MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kisruh penetapan 7 nama Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sumut periode 2021-2024 semakin melebar ke ranah hukum. Ada potensi perbuatan melawan hukum dan pelanggaran Undang-undang Tata Usaha Negara dalam proses penetapan yang mengiringinya.
Advokat Ranto Sibarani dari Kantor Hukum Ranto Sibarani & Rekan mengatakan, perbuatan melawan hukum tersebut menyangkut pelanggaran Tata Tertib DPRD dan UU No 17 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagai pedoman hukum dalam mekanisme pengambilan keputusan di DPRD. “Jika penetapan 7 nama komisioner KPID dilakukan tanpa mekanisme yang berlaku dan jika dilakukan pemaksaan kehendak sendiri yang melanggar Tata Tertib yang berlaku, bisa dikategorikan perbuatan melawan hukum,” ungkap Ranto kepada wartawan, Rabu (2/2/2022).
Ranto menjelaskan, bukti paling kuat atas perbuatan melawan hukum tersebut adalah penetapan komisioner terpilih yang dinyatakan adalah hasil musyawarah mufakat. Padahal ada sejumlah anggota Komisi A melakukan protes dan interupsi saat 7 nama komisioner KPID Sumut periode 2021-2024 dibacakan oleh Ketua Komisi A DPRD Sumut Hendro Susanto. “Artinya, jika ada yang menolak seharusnya dilaksanakan voting atau pemungutan suara,” katanya.
Kata Ranto, bukti yang tak terbantahkan secara hukum adalah surat dari Fraksi PDI Perjuangan DPRD Sumatera Utara tertanggal 27 Januari 2022 dengan Nomor: 117/F.PDI-P/DPRD-SU/1/2022 perihal Penolakan Hasil KPID periode 2021-2024 yang diteken oleh Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Sumut Mangapul Purba SE dan Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan DPRD Sumut Drs H Syahrul Ependi Siregar MEI
“Pada surat dituliskan dengan jelas bahwa proses penetapan 7 nama komisioner KPID Sumut periode 2021-2024 ditetapkan dengan cara yang tidak tepat dan berpotensi melanggar hukum dan rasa keadilan bagi calon-calon yang tidak terpilih karena tidak sesuai dengan mekanisme,” tegasnya.
Ranto menjelaskan, surat penolakan dari Fraksi PDI Perjuangan tersebut menyatakan, seluruh anggota Komisi A dari Fraksi PDI Perjuangan yang juga bagian dari 20 anggota Komisi A DPRD Sumut tidak dilibatkan atau tidak dihormati hak-haknya sebagai anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara dalam pengambilan keputusan terkait penetapan 7 komisioner terpilih.
“Surat tersebut bukti untuk diajukannya gugatan perbuatan melawan hukum terkait penetapan 7 nama Komisioner KPID Sumut periode 2021-2024 ke Pengadilan Negeri Medan, yang tentu saja dapat diajukan oleh calon komisioner lain yang merasa dirugikan hak-haknya,” tegasnya.
Ranto yang pernah menjadi Tenaga Ahli Komisi A DPRD Sumut selama empat tahun (2015-2019) itu menyebutkan, DPRD hanya mengenal dua mekanisme legal-formal dalam proses pengambilan keputusan secara politik. Pertama adalah musyawarah-mufakat dan kedua melalui voting untuk mengambil keputusan lewat suara terbanyak.
“Jika musyawarah-mufakat gagal dalam pengambilan keputusan, maka pilihan atau opsi terakhir adalah voting yang dilakukan seluruh anggota. Setiap anggota DPRD memiliki hak yang sama karena mereka adalah legislator yang memiliki konstituen. Tak seorang pun boleh diabaikan. Ada istilah ‘one man one vote’. Jika memilih 7 komisioner, maka setiap anggota DPRD berhak mengusulkan 7 nama, jadi setiap anggota Dewan punya hak yang sama secara politik,” jelasnya.
Ranto menegaskan fungsi Ketua Komisi hanya memfasilitasi pengambilan keputusan tersebut, tidak ada hak istimewa Ketua Komisi dalam pengambilan keputusan. “Komisi adalah alat kelengkapan yang keputusannya adalah hasil musyawarah mufakat atau pemungutan suara seluruh anggota,” urai Ranto.
Ranto mengingatkan pilihan melakukan voting harus dilakukan jika cara musyawarah mufakat mengalami kebuntuan (deadlock) dalam mekanisme pengambilan keputusan. Adanya rekaman video rapat penetapan tujuh komisioner KPID Sumut periode 2021-2024 yang diketok di tengah hujan interupsi dan protes dari anggota Komisi A DPRD Sumut Meryl Saragih dan Rudy Hermanto, Ranto mengatakan, video itu membuktikan keputusan penetapan 7 nama komisioner tidaklah hasil musyawarah mufakat, karena itu sangat berpotensi melanggar hukum.
“Ketua Komisi A Hendro Susanto menyebutkan hasil penetapan 7 nama itu adalah hasil musyawarah mufakat sebagian anggota. Musyawarah mufakat itu dalam prinsip demokrasi dan sesuai Tata Tertib DPRD adalah kesepakatan, artinya seluruh anggota Komisi A sepakat untuk musyawarah mufakat. Kalau ada yang setuju, ada yang tidak setuju, itu yang dinamakan dinamika. Tapi prinsipnya sepakat dulu menggunakan opsi yang mana, musyawarah mufakat atau voting,” katanya.
Dia justru heran jika sulit untuk mufakat kenapa tidak dilaksanakan voting? Sebab, lanjut Ranto, pemaksaan kehendak dalam menetapkan 7 komisioner terpilih untuk kemudian menyatakan keputusan tersebut adalah hasil musyawarah mufakat akan menjadi pertimbangan bagi majelis hakim dalam menentukan apakah keputusan tersebut adalah perbuatan melawan hukum.
“Oleh sebab itu Ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara sebaiknya tidak menerbitkan surat keputusan terkait terpilihnya 7 nama komisioner yang ditetapkan secara tidak demokratis tersebut. Jika SK terbit bisa digugat ke PTUN,” jelas Ranto.
Argumentasi hukumnya, menurut Ranto, karena penetapan 7 nama Komisioner KPID Sumut periode 2021-2024 jelas-jelas melanggar mekanisme pengambilan keputusan sesuai Tata Tertib DPRD yang diamanatkan UU No 17 Tahun 2014 Pasal 324 butir f yang berbunyi: ‘Anggota DPRD Provinsi berkewajiban menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintah daerah’ dan butir g yang berbunyi: ‘Anggota DPRD Provinsi berkewajiban menaati tata tertib dan kode etik’.
“Kami bersedia dan siap mendampingi calon-calon Komisioner yang merasa dizalimi untuk menggugat penetapan 7 nama Komisioner KPID Sumut periode 2021-2024 ke PN Medan. Ini soal keadilan yang mesti diperjuangkan dan hukum yang harus ditegakkan,” pungkasnya.(adz)