MEDAN, SUMUTPOS.CO – Dokter G, vaksinator yang diduga menyuntik vaksin kosong kepada siswi SD Wahidin di Medan Labuhan hingga viral di media sosial, meminta bantuan pendampingan kepada Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Pendampingan ini diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum terhadap dirinya.
Pengacara dokter G, OK Dedek Kurniawan mengaku, kliennya sudah mengadukan persoalan ini ke IDI. Selanjutnya, dalam waktu dekat akan datang untuk memberikan klarifikasi dan menceritakan yang sebenarnya terjadi. “Klien kami memohon bantuan kepada IDI guna memperoleh pendampingan dan pembelaan terkait peristiwa itu,” kata Dedek saat menggelar temu pers di Medan, Rabu (26/1).
Dedek menyatakan, kliennya juga telah mengajukan permohonan perlindungan hukum kepada IDI Sumut maupun IDI Medan. “Klien kami berharap organisasi profesi kedokteran tersebut ikut mendampingi klien kami dalam perkara ini,” ucapnya.
Terkait video yang telah viral dan diduga kliennya menyuntik vaksin kosong terhadap anak sekolah dasar, Dedek membantah. Menurutnya, setelah didalami ternyata tidak benar. “Kegiatan vaksinasi adalah kegiatan bersama antara Polres Belawan dan PDGI. Klien kami tersebut sudah melakukan tugasnya dengan baik sesuai SOP. Lantas, kenapa ada video viral yang menyatakan itu kosong tanpa ada vaksin? Ternyata, setelah kita dalami itu tidak benar. Kalau itu kosong akan berefek buruk ke anak,” ujarnya.
Dedek menyatakan, ada vaksin yang disuntikkan kepada anak tersebut. Namun, memang vaksin yang berisi sedikit. “0,5 mili, itu memang untuk anak di bawah umur. 0,5 mili itu memang sedikit sekali, tampak di kamera itu seperti kosong, padahal berisi,” akunya.
Soal permintaan maaf yang sempat disampaikan kliennya terkait persoalan ini, Dedek menyebutkan bukan karena mengaku bersalah. “Permintaan maaf bukan menyatakan dia bersalah, permintaan maaf itu jika saya (dokter G) disebut khilaf,” tukasnya.
Sementara itu, Ketua IDI Cabang Medan dr Wijaya Juwarna SpTHT-KL mengatakan, pihaknya memang akan segera memanggil dokter dalam video viral tersebut untuk menelusuri dugaan suntikan tanpa cairan vaksin. Namun demikian, pada prinsipnya IDI bersama kepolisian akan bekerja sesuai kewenangan masing-masing. “IDI akan memanggil dokter dan tim medis tersebut untuk menelusuri serta mendalami apa yang sebenarnya terjadi. Ini tentunya dari sisi prinsip dan teknis operasional kedokteran,” ujarnya.
Majelis Kode Etik Diminta Turun Tangan
Sementara, Ketua Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) Cabang Sumatera Utara (Sumut) dr Rudi Rahmadsyah Sambas meminta Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) diminta turun tangan dalam kasus ini. “Terhadap adanya dugaan suntikan vaksin kosong, berharap MKEK turun tangan,” kata Rudi melalui whatsapp, Rabu (26/1).
Rudi juga berharap, kasus ini segera mendapat titik terang. “Kita menginginkan ini segera di-clear-kan karena ini menyangkut harkat martabat dokter umum, yang saat ini tenaganya sangat dibutuhkan dalam membantu percepatan program vaksinasi pada pandemi ini,” ujarnya.
Dia mengaku, pihaknya akan melakukan silaturahmi dengan pihak Polres Pelabuhan Belawan dan sekaligus mendiskusikan kasus ini. “Kita akan diskusi dulu, mau silaturahmi dengan Polres (Pelabuhan Belawan). Karena, yang minta kita menjadi vaksinator kan pihak Polres,” ucapnya.
Ketua Bidang Hukum PDUI Sumut, Balqis Wasliati menghimbau agar sejawat dapat mengambil & melakukan tindakan menegur pasien untuk tidak mengambil foto atau merekam tanpa izin. Sebab hal itu dapat berakibat hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi dokter, sebagaimana tertuang dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 2 & 3. “Dokter G merupakan anggota PDUI yang diutus untuk memenuhi permintaan penyelenggara dan berada di lingkungan kepolisian yang pasti mengawal keberhasilan vaksinasi,” kata Balqis.
Hal senada disampaikan Sekretaris Umum DPW Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) Wilayah Sumut, Redyanto Sidi. Kata Redyanto, terkait dengan kasus itu kiranya dapat dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu oleh MKEK. Hal ini guna mengetahui apakah telah terjadi pelanggaran standar profesi medis yang diduga dilakukan dokter G sebagai vaksinator dalam kegiatan vaksinasi massal tersebut.
“Majelis Kehormatan Etik Kedokteran selayaknya berperan dalam kasus ini guna mendapatkan kepastian adanya atau tidak pelanggaran etik, karena MKEK lah yang dapat menentukan ada tidaknya kesalahan dari seorang dokter. Persoalan ini belum layak dibawa ke ranah hukum, apalagi hukum pidana adalah jalan terakhir sebagaimana asas ‘Ultimum Remedium’,” ungkapnya.
Redyanto mengimbau agar kiranya masyarakat tidak menanggapi lebih jauh, apalagi men-judge secara negatif. “Mari kita junjung tinggi asas praduga tak bersalah, karena kita tidak yakin ada dokter yang memiliki niat tidak baik dalam pelayanan kesehatan khususnya vaksinasi (Covid-19) massal,” tukasnya.
Tak jauh beda disampaikan pengamat kesehatan Sumut, dr Delyuzar. Ia menuturkan, dalam kasus tersebut harus ada asas praduga tak bersalah karena belum diputuskan pengadilan. Terlebih, persoalan itu tindakan medis. “Jika itu ada kesalahan SOP (standar operasional prosedur), maka sebenarnya bukan langsung ke polisi tapi itu ada aturannya. Kasus itu harus diperiksa di Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK), dan itu di dalamnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI),” tutur Delyuzar kepada wartawan.
Menurut dia, kalau ada kesalahan disiplin kedokteran dan tidak cocok dengan prosedur medis, maka semestinya akan diperiksa oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Sebab, majelis tersebut merupakan lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter. “Jadi belum ke polisi dulu, itu prosedurnya. Kalau ada temuan pidana, baru ke polisi,” ucapnya.
Delyuzar berpendapat, atas kejadian ini tidak bisa hanya melihat video viral itu saja. Sebab, video itu sifatnya parsial. “Bagaimana kita membedakan itu sudah diisi pakai obat. Kemudian, diambil dari plastik lalu dengan suntik kosong. Kalau kita lihat di video itu, dia kan ada melakukan tindakan menekan alat suntik. Jadi kalau menurut saya, harus ada asas praduga tak bersalah dulu sampai bisa kita buktikan,” ungkapnya.
Ia menilai, dalam kasus ini yang perlu dikejar adalah yang mengupload dan membuat narasi sehingga pada akhirnya merusak program vaksinasi. “Itu harus dikejar yang mengupload video dan membuat narasi yang diduga belum benar. Kalau itu tidak benar adanya, sangat disayangkan,” sambung Delyuzar sembari mengharapkan, jika ini tidak benar adanya maka yang harus dilakukan pemerintah yaitu membangun kembali semangat para tenaga kesehatan untuk terus menjalankan program vaksinasi massal. (ris)