29 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

PPATK Blokir 300 Rekening ACT

SUMUTPOS.CO – Pemblokiran rekening terkait Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) belum berhenti. PPATK kembali menghentikan sementara transaksi yang terafiliasi dengan yayasan filantropis tersebut. Total transaksi yang dibekukan saat ini sebanyak 141 customer information file (CIF) di lebih dari 300 rekening milik ACT. Ratusan rekening itu tersebar di 41 penyedia jasa keuangan atau perbankan.

Pemblokiran transaksi itu merupakan tindak lanjut upaya PPATK menelusuri indikasi penyalahgunaan dana bantuan kemanusiaan yang dikelola ACT. Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana menyatakan, sesuai ketentuan perundang-undangan, pihaknya dapat melakukan penelusuran atau melakukan analisis hingga pemeriksaan terhadap persoalan transaksi keuangan tersebut.

Ivan membeberkan, penghimpunan dan penyaluran bantuan harus dikelola secara akuntabel. Lembaga sosial yang menerima dana dari masyarakat harus memitigasi segala risiko yang terjadi dalam sepanjang proses penghimpunan maupun penyalurannya. Yakni, dengan cara mengenali pemberi (know your donor) dan mengenali penerima (know your beneficiary).

Saat ini, PPATK mencatat transaksi dari ACT ke luar negeri sebesar Rp52,9 miliar. Sementara dana yang masuk dari luar negeri ke rekening ACT sebesar Rp64,9 miliar. Perputaran dana itu berlangsung selama periode 2014 hingga Juli tahun ini. PPATK menyebut, ada beberapa negara yang menjadi tujuan penyaluran dana ACT. Sebut saja Turki, Inggris, Amerika Serikat, dan Malaysia.

Polisi Lacak Aliran Dana yang Dikelola ACT

Polri masih menyelidiki kasus dugaan penggelapan dana Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT). Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan menyampaikan, instansinya masih fokus menyelidiki dugaan pelanggaran yang dilakukan pendiri Yayasan ACT Ahyuddin dan Ketua Pengurus Yayasan ACT Ibnu Khajar. Hasil penyelidikan sejauh ini, Ramadhan menyatakan, Yayasan ACT sempat mendapat kepercayaan untuk menyalurkan dana corporate social responsibility (CSR) dari perusahaan asal Amerika Serikat, Boeing.

Itu dilakukan sebagai salah satu bentuk tanggung jawab pasca kecelakaan pesawat Boeing yang dioperasikan Lion Air. Berdasar data Jawa Pos, pesawat yang dimaksud adalah JT-610. Melalui ACT, Boeing menyerahkan dana CSR untuk ahli waris korban kecelakaan tersebut. “Namun, pada pelaksanaan penyaluran dana sosial atau CSR tersebut, para ahli waris tidak diikutsertakan dalam penyusunan rencana maupun pelaksanaan penggunaan dana,” beber Ramadhan, Sabtu (9/7).

Selain itu, Yayasan ACT tidak memberi tahu besaran dana CSR yang diberikan Boeing untuk para ahli waris. Demikian pula dengan pengelolaan serta penggunaan dana tersebut. Berdasar data yang diperoleh Polri, nilai total CSR yang dipercayakan Boeing kepada Yayasan ACT mencapai Rp138 miliar.

Dalam realisasinya, Yayasan ACT dinilai kurang terbuka. “Yayasan ACT tidak memberitahukan realisasi jumlah dana sosial atau CSR yang diterima dari pihak Boeing kepada ahli waris korban,” jelas Ramadhan. “Termasuk nilai serta progres pekerjaan yang dikelola Yayasan ACT,” tambah dia.

Karena itu, Yayasan ACT diduga tidak merealisasikan dan menggunakan seluruh dana CSR dari Boeing dan memanfaatkannya untuk urusan lain. “Pembayaran gaji ketua, pengurus, pembina, serta staf pada Yayasan ACT,” tegas Ramadhan.

Lebih dari itu, dana tersebut juga digunakan untuk menunjang fasilitas dan aktivitas pribadi Ahyuddin dan wakilnya. Jenderal bintang satu Polri itu pun mengungkapkan, Yayasan ACT tidak hanya diberi kepercayaan mengelola dana CSR oleh Boeing. Mereka juga mengelola CSR dari beberapa perusahaan. Kemudian, mengelola donasi dari masyarakat dan berbagai lembaga serta instansi level nasional maupun internasional.

