SUMUTPOS.CO – KEBIJAKAN Merdeka Belajar merupakan langkah untuk mentransformasi pendidikan demi terwujudnya Sumber Daya Manusia (SDM) Unggul yang memiliki Profil Pelajar Pancasila. Tak hanya berhenti di situ, untuk menuju generasi emas Indonesia pada tahun 2045, pendidikan berkualitas butuh kontribusi dari semua aspek.
“Keluarga, guru, institusi juga ikut. Begitu juga dunia usaha atau industri dan masyarakat secara umum,” kata Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Republik Indonesia, Wikan Sakarinto.
Pada sesi webinar Fellowship Jurnalis Pendidikan Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (FJP
GWPP) Batch IV, Senin (28/3) Wikan mengungkapkan bahwa membangun ‘link and match’ antara guru, satuan pendidikan, dan industri harus baik. Bukan sekadar tanda tangan kerja sama, tetapi juga perlu pengembangan kurikulum bersama.
Menututnya, peserta didik bukan hanya belajar teknis pengerjaan sesuatu, melainkan juga pembangunan mindset yang diharapkan dapat bermanfaat dalam jangka panjang. Data Asian Productivity Organization (APO) menampilkan bahwa Indonesia mengalami penurunan tingkat produktivitas sejak 1970 hingga 2018 lalu. Skor Indonesia terus mengalami kenaikan sejak 2013 hingga 2020.
Yaitu dari 0,69 menjadi 0,72. Namun, peringkat Indonesia tersebut masih butuh perbaikan. Saat ini, Indonesia berada di urutan 111 dari 189 negara atau peringkat ke-6 di ASEAN.
Menurut Wikan pada sesi yang diselenggarakan secara daring ini, jika kita ingin naik peringkat, usaha perbaikan harus dilakukan bersama-sama yang mencangkup segala lini aspek pendidikan dan stakeholder terkait.
“Keluarga, guru, institusi juga ikut. Begitu juga dunia usaha atau industri, kemudian masyarakat secara meluas juga ikut andil membangun mindset demi tujuan berasama. Kolaborasi ini menjadi faktor yang sangat penting, apalagi dalam pendidikan vokasi.
– Apa itu Kurikulum Merdeka?
Pembelajaran gaya lama di Indonesia mengadopsi konsep pembelajaran di Jerman era 1970-an.Sementara, di negeri Panzer itu, kini sudah mereformasi gaya itu dan Indonesia justru masih menerapkan pola yang sama memakai gaya lama di Jerman.
Masih pada penjelasan materi yang dibawakan oleh Wikan, konsep Merdeka Belajar menawarkan solusi untuk mencetak peserta didik sesuai minat serta bakat dari masing-masing siswa. Kurikulum merdeka belajar butuh sosok guru yang revolusioner.
Seperti contoh di lingkup SMK dan Vokasi. Selama ini SMK mendapat stigma sebagai lembaga pencetak tukang alias pekerja. Ini menjadi tantangan besar pemerintah dalam
mengubah citra pendidikan itu. Wikan juga mengatakan fungsi guru hari ini harusnya sudah berubah. Dari tadinya guru merupakan sosok yang ditakuti dan dihormati, kini sudah harus mengubah fungsinya menjadi seorang fasilitator atau coach. Sekat-sekat dalam dunia pendidikan sudah harus dijebol.
Sosok guru sebagai fasilitator ini nanti akan selaras dalam penerapan kegiatan belajar sesuai kurikulum baru yang berbasis pada project based learning atau Teaching Factory (TeFa). Penerapan TeFa di SMK ini nantinya akan berfokus pada pembelajaran terhadap siswa didik untuk menciptakan produk atau jasa sesuai minat dan bakatnya masingmasing.
”Jadi nanti sejak kelas dua itu dia sudah kita beri tanggung jawab untuk mengerjakan projek. Project riil (nyata) atas permintaan konsumen betulan. Siswa sendiri yang nyari konsumen. Dari situlah dia belajar dan memperkaya pengalaman,” jelas Dirjen Pendidikan Vokasi.
