25 C
Medan
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

Memanfaatkan Pengolahan Limbah, EEI Gelar Pelatihan Eco Enzyme

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Komunitas pecinta dan penggiat lingkungan lintas profesi di Sumatera Utara (Sumut) yang tergabung di dalam Eco Enzyme Indonesia (EEI) menggelar pelatihan Eco Enzyme, di kebun pisang barangan merah Panabanana, Jalan Bunga Herba/ Ngumban Surbakti Medan, Rabu (9/2).

Acara digelar selama tiga hari, Rabu-Jumat, 9-11 Februari 2022, dengan dihadiri seribuan peserta, yang berasal dari Wilayah Sumatera Bagian Utara (Sumbagut), yakni Pekan Baru, Aceh, Dumai, Pematangsiantar, Medan, dan sebagainya. Dengan dihadiri Penggagas EEI, Vera Tan dari Batam, dan Pendiri/ Pemilik Bank Pohon serta Pendiri Sekolah Adiwiyata, Paris Sembiring, yang juga penerima penghargaan Kalpataru 2012.

Praktisi Pertanian Sumut, Jhon Sinaga mengatakan, pelatihan ini bertujuan agar komunitas peduli lingkungan lebih memahami cara mengolah dan mengaplikasikan eco enzyme ke tanaman, dengan mengundang khusus penggagas EEI, Vera Tan dari Batam, yang telah belajar langsung di Thailand. “Selama ini banyak didengar eco enzyme ini, tetapi masih kurang tepat, masih bau dan berulat,” katanya.

Selain itu, lanjutnya, juga untuk mengangkat harkat dan martabat petani. Apalagi saat ini, harga pupuk dan pestisida sudah mahal. “Nah, eco enzyme ini dari memanfaatkan pengolahan limbah rumah tangga, limbah restoran dan sebagainya. Setelah itu nanti menjadi pestisida nabati, pupuk organik cair dan padat. Sehingga petani tidak lagi membeli pupuk dan pestisida lainnya. Ini sangat membantu,” ujarnya.

Dijelaskannya, eco enzyme ini diolah sendiri, seperti pupuk kandang. Contohnya, seperti pohon pisang, setelah panen, maka disiram dengan eco enzyme dan bisa ditanam kembali dengan tumbuh banyak tunas, tentunya hasilnya semakin bagus. “Kita berharap dengan pelatihan ini agar pembuatan eco enzyme secara benar, mengaplikasikannya juga benar, terutama untuk pertanian dan kesehatan,” ungkapnya.

Dia berpesan agar masyarakat dapat memanfaatkan limbah basah dari yangbterkecil, yakni limbah dapur rumah tangga. “Kita rawat bumi kita dan kita rawat lingkungan kita,” imbaunya.

Menurut Jhon, eco enzyme tidak bisa dijual dengan klaim brand sendiri. Hal ini sudah terdaftar di PBB dan UNICEF. Sehingga, semua orang bisa membuatnya sendiri. Bahkan di luar negeri sudah maju dengan praktik pertanian menggunakan eco enzyme tersebut, seperti Thailand, India dan negara lainnya. “Untuk di Sumut sosialisasinya sudah 3 tahun lamanya dan sudah ribuan yang ikut dalam komunitas EEI ini,” pungkasnya.

Sementara itu, penggagas EEI, Vera Tan menjelaskan, dirinya mengikuti pelatihan eco enzyme selama 9 hari di Thailand, sebagai murid Doktor Rosukon Poompanvong. Pertama saya diajarin melihat jamur dan memakannya. Hari kedua diberikan membaca kamus tentang antibiotik, hari ketiga belajar terkait tambang selama tiga hari dan kemudian belajar terapi terkait puluhan produk menggunakan eco enzyme. Lalu dibawa ke kebun durian yang tidak laku.

Setelah menggunakan eco enzyme dan akhirnya menjadi kebun paling ngetop dengan harganya paling mahal. Akhirnya di hari ke delapan, diajarkan membuat jamur hingga panen. Lahannya dikelilingi pabrik kimia. “Namun meski keadaan lingkungannya seperti tetap bisa panen dengan hasil yang bagus berkat eco enzyme,” ujarnya.

Selain itu, Vera juga belajar dengan suami Doktor Joean tentang pupuk organik. “Saya juga dulu punya panti jompo. Berkat eco enzyme, akhirnya Panti Jompo miliknya tidak lagi menggunakan deterjen kimia. Kita hanya menggunakan eco enzyme, segala bau-baunya hilang, bahkan dapat mengobati penyakit kulit. Jadi bisa untuk kesehatan,” tuturnya.

Vera mengungkapkan, bahwa olahan eco enzyme untuk kesehatan dan rumah tangga atau pengganti deterjen berbeda dengan yang untuk tanaman. “Olahan eco enzyme dari saya, berasal dari kulit nenas, jambu, kulit jeruk dan difermentasikan dengan gula merah tebu,” bebernya.