Secara keseluruhan, lanjut Ramadhan, setiap bulan Yayasan ACT memperoleh donasi sekitar Rp60 miliar. “Dan langsung dipangkas atau dipotong pihak Yayasan ACT sebesar 10–20 persen,” jelas dia. Bila dirupiahkan, nilainya mencapai Rp6 miliar hingga Rp12 miliar. “Untuk keperluan pembayaran gaji pengurus dan seluruh karyawan,” tambahnya.

Pasal yang diduga dilanggar pihak-pihak terkait adalah pasal penggelapan dan atau penggelapan dalam jabatan, pasal pidana informasi dan transaksi elektronik, serta pasal tindak pidana yayasan dan atau tindak pidana pencucian uang. Di antaranya, Pasal 372 KUHP, Pasal 374 KUHP, dan Pasal 3, 4, serta 5 UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

Terungkapnya indikasi penyimpangan dana sumbangan di Yayasan ACT terus menjadi sorotan banyak pihak. Salah satunya, Sekretaris Umum Muhammadiyah Abdul Mu’ti. Dia menyebut kasus ACT bisa menjadi pintu masuk untuk membuat regulasi pengawasan aktivitas lembaga filantropi di Indonesia.

Mu’ti menyebutkan, hingga saat ini pengelolaan dana umat tidak diawasi lembaga khusus atau peraturan perundang-undangan. Sangat mungkin itulah yang membuat lembaga filantropi seakan bebas dan merasa tidak bersalah menggunakan dana umat untuk kebutuhan lain di luar kepentingan kemanusiaan.

Mu’ti membandingkan lembaga pengelola keuangan hingga bisnis yang diawasi secara ketat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menurut dia, metode pengawasan berlapis-lapis semacam itu bisa diterapkan pula pada lembaga sosial pengelola dana umat. “Misalnya terkait berapa gaji komisaris, berapa gaji direksi, itu OJK mengawasi,” ungkapnya kepada Jawa Pos kemarin (9/7).

Selama ini, kata Mu’ti, kebanyakan pelaporan dana dan pemeriksaan pengelolaan keuangan yayasan filantropi adalah lembaga akuntan publik. Itu pun sifatnya administratif. Sedangkan hal lain yang bersifat etik sering luput dari pelaporan dan pemeriksaan. “Dan bisa saja mereka (akuntan publik, Red) mengatakan secara keuangan WTP (wajar tanpa pengecualian, Red),” ujarnya.

Ke depan, Mu’ti mengusulkan ada lembaga khusus yang tugasnya mengawasi lembaga filantropi. Dia mencontohkan, lembaga yang sudah ada dan melekat di birokrasi seperti Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Pengawas khusus di lembaga tersebut dipilih DPR. “Uang triliunan kalau tidak ada yang mengawasi, yang namanya uang, orang senang dengan uang,” tuturnya.

Bentuk Pengawas Independen

Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menyarankan agar pemerintah membentuk lembaga independen yang berfunsi mengawasi yayasan maupun lembaga filantropi. Hal ini bertujuan agar kasus penyelewengan donasi seperti yang terjadi pada Aksi Cepat Tanggap (ACT) tak lagi terulang. “Pengelolaan lembaga-lembaga filantropi itu memang harus diperkuat dan diawasi oleh lembaga, apakah itu independen atau lembaga khusus. Ini sangat diperlukan agar hal serupa tidak terjadi di masa yang akan datang,” kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, kepada wartawan, Minggu (10/7).

Mu’ti mencontohkan, lembaga pengawasan itu seperti pada Badan Pengelola Keuangan Haji atau BPKH yang pengawasnya dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini untuk memperketat pengumpulan donasi dari setiap lembaga kemanusiaan. “Memang akan lebih bagus kalau lembaga yang mengawasi itu lembaga yang independen,” ucap Mu’ti.

Mu’ti mengamini, selama ini pengawasan terhadap lembaga filantropi terbagi dua. Pengawasan oleh Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Sosial (Kemensos). “Pertama, lembaga filantropi itu memang perizinannya berkaitan dengan UU zakat. Itu ranahnya ada pada Kemenag. Kedua, ada yang di bawah Kemensos,” papar Mu’ti.

