25 C
Medan
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

Kasus Dugaan Kartel Minyak Goreng: KPPU Temukan Alat Bukti

SUMUTPOS.CO – Dugaan praktik kartel minyak goreng (Migor) bukan isapan jempol belaka. Tim Investigasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), akhirnya menemukan satu alat bukti dalam proses penegakan hukum terkait penjualan atau distribusi minyak goreng nasional. Untuk itu, kasus ini akan dinaikkan ke tahap penyelidikan.

“Melalui temuan tersebut, mulai pekan ini, status penegakan hukum telah dapat ditingkatkan pada tahapan penyelidikan,” kata Direktur Investigasi KPPU, Gopprera Panggabean, Senin (28/3).

Gopprera mengatakan, alat bukti tersebut yakni berkaitan dengan dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, khususnya yang berkaitan dengan pasal 5 mengenai penetapan harga, pasal 11 mengenai kartel, dan pasal 19 huruf C mengenai penguasaan pasar melalui pembatasan peredaran barang/jasa.

KPPU telah mulai melakukan proses penegakan hukum sejak 26 Januari 2022 guna menemukan alat bukti adanya dugaan pelanggaran UU Nomor 5 Tahun 199 dalam permasalahan lonjakan harga minyak goreng sejak akhir tahun 2021. Langkah itu sesuai rekomendasi dari kajian yang dilaksanakan KPPU. Dalam proses awal penegakan hukum, tim investigasi telah mengundang dan meminta data serta keterangan dari sekitar 44 pihak terkait. Khususnya produsen, distributor, asosiasi, pemerintah, perusahaan pengemasan dan pelaku ritel.

Melalui proses tersebut, ia mengatakan, tim investigasi akhirnya telah menemukan satu alat bukti yang memperkuat adanya dugaan pelanggaran undang-undang. “Proses penyelidikan dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 60 hari kerja dan dapat diperpanjang,” kata dia.

Gopprera mengatakan, penyelidikan akan difokuskan pada pemenuhan unsur dugaan pasal yang dilanggar, penetapan identitas Terlapor, dan pencarian minimal satu alat bukti tambahan. Dalam hal penyelidikan, jika KPPU dapat menyimpulkan dugaan unsur pasal yang dilanggar dan memperoleh minimal dua alat bukti, maka proses penegakan hukum dapat diteruskan ke tahapan Pemeriksaan Pendahuluan oleh Sidang Majelis Komisi.

“Melalui proses Sidang Majelis, KPPU dapat menjatuhkan sanksi administratif berupa denda hingga maksimal 50 persen dari keuntungan yang diperoleh terlapor dari pelanggaran, atau maksimal 10 persen dari penjualan terlapor di pasar bersangkutan,” katanya.

Gopprera mengaku tak bisa memberitahu secara detail apa bukti yang sudah dipegang mereka. Namun, dikutip dari detikcom, Gopprera memberikan informasi soal temuan yang terjadi pada tata niaga minyak goreng sehingga muncul adanya dugaan kartel dalam investigasi yang dilakukan.

Dugaan kartel sendiri menurut Gopprera terjadi karena adanya dugaan kesamaan perilaku antara produsen minyak goreng. Gopprera menduga kesamaan itu didasari atas sebuah perjanjian antar pengusaha. Hal itu terlihat dari stok minyak goreng yang tiba-tiba hilang di pasar secara bersamaan pada saat aturan HET minyak goreng ditegakkan.

“Kami melihat telah terjadi dugaan perjanjian pengaturan produksi. Barang sempat hilang di masa adanya HET. Bisa dilihat kemarin, hampir semua merek ini menghilang saat ada aturan HET. Laporan dari ritel juga mereka mengaku permintaan barang tidak bisa dipenuhi,” ungkap Gopprera.

Namun, ketika HET dicabut barang-barang kembali muncul di pasar secara bersamaan sehari setelahnya. Menurutnya, keterangan dari para peritel biasanya pengadaan barang di ritel tak bisa dilakukan dalam waktu cepat. “Kemudian paska HET dicabut kok tahu-tahu ada, laporan dari peritel itu langsung hari itu juga. Padahal, sistem pengadaan barang di ritel tidak bisa secepat itu,” ujarnya.

Dia mengatakan kondisi ini seperti menyiratkan adanya perjanjian antara para produsen untuk menahan stok minyak gorengnya untuk membuat kestabilan harga. Dugaan kartel ini melanggar Pasal 11 UU No 5 tahun 1999. Dalam undang-undang disebutkan pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lainnya untuk mendapatkan keuntungan. “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat,” bunyi pasal 11.