Dalam hal ini, kata dia, lebih menyenangi masyarakat yang berminat belajar membuat eco enzyme tersebut, dibandingkan membeli dengan pihak yang mengolahnya. “Jika ada yang ingin membuatnya, kita semangat 45 melatihnya,” pungkasnya. (dwi/ila)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Komunitas pecinta dan penggiat lingkungan lintas profesi di Sumatera Utara (Sumut) yang tergabung di dalam Eco Enzyme Indonesia (EEI) menggelar pelatihan Eco Enzyme, di kebun pisang barangan merah Panabanana, Jalan Bunga Herba/ Ngumban Surbakti Medan, Rabu (9/2).

Acara digelar selama tiga hari, Rabu-Jumat, 9-11 Februari 2022, dengan dihadiri seribuan peserta, yang berasal dari Wilayah Sumatera Bagian Utara (Sumbagut), yakni Pekan Baru, Aceh, Dumai, Pematangsiantar, Medan, dan sebagainya. Dengan dihadiri Penggagas EEI, Vera Tan dari Batam, dan Pendiri/ Pemilik Bank Pohon serta Pendiri Sekolah Adiwiyata, Paris Sembiring, yang juga penerima penghargaan Kalpataru 2012.

Praktisi Pertanian Sumut, Jhon Sinaga mengatakan, pelatihan ini bertujuan agar komunitas peduli lingkungan lebih memahami cara mengolah dan mengaplikasikan eco enzyme ke tanaman, dengan mengundang khusus penggagas EEI, Vera Tan dari Batam, yang telah belajar langsung di Thailand. “Selama ini banyak didengar eco enzyme ini, tetapi masih kurang tepat, masih bau dan berulat,” katanya.

Selain itu, lanjutnya, juga untuk mengangkat harkat dan martabat petani. Apalagi saat ini, harga pupuk dan pestisida sudah mahal. “Nah, eco enzyme ini dari memanfaatkan pengolahan limbah rumah tangga, limbah restoran dan sebagainya. Setelah itu nanti menjadi pestisida nabati, pupuk organik cair dan padat. Sehingga petani tidak lagi membeli pupuk dan pestisida lainnya. Ini sangat membantu,” ujarnya.

Dijelaskannya, eco enzyme ini diolah sendiri, seperti pupuk kandang. Contohnya, seperti pohon pisang, setelah panen, maka disiram dengan eco enzyme dan bisa ditanam kembali dengan tumbuh banyak tunas, tentunya hasilnya semakin bagus. “Kita berharap dengan pelatihan ini agar pembuatan eco enzyme secara benar, mengaplikasikannya juga benar, terutama untuk pertanian dan kesehatan,” ungkapnya.

Dia berpesan agar masyarakat dapat memanfaatkan limbah basah dari yangbterkecil, yakni limbah dapur rumah tangga. “Kita rawat bumi kita dan kita rawat lingkungan kita,” imbaunya.

Menurut Jhon, eco enzyme tidak bisa dijual dengan klaim brand sendiri. Hal ini sudah terdaftar di PBB dan UNICEF. Sehingga, semua orang bisa membuatnya sendiri. Bahkan di luar negeri sudah maju dengan praktik pertanian menggunakan eco enzyme tersebut, seperti Thailand, India dan negara lainnya. “Untuk di Sumut sosialisasinya sudah 3 tahun lamanya dan sudah ribuan yang ikut dalam komunitas EEI ini,” pungkasnya.

Sementara itu, penggagas EEI, Vera Tan menjelaskan, dirinya mengikuti pelatihan eco enzyme selama 9 hari di Thailand, sebagai murid Doktor Rosukon Poompanvong. Pertama saya diajarin melihat jamur dan memakannya. Hari kedua diberikan membaca kamus tentang antibiotik, hari ketiga belajar terkait tambang selama tiga hari dan kemudian belajar terapi terkait puluhan produk menggunakan eco enzyme. Lalu dibawa ke kebun durian yang tidak laku.

Setelah menggunakan eco enzyme dan akhirnya menjadi kebun paling ngetop dengan harganya paling mahal. Akhirnya di hari ke delapan, diajarkan membuat jamur hingga panen. Lahannya dikelilingi pabrik kimia. “Namun meski keadaan lingkungannya seperti tetap bisa panen dengan hasil yang bagus berkat eco enzyme,” ujarnya.

Selain itu, Vera juga belajar dengan suami Doktor Joean tentang pupuk organik. “Saya juga dulu punya panti jompo. Berkat eco enzyme, akhirnya Panti Jompo miliknya tidak lagi menggunakan deterjen kimia. Kita hanya menggunakan eco enzyme, segala bau-baunya hilang, bahkan dapat mengobati penyakit kulit. Jadi bisa untuk kesehatan,” tuturnya.

Vera mengungkapkan, bahwa olahan eco enzyme untuk kesehatan dan rumah tangga atau pengganti deterjen berbeda dengan yang untuk tanaman. “Olahan eco enzyme dari saya, berasal dari kulit nenas, jambu, kulit jeruk dan difermentasikan dengan gula merah tebu,” bebernya.

Dalam hal ini, kata dia, lebih menyenangi masyarakat yang berminat belajar membuat eco enzyme tersebut, dibandingkan membeli dengan pihak yang mengolahnya. “Jika ada yang ingin membuatnya, kita semangat 45 melatihnya,” pungkasnya. (dwi/ila)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/