Mengutip pada situs ditsmp.kemdikbud.go.id bahwa situasi pandemi membuat banyak sekali perubahan di berbagai sektor, salah satunya adalah pendidikan. Masa pandemi Covid-19 merupakan sebuah kondisi khusus yang menyebabkan ketertinggalan pembelajaran atau learning loss yang berbeda-beda pada ketercapaian kompetensi peserta didik.
Melihat berbagai tantangan yang terjadi, Kemendikbudristek yang dipimpin oleh Nadiem Makarim mencoba untuk melakukan upaya pemulihan pembelajaran. Salah satu upaya yang dilakukan Kemendikbudristek guna mengatasi permasalahan yang ada ialah mencanangkan Kurikulum Merdeka.
Kurikulum Merdeka baru akan dijadikan kurikulum nasional pada tahun 2024 mendatang. Namun, untuk saat ini Kurikulum Merdeka baru menjadi opsi bagi satuan pendidikan. Jadi kesimpulannya Kurikulum Merdeka bukanlah kurikulum yang wajib diterapkan satuan pendidikan untuk saat ini.
– Apa Pandangan Kampus Mengenai Kurikulum Merdeka ?
Rektor Universitas Asahan, Tri Harsono melalui Wakil Rektor Bidang Akedemik, Sri Rahayu bercerita santai mengenai Kurikulum Merdeka yang diwacanakan diterapkan secara nasional pada tahun 2024.
Ayu mengatakan (1/4) bahwa program tersebut sangat bagus karena membuka wawasan mahasiswa dalam mempelajari sesuai bakat dan membentuk softskill mahasiswa yang akan membentuk sebuah karakter.
“Perubahan mindside terkait kompetensi selayaknya dimiliki mahasiswa. Tidak hanya keilmuan yang di pelajarinya namun keilmuan bidang lain yang mungkin diminati mahasiswa. Hal tersebut dapat menopang keilmuan serta karya nyata mahasiswa,” terang
Wakil Rektor 1.
– Pendapat Masyarakat
Perwakilan suara masyarakat yang juga orang tua dari peserta didik, Titin mengatakan (1/4) bahwa semenjak Rencana UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) mencuat, sebagian kelompok masyarakat menjadi dilema. Masyarakat dimaksud beranggapan sekolah yang berjenis Madrasah, Tsanawiyah, Aliyah, juga Pesantren tidak ada disebutkan pada RUU tersebut.
“Kami anggap itu adalah upaya untuk mengkerdilkan tingkatan dunia pendidikan itu. Kami mengkhawatirkan satuan pendidikan yang terfokus pada pendidikan agama itu hilang,” ucap tokoh masyarakat Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara yang sudah menyelesaikan Rukun Islam ke-5.
Ketua Himpunan Sekolah dan Madrasah Islam Nusantara, Arifin Junaidi mengatakan, alih-alih memperkuat integrasi sekolah dengan madrasah, draft RUU Sisdiknas malah menghapus penyebutan madrasah. Padahal, menurut dia, madrasah merupakan bagian penting dalam sistem pendidikan nasional.
“Alih-alih memperkuat integrasi sekolah dan madrasah, draft RUU Sisdiknas malah menghapus penyebutan madrasah,” ujar Arifin dalam siaran pers bersama Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI), Kamis (24/3).
Pada sumber yang sama juga disebutkan penjelasan dari Mendikbudristek, Nadiem Anwar Makarim mengungkapkan pihak Kementerian tidak ada keinginan untuk menghapus madrasah, sekolah, atau bentuk-bentuk satuan pendidikan lain dari sistem pendidikan nasional (sisdiknas). Menurut dia, hal itu tidak masuk akal dan tak pernah terpikirkan oleh Kemendikbudristek. (dat/azw)