Lalu berdasarkan bukti historis dan beberapa pengakuan dari pihak yang dimintai keterangan, Gopprera mengatakan pihaknya menduga ada pengaturan harga minyak goreng yang dilakukan para produsen. “Kami juga melihat ada dugaan price fixing berdasarkan bukti keterangan dari berbagai pihak yang diperiksa dan data historis, diduga ada pergerakan harga yang sama yang dilakukan produsen,” ujar Gopprera.

Soal dugaan pengaturan harga sendiri, Gopprera mengatakan, hal itu melanggar pasal 5 pada UU No 5 tahun 1999. “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama,” bunyi pasal 5 ayat 1 undang-undang tersebut.

Dalam keterangan KPPU sendiri, apabila dugaan-dugaan yang timbul ini terbukti dilakukan maka sanksinya akan sangat berat. KPPU dapat menjatuhkan sanksi administratif berupa denda. Besarannya, maksimal 50% dari keuntungan yang diperoleh terlapor dari pelanggaran, atau maksimal 10% dari penjualan terlapor di pasar bersangkutan.

Upaya KPPU ini didukung Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Mereka mendorong KPPU untuk terus melakukan dan menuntaskan penyelidikan terkait dugaan kartel minyak goreng. Pasalnya, sejak awal, YLKI sudah menduga adanya potensi praktik kartel minyak goreng yang membuat harga makin tinggi. “YLKI tentu berharap agar temuan-temuan KPPU segera ditindaklanjuti sesuai kewenangannya,” kata Sekretaris YLKI, Agus Suyatno Senin (28/3).

YLKI pun berharap agar nantinya KPPU tidak berhenti pada sanksi administrasi. KPPU dapat bekerja sama dengan pihak-pihak terkait untuk merambah lebih jauh persoalan minyak goreng sehingga dapat diketahui pihak yang paling bertanggung jawab dalam persoalan minyak goreng. “Ini yang kita harapkan sehingga nantinya bisa mengembalikan minyak goreng yang tadinya langkah dan mahal menjadi sesuai dengan harapan masyarakat,” ujarnya.

Agus menambahkan, dugaan publik terhadap adanya penimbunan minyak goreng pada saat kelangkaan beberapa waktu lalu juga cukup wajar. Sebabnya, setelah pemerintah melepaskan harga minyak goreng kemasan sesuai harga keekonomian, pasokan minyak goreng, terutama di ritel modern kembali penuh. “Harga begitu dilepas kok tiba-tiba rak-rak di ritel penuh. Ini harus ditelusuri dan berikan sanksi siapa sebetulnya penimbun minyak goreng ini,” kata dia.

Menurut Agus, meskipun pasokan saat ini sudah kembali membanjiri ritel, harga yang diterima masyarakat sangat memberatkan karena tembus hingga Rp24 ribu per liter. Itu adalah konsekuensi dari kebijakan Kementerian Perdagangan yang malah melepaskan harga ke pasar. Apalagi, selisih dengan harga minyak goreng curah terpaut Rp 10 ribu karena HET curah hanya Rp14 ribu. Menurut Agus, disparitas harga yang terlalu lebar itu pun membuat perdagangan minyak goreng jadi tidak sehat.

Sementara, Satuan Tugas (Satgas) Pangan Bareskrim Mabes Polri, menyatakan akan secepatnya berkordinasi dengan KPPU terkait temuan bukti dugaan praktik kartel, dan permafian minyak goreng. Kepala Satgas Pangan, Inspektur Jenderal (Irjen) Helmy Santika mengatakan, hasil investigasi dari KPPU tersebut, merupakan temuan baru mengenai persoalan minyak goreng, yang patut dipelajari untuk proses penegakan hukum lanjutan. “Satgas Pangan Polri akan berkordinasi dengan KPPU, untuk mempelajari temuan bukti-bukti tersebut,” kata Helmy kepada Republika, Senin (28/3).

Ia mengatakan, timnya di Satgas Pangan, memang belum menerima hasil resmi investigasi KPPU tersebut. Akan tetapi, dikatakan Helmy, jika lembaga pengawas perdagangan tersebut menemukan bukti-bukti kuat atas dugaan pelanggaran hukum, maupun tindak pidana menyangkut minyak goreng, kordinasi dengan Satgas Pangan, akan diperluas melibatan tim penyidik dari Direktorat Tindak Pidana Khusus (Dir Tipideksus) Polri. “Saya akan sampaikan temuan itu, ke pen-yidik Dir Eksus Bareskrim untuk itu,” ujar dia.

Lewat proses hukum terpisah, pada pekan lalu, Kejaksaan Agung (Kejakgung) menjanjikan untuk meningkatkan status penyelidikan menjadi penyidikan terkait dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak goreng. Tim penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) sudah menemukan adanya bukti-bukti perbuatan pidana terkait dengan penyimpangan fasilitas ekspor minyak goreng kepada sejumlah pihak-pihak swasta selaku produsen.

“Beberapa perusahaan yang diberikan fasilitas ekspor minyak goreng tahun 2021-2022, menyalahgunakan, dan tidak melaksanakan persyaratan, dan ketentuan aturan pemerintah yang berpotensi menimbulkan kerugian negara, dan perekonomian negara,” begitu kata Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung, Ketut Sumedana dalam pernyataan resmi Kejakgung, Jakarta, Jumat (25/3).“Tim penyelidik dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, akan mengambil sikap menentukan proses selanjutnya ke penyidikan, paling lambat awal April 2022,” sambung Ketut.

Ketut menerangkan, dari sejumlah telaah regulasi, dan fakta lapangan dari hasil penyelidikan, tim menemukan alur kronologis dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh sejumlah produsen minyak goreng. Dugaan tindak pidana tersebut, disinyalir menjadi salah satu penyebab pelembangun harga tinggi, dan kelangkaan minyak goreng di masyarakat dalam beberapa pekan terakhir.

Ketut memaparkan, pada 10 Februari 2022, Mendag menerbitkan aturan nomor 129/2022. Isinya tentang Penetapan Jumlah untuk Distribusi Keburuhan Dalam Negeri (DMO), dan Harga Penjualan Dalam Negeri (DPO). Atas regulasi tersebut, para eksportir CPO dan turunannya, yang mendapatkan persetujuan ekspor sebelum aturan tersebut diterbitkan, harus melakukan kewajiban pendistribusian kebutuhan DMO, dengan turut melampirkan bukti kontrak dengan distributor, purchase order, delivery order (DO). (rep/dtf)

SUMUTPOS.CO – Dugaan praktik kartel minyak goreng (Migor) bukan isapan jempol belaka. Tim Investigasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), akhirnya menemukan satu alat bukti dalam proses penegakan hukum terkait penjualan atau distribusi minyak goreng nasional. Untuk itu, kasus ini akan dinaikkan ke tahap penyelidikan.

“Melalui temuan tersebut, mulai pekan ini, status penegakan hukum telah dapat ditingkatkan pada tahapan penyelidikan,” kata Direktur Investigasi KPPU, Gopprera Panggabean, Senin (28/3).

Gopprera mengatakan, alat bukti tersebut yakni berkaitan dengan dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, khususnya yang berkaitan dengan pasal 5 mengenai penetapan harga, pasal 11 mengenai kartel, dan pasal 19 huruf C mengenai penguasaan pasar melalui pembatasan peredaran barang/jasa.

KPPU telah mulai melakukan proses penegakan hukum sejak 26 Januari 2022 guna menemukan alat bukti adanya dugaan pelanggaran UU Nomor 5 Tahun 199 dalam permasalahan lonjakan harga minyak goreng sejak akhir tahun 2021. Langkah itu sesuai rekomendasi dari kajian yang dilaksanakan KPPU. Dalam proses awal penegakan hukum, tim investigasi telah mengundang dan meminta data serta keterangan dari sekitar 44 pihak terkait. Khususnya produsen, distributor, asosiasi, pemerintah, perusahaan pengemasan dan pelaku ritel.

Melalui proses tersebut, ia mengatakan, tim investigasi akhirnya telah menemukan satu alat bukti yang memperkuat adanya dugaan pelanggaran undang-undang. “Proses penyelidikan dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 60 hari kerja dan dapat diperpanjang,” kata dia.

Gopprera mengatakan, penyelidikan akan difokuskan pada pemenuhan unsur dugaan pasal yang dilanggar, penetapan identitas Terlapor, dan pencarian minimal satu alat bukti tambahan. Dalam hal penyelidikan, jika KPPU dapat menyimpulkan dugaan unsur pasal yang dilanggar dan memperoleh minimal dua alat bukti, maka proses penegakan hukum dapat diteruskan ke tahapan Pemeriksaan Pendahuluan oleh Sidang Majelis Komisi.