Ia berharap, meski Kementerian Sosial telah mencabut izin Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) kepada ACT, namun integritas pengawasan terhadap lembaga filantropi tetap harus diperketat. Sehingga memang membutuhkan lembaga independen yang khusus mengawasi para institusi pengumpul donasi. (jpc/adz)

SUMUTPOS.CO – Pemblokiran rekening terkait Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) belum berhenti. PPATK kembali menghentikan sementara transaksi yang terafiliasi dengan yayasan filantropis tersebut. Total transaksi yang dibekukan saat ini sebanyak 141 customer information file (CIF) di lebih dari 300 rekening milik ACT. Ratusan rekening itu tersebar di 41 penyedia jasa keuangan atau perbankan.

Pemblokiran transaksi itu merupakan tindak lanjut upaya PPATK menelusuri indikasi penyalahgunaan dana bantuan kemanusiaan yang dikelola ACT. Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana menyatakan, sesuai ketentuan perundang-undangan, pihaknya dapat melakukan penelusuran atau melakukan analisis hingga pemeriksaan terhadap persoalan transaksi keuangan tersebut.

Ivan membeberkan, penghimpunan dan penyaluran bantuan harus dikelola secara akuntabel. Lembaga sosial yang menerima dana dari masyarakat harus memitigasi segala risiko yang terjadi dalam sepanjang proses penghimpunan maupun penyalurannya. Yakni, dengan cara mengenali pemberi (know your donor) dan mengenali penerima (know your beneficiary).

Saat ini, PPATK mencatat transaksi dari ACT ke luar negeri sebesar Rp52,9 miliar. Sementara dana yang masuk dari luar negeri ke rekening ACT sebesar Rp64,9 miliar. Perputaran dana itu berlangsung selama periode 2014 hingga Juli tahun ini. PPATK menyebut, ada beberapa negara yang menjadi tujuan penyaluran dana ACT. Sebut saja Turki, Inggris, Amerika Serikat, dan Malaysia.

Polisi Lacak Aliran Dana yang Dikelola ACT

Polri masih menyelidiki kasus dugaan penggelapan dana Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT). Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan menyampaikan, instansinya masih fokus menyelidiki dugaan pelanggaran yang dilakukan pendiri Yayasan ACT Ahyuddin dan Ketua Pengurus Yayasan ACT Ibnu Khajar. Hasil penyelidikan sejauh ini, Ramadhan menyatakan, Yayasan ACT sempat mendapat kepercayaan untuk menyalurkan dana corporate social responsibility (CSR) dari perusahaan asal Amerika Serikat, Boeing.

Itu dilakukan sebagai salah satu bentuk tanggung jawab pasca kecelakaan pesawat Boeing yang dioperasikan Lion Air. Berdasar data Jawa Pos, pesawat yang dimaksud adalah JT-610. Melalui ACT, Boeing menyerahkan dana CSR untuk ahli waris korban kecelakaan tersebut. “Namun, pada pelaksanaan penyaluran dana sosial atau CSR tersebut, para ahli waris tidak diikutsertakan dalam penyusunan rencana maupun pelaksanaan penggunaan dana,” beber Ramadhan, Sabtu (9/7).

Selain itu, Yayasan ACT tidak memberi tahu besaran dana CSR yang diberikan Boeing untuk para ahli waris. Demikian pula dengan pengelolaan serta penggunaan dana tersebut. Berdasar data yang diperoleh Polri, nilai total CSR yang dipercayakan Boeing kepada Yayasan ACT mencapai Rp138 miliar.

Dalam realisasinya, Yayasan ACT dinilai kurang terbuka. “Yayasan ACT tidak memberitahukan realisasi jumlah dana sosial atau CSR yang diterima dari pihak Boeing kepada ahli waris korban,” jelas Ramadhan. “Termasuk nilai serta progres pekerjaan yang dikelola Yayasan ACT,” tambah dia.

Karena itu, Yayasan ACT diduga tidak merealisasikan dan menggunakan seluruh dana CSR dari Boeing dan memanfaatkannya untuk urusan lain. “Pembayaran gaji ketua, pengurus, pembina, serta staf pada Yayasan ACT,” tegas Ramadhan.

Lebih dari itu, dana tersebut juga digunakan untuk menunjang fasilitas dan aktivitas pribadi Ahyuddin dan wakilnya. Jenderal bintang satu Polri itu pun mengungkapkan, Yayasan ACT tidak hanya diberi kepercayaan mengelola dana CSR oleh Boeing. Mereka juga mengelola CSR dari beberapa perusahaan. Kemudian, mengelola donasi dari masyarakat dan berbagai lembaga serta instansi level nasional maupun internasional.

Secara keseluruhan, lanjut Ramadhan, setiap bulan Yayasan ACT memperoleh donasi sekitar Rp60 miliar. “Dan langsung dipangkas atau dipotong pihak Yayasan ACT sebesar 10–20 persen,” jelas dia. Bila dirupiahkan, nilainya mencapai Rp6 miliar hingga Rp12 miliar. “Untuk keperluan pembayaran gaji pengurus dan seluruh karyawan,” tambahnya.

Pasal yang diduga dilanggar pihak-pihak terkait adalah pasal penggelapan dan atau penggelapan dalam jabatan, pasal pidana informasi dan transaksi elektronik, serta pasal tindak pidana yayasan dan atau tindak pidana pencucian uang. Di antaranya, Pasal 372 KUHP, Pasal 374 KUHP, dan Pasal 3, 4, serta 5 UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

Terungkapnya indikasi penyimpangan dana sumbangan di Yayasan ACT terus menjadi sorotan banyak pihak. Salah satunya, Sekretaris Umum Muhammadiyah Abdul Mu’ti. Dia menyebut kasus ACT bisa menjadi pintu masuk untuk membuat regulasi pengawasan aktivitas lembaga filantropi di Indonesia.

Mu’ti menyebutkan, hingga saat ini pengelolaan dana umat tidak diawasi lembaga khusus atau peraturan perundang-undangan. Sangat mungkin itulah yang membuat lembaga filantropi seakan bebas dan merasa tidak bersalah menggunakan dana umat untuk kebutuhan lain di luar kepentingan kemanusiaan.

Mu’ti membandingkan lembaga pengelola keuangan hingga bisnis yang diawasi secara ketat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menurut dia, metode pengawasan berlapis-lapis semacam itu bisa diterapkan pula pada lembaga sosial pengelola dana umat. “Misalnya terkait berapa gaji komisaris, berapa gaji direksi, itu OJK mengawasi,” ungkapnya kepada Jawa Pos kemarin (9/7).

Selama ini, kata Mu’ti, kebanyakan pelaporan dana dan pemeriksaan pengelolaan keuangan yayasan filantropi adalah lembaga akuntan publik. Itu pun sifatnya administratif. Sedangkan hal lain yang bersifat etik sering luput dari pelaporan dan pemeriksaan. “Dan bisa saja mereka (akuntan publik, Red) mengatakan secara keuangan WTP (wajar tanpa pengecualian, Red),” ujarnya.

Ke depan, Mu’ti mengusulkan ada lembaga khusus yang tugasnya mengawasi lembaga filantropi. Dia mencontohkan, lembaga yang sudah ada dan melekat di birokrasi seperti Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Pengawas khusus di lembaga tersebut dipilih DPR. “Uang triliunan kalau tidak ada yang mengawasi, yang namanya uang, orang senang dengan uang,” tuturnya.

Bentuk Pengawas Independen

Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menyarankan agar pemerintah membentuk lembaga independen yang berfunsi mengawasi yayasan maupun lembaga filantropi. Hal ini bertujuan agar kasus penyelewengan donasi seperti yang terjadi pada Aksi Cepat Tanggap (ACT) tak lagi terulang. “Pengelolaan lembaga-lembaga filantropi itu memang harus diperkuat dan diawasi oleh lembaga, apakah itu independen atau lembaga khusus. Ini sangat diperlukan agar hal serupa tidak terjadi di masa yang akan datang,” kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, kepada wartawan, Minggu (10/7).

Mu’ti mencontohkan, lembaga pengawasan itu seperti pada Badan Pengelola Keuangan Haji atau BPKH yang pengawasnya dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini untuk memperketat pengumpulan donasi dari setiap lembaga kemanusiaan. “Memang akan lebih bagus kalau lembaga yang mengawasi itu lembaga yang independen,” ucap Mu’ti.

Mu’ti mengamini, selama ini pengawasan terhadap lembaga filantropi terbagi dua. Pengawasan oleh Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Sosial (Kemensos). “Pertama, lembaga filantropi itu memang perizinannya berkaitan dengan UU zakat. Itu ranahnya ada pada Kemenag. Kedua, ada yang di bawah Kemensos,” papar Mu’ti.

Ia berharap, meski Kementerian Sosial telah mencabut izin Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) kepada ACT, namun integritas