. Sementara warga Aceh yang ada di perantauan pun dibuat kalang kabut untuk mendapatkan informasi tentang anak, saudara ataupun teman yang berada di daerah bencana.

Tak kalah repotnya adalah para awak media yang berlomba-lomba menyajikan berita ekslusif dan lengkap. Ini semua tak terlepas dari pengalaman pahit pada 26 Desember 2004, ketika wilayah Aceh dilanda gempa hebat berkekuatan 9,2 skala richter disusul tsunami yang menyebabkan puluhan ribu warga Serambi Mekah meregang nyawa.

Kesimpulan dari peristiwa di atas adalah Indonesia merupakan salah satu daerah rawan tsunami. Artinya, perlu penanganan khusus untuk menyikapi masalah tsunami, atau setidaknya membuat masyarakat tak langsung kalap dan mengalami trauma jika mendengar kata tsunami. Bukannya ada pribahasa yang berbunyi jika pengalaman adalah guru yang terbaik.

Sampai di sini belum didapat makna dari tulisan di atas. Tapi jika melihat apa yang dialami Jepang pada 11 Maret 2011 lalu, betapa kita menyadari jika kita belum mampu berbuat maksimal untuk menangani masalah tsunami.

Bayangkan gempa berkekuatan 8,9 skala richter yang mengakibatkan tsunami setinggi sepuluh meter di beberapa kota besar yang ada di Jepang, ternyata tak membuat masyarakatnya kalap. Terlihat secara nyata jika mereka telah siap dengan segala kemungkinan terburuk, termasuk tsunami.

Oke lah jika ada yang menyimpulkan bahwa teknologi yang dimiliki Negeri Matahari Terbit itu jauh lebih hebat dari yang kita miliki. Namun perlu juga sadari bahwa rentang waktu tujuh tahun, terhitung sejak bencana tsunami di Aceh, bukanlah waktu yang singkat untuk melakukan sebuah upaya penanggulangan bencana tsunami.

Apakah ini sebuah pertanda jika pemerintah tak mampu mencetak ilmuwan yang mampu mendeteksi kapan terjadinya gempa berpotensi tsunami? Jika benar, setidaknya pemerintah masih bisa mengantisipasinya dengan menyisihkan sedikit anggaran untuk membeli alat pendeteksi gempa seperti yang dimiliki Jepang. Cara ini jauh lebih efisien ketimbang negeri ini harus mengalami kerugian puluhan, atau bahkan ratusan triliun akibat tsunami, seperti yang pernah terjadi di Aceh. Setidaknya, ini hanya masalah niat semata.

Cerita masalah niat, jadi teringat film 2012 yang mampu menghipnotis dunia. Betapa tidak, terlepas dari benar atau tidaknya ramalan Suku Maya terkait bencana besar yang diduga bakal menewaskan hampir seluruh penduduk bumi pada 12 Desember 2012 nanti, toh seorang aktor besar bernama John Cusack telah rela bermandi peluh untuk mendapatkan hasil maksimal atas peran yang didapatnya pada film itu.

Sekali lagi, ini masalah niat. Atas dasar profesionalisme, Cusack rela melakukan melakukan beragam adegan, yang sesungguhnya akan membuat dirinya tak bisa terlelap, jika membayangkan apa yang dilakukannya pada  film 2012 itu benar-benar terjadi.
Sungguh hebat Suku Maya itu. Ups… padahal jika mau, sesunguhnya bukan hanya Suku Maya saja yang bisa menerawang apa yang bakal terjadi di kemudian hari.

Masih ada di antara masyarakat kita yang piawai melakukan penerawangan seperti Suku Maya tadi, utamanya di hari-hari tertentu. Dari hasil penerawangan yang kerap mereka lakukan, sering seorang berubah nasib dalam hitungan jam.
Dari hanya memiliki uang Rp10 ribu menjadi seorang jutawan yang memiliki uang ratusan juta hingga mobil mewah. Sayangnya, kepiawaian mereka tadi hanya terfokus pada hitungan angka-angka dari mulai 0 sampai 9.

Untungnya ini bukan gambaran masyarakat kita secara umum, masih ada puluhan bahkan ratusan kaum bijak di negeri ini, yang diharapkan mampu melihat realita, sehingga segala tindakan yang menyangkut nasib jutaan masyarakat kita tidak disikapi dengan omong-omong doang.

Atau semoga masih ada di antaranya yang tak terlelap karena memikirkan nasib jutaan masyarakat kita yang jantungnya sontak berdegup kencang saat mendengar kata tsunami. Semoga. (*)

Oleh : Iwan Junaidi, redaktur pelaksana Sumutpos

Dalam dua pekan terakhir kondisi cuaca sangat tidak bersahabat. Pagi panas, malam pun hujan. Bahkan, tak jarang dari mulai pagi sampai malam hujan terus mengguyur, seakan terlalu banyak debu yang harus disingkirkan dari bumi.

Butuh kesabaran untuk menyikapi cuaca ekstrim yang sering mengganggu aktivitas tersebut. Namun, belum lagi kesabaran kita benar-benar teruji, sebuah kabar tak sedap kembali singgah ke telinga. Itu saat tiga hari lalu Simeulue diguncang gempa hebat berkekuatan 7,1 skala richter.

Semuanya panik. Masyarakat berlarian guna menghindar dari bencana tsunami yang siap mengancam. Sementara warga Aceh yang ada di perantauan pun dibuat kalang kabut untuk mendapatkan informasi tentang anak, saudara ataupun teman yang berada di daerah bencana.

Tak kalah repotnya adalah para awak media yang berlomba-lomba menyajikan berita ekslusif dan lengkap. Ini semua tak terlepas dari pengalaman pahit pada 26 Desember 2004, ketika wilayah Aceh dilanda gempa hebat berkekuatan 9,2 skala richter disusul tsunami yang menyebabkan puluhan ribu warga Serambi Mekah meregang nyawa.

Kesimpulan dari peristiwa di atas adalah Indonesia merupakan salah satu daerah rawan tsunami. Artinya, perlu penanganan khusus untuk menyikapi masalah tsunami, atau setidaknya membuat masyarakat tak langsung kalap dan mengalami trauma jika mendengar kata tsunami. Bukannya ada pribahasa yang berbunyi jika pengalaman adalah guru yang terbaik.

Sampai di sini belum didapat makna dari tulisan di atas. Tapi jika melihat apa yang dialami Jepang pada 11 Maret 2011 lalu, betapa kita menyadari jika kita belum mampu berbuat maksimal untuk menangani masalah tsunami.

Bayangkan gempa berkekuatan 8,9 skala richter yang mengakibatkan tsunami setinggi sepuluh meter di beberapa kota besar yang ada di Jepang, ternyata tak membuat masyarakatnya kalap. Terlihat secara nyata jika mereka telah siap dengan segala kemungkinan terburuk, termasuk tsunami.

Oke lah jika ada yang menyimpulkan bahwa teknologi yang dimiliki Negeri Matahari Terbit itu jauh lebih hebat dari yang kita miliki. Namun perlu juga sadari bahwa rentang waktu tujuh tahun, terhitung sejak bencana tsunami di Aceh, bukanlah waktu yang singkat untuk melakukan sebuah upaya penanggulangan bencana tsunami.

Apakah ini sebuah pertanda jika pemerintah tak mampu mencetak ilmuwan yang mampu mendeteksi kapan terjadinya gempa berpotensi tsunami? Jika benar, setidaknya pemerintah masih bisa mengantisipasinya dengan menyisihkan sedikit anggaran untuk membeli alat pendeteksi gempa seperti yang dimiliki Jepang. Cara ini jauh lebih efisien ketimbang negeri ini harus mengalami kerugian puluhan, atau bahkan ratusan triliun akibat tsunami, seperti yang pernah terjadi di Aceh. Setidaknya, ini hanya masalah niat semata.

Cerita masalah niat, jadi teringat film 2012 yang mampu menghipnotis dunia. Betapa tidak, terlepas dari benar atau tidaknya ramalan Suku Maya terkait bencana besar yang diduga bakal menewaskan hampir seluruh penduduk bumi pada 12 Desember 2012 nanti, toh seorang aktor besar bernama John Cusack telah rela bermandi peluh untuk mendapatkan hasil maksimal atas peran yang didapatnya pada film itu.

Sekali lagi, ini masalah niat. Atas dasar profesionalisme, Cusack rela melakukan melakukan beragam adegan, yang sesungguhnya akan membuat dirinya tak bisa terlelap, jika membayangkan apa yang dilakukannya pada  film 2012 itu benar-benar terjadi.
Sungguh hebat Suku Maya itu. Ups… padahal jika mau, sesunguhnya bukan hanya Suku Maya saja yang bisa menerawang apa yang bakal terjadi di kemudian hari.

Masih ada di antara masyarakat kita yang piawai melakukan penerawangan seperti Suku Maya tadi, utamanya di hari-hari tertentu. Dari hasil penerawangan yang kerap mereka lakukan, sering seorang berubah nasib dalam hitungan jam.
Dari hanya memiliki uang Rp10 ribu menjadi seorang jutawan yang memiliki uang ratusan juta hingga mobil mewah. Sayangnya, kepiawaian mereka tadi hanya terfokus pada hitungan angka-angka dari mulai 0 sampai 9.

Untungnya ini bukan gambaran masyarakat kita secara umum, masih ada puluhan bahkan ratusan kaum bijak di negeri ini, yang diharapkan mampu melihat realita, sehingga segala tindakan yang menyangkut nasib jutaan masyarakat kita tidak disikapi dengan omong-omong doang.

Atau semoga masih ada di antaranya yang tak terlelap karena memikirkan nasib jutaan masyarakat kita yang jantungnya sontak berdegup kencang saat mendengar kata tsunami. Semoga. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/