“Melalui proses Sidang Majelis, KPPU dapat menjatuhkan sanksi administratif berupa denda hingga maksimal 50 persen dari keuntungan yang diperoleh terlapor dari pelanggaran, atau maksimal 10 persen dari penjualan terlapor di pasar bersangkutan,” katanya.

Gopprera mengaku tak bisa memberitahu secara detail apa bukti yang sudah dipegang mereka. Namun, dikutip dari detikcom, Gopprera memberikan informasi soal temuan yang terjadi pada tata niaga minyak goreng sehingga muncul adanya dugaan kartel dalam investigasi yang dilakukan.

Dugaan kartel sendiri menurut Gopprera terjadi karena adanya dugaan kesamaan perilaku antara produsen minyak goreng. Gopprera menduga kesamaan itu didasari atas sebuah perjanjian antar pengusaha. Hal itu terlihat dari stok minyak goreng yang tiba-tiba hilang di pasar secara bersamaan pada saat aturan HET minyak goreng ditegakkan.

“Kami melihat telah terjadi dugaan perjanjian pengaturan produksi. Barang sempat hilang di masa adanya HET. Bisa dilihat kemarin, hampir semua merek ini menghilang saat ada aturan HET. Laporan dari ritel juga mereka mengaku permintaan barang tidak bisa dipenuhi,” ungkap Gopprera.

Namun, ketika HET dicabut barang-barang kembali muncul di pasar secara bersamaan sehari setelahnya. Menurutnya, keterangan dari para peritel biasanya pengadaan barang di ritel tak bisa dilakukan dalam waktu cepat. “Kemudian paska HET dicabut kok tahu-tahu ada, laporan dari peritel itu langsung hari itu juga. Padahal, sistem pengadaan barang di ritel tidak bisa secepat itu,” ujarnya.

Dia mengatakan kondisi ini seperti menyiratkan adanya perjanjian antara para produsen untuk menahan stok minyak gorengnya untuk membuat kestabilan harga. Dugaan kartel ini melanggar Pasal 11 UU No 5 tahun 1999. Dalam undang-undang disebutkan pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lainnya untuk mendapatkan keuntungan. “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat,” bunyi pasal 11.

Lalu berdasarkan bukti historis dan beberapa pengakuan dari pihak yang dimintai keterangan, Gopprera mengatakan pihaknya menduga ada pengaturan harga minyak goreng yang dilakukan para produsen. “Kami juga melihat ada dugaan price fixing berdasarkan bukti keterangan dari berbagai pihak yang diperiksa dan data historis, diduga ada pergerakan harga yang sama yang dilakukan produsen,” ujar Gopprera.

Soal dugaan pengaturan harga sendiri, Gopprera mengatakan, hal itu melanggar pasal 5 pada UU No 5 tahun 1999. “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama,” bunyi pasal 5 ayat 1 undang-undang tersebut.

Dalam keterangan KPPU sendiri, apabila dugaan-dugaan yang timbul ini terbukti dilakukan maka sanksinya akan sangat berat. KPPU dapat menjatuhkan sanksi administratif berupa denda. Besarannya, maksimal 50% dari keuntungan yang diperoleh terlapor dari pelanggaran, atau maksimal 10% dari penjualan terlapor di pasar bersangkutan.

Upaya KPPU ini didukung Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Mereka mendorong KPPU untuk terus melakukan dan menuntaskan penyelidikan terkait dugaan kartel minyak goreng. Pasalnya, sejak awal, YLKI sudah menduga adanya potensi praktik kartel minyak goreng yang membuat harga makin tinggi. “YLKI tentu berharap agar temuan-temuan KPPU segera ditindaklanjuti sesuai kewenangannya,” kata Sekretaris YLKI, Agus Suyatno Senin (28/3).

YLKI pun berharap agar nantinya KPPU tidak berhenti pada sanksi administrasi. KPPU dapat bekerja sama dengan pihak-pihak terkait untuk merambah lebih jauh persoalan minyak goreng sehingga dapat diketahui pihak yang paling bertanggung jawab dalam persoalan minyak goreng. “Ini yang kita harapkan sehingga nantinya bisa mengembalikan minyak goreng yang tadinya langkah dan mahal menjadi sesuai dengan harapan masyarakat,” ujarnya.

Agus menambahkan, dugaan publik terhadap adanya penimbunan minyak goreng pada saat kelangkaan beberapa waktu lalu juga cukup wajar. Sebabnya, setelah pemerintah melepaskan harga minyak goreng kemasan sesuai harga keekonomian, pasokan minyak goreng, terutama di ritel modern kembali penuh. “Harga begitu dilepas kok tiba-tiba rak-rak di ritel penuh. Ini harus ditelusuri dan berikan sanksi siapa sebetulnya penimbun minyak goreng ini,” kata dia.

Menurut Agus, meskipun pasokan saat ini sudah kembali membanjiri ritel, harga yang diterima masyarakat sangat memberatkan karena tembus hingga Rp24 ribu per liter. Itu adalah konsekuensi dari kebijakan Kementerian Perdagangan yang malah melepaskan harga ke pasar. Apalagi, selisih dengan harga minyak goreng curah terpaut Rp 10 ribu karena HET curah hanya Rp14 ribu. Menurut Agus, disparitas harga yang terlalu lebar itu pun membuat perdagangan minyak goreng jadi tidak sehat.

Sementara, Satuan Tugas (Satgas) Pangan Bareskrim Mabes Polri, menyatakan akan secepatnya berkordinasi dengan KPPU terkait temuan bukti dugaan praktik kartel, dan permafian minyak goreng. Kepala Satgas Pangan, Inspektur Jenderal (Irjen) Helmy Santika mengatakan, hasil investigasi dari KPPU tersebut, merupakan temuan baru mengenai persoalan minyak goreng, yang patut dipelajari untuk proses penegakan hukum lanjutan. “Satgas Pangan Polri akan berkordinasi dengan KPPU, untuk mempelajari temuan bukti-bukti tersebut,” kata Helmy kepada Republika, Senin (28/3).

Ia mengatakan, timnya di Satgas Pangan, memang belum menerima hasil resmi investigasi KPPU tersebut. Akan tetapi, dikatakan Helmy, jika lembaga pengawas perdagangan tersebut menemukan bukti-bukti kuat atas dugaan pelanggaran hukum, maupun tindak pidana menyangkut minyak goreng, kordinasi dengan Satgas Pangan, akan diperluas melibatan tim penyidik dari Direktorat Tindak Pidana Khusus (Dir Tipideksus) Polri. “Saya akan sampaikan temuan itu, ke pen-yidik Dir Eksus Bareskrim untuk itu,” ujar dia.

Lewat proses hukum terpisah, pada pekan lalu, Kejaksaan Agung (Kejakgung) menjanjikan untuk meningkatkan status penyelidikan menjadi penyidikan terkait dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak goreng. Tim penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) sudah menemukan adanya bukti-bukti perbuatan pidana terkait dengan penyimpangan fasilitas ekspor minyak goreng kepada sejumlah pihak-pihak swasta selaku produsen.

“Beberapa perusahaan yang diberikan fasilitas ekspor minyak goreng tahun 2021-2022, menyalahgunakan, dan tidak melaksanakan persyaratan, dan ketentuan aturan pemerintah yang berpotensi menimbulkan kerugian negara, dan perekonomian negara,” begitu kata Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung, Ketut Sumedana dalam pernyataan resmi Kejakgung, Jakarta, Jumat (25/3).“Tim penyelidik dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, akan mengambil sikap menentukan proses selanjutnya ke penyidikan, paling lambat awal April 2022,” sambung Ketut.

Ketut menerangkan, dari sejumlah telaah regulasi, dan fakta lapangan dari hasil penyelidikan, tim menemukan alur kronologis dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh sejumlah produsen minyak goreng. Dugaan tindak pidana tersebut, disinyalir menjadi salah satu penyebab pelembangun harga tinggi, dan kelangkaan minyak goreng di masyarakat dalam beberapa pekan terakhir.

Ketut memaparkan, pada 10 Februari 2022, Mendag menerbitkan aturan nomor 129/2022. Isinya tentang Penetapan Jumlah untuk Distribusi Keburuhan Dalam Negeri (DMO), dan Harga Penjualan Dalam Negeri (DPO). Atas regulasi tersebut, para eksportir CPO dan turunannya, yang mendapatkan persetujuan ekspor sebelum aturan tersebut diterbitkan, harus melakukan kewajiban pendistribusian kebutuhan DMO, dengan turut melampirkan bukti kontrak dengan distributor, purchase order, delivery order (DO). (rep/dtf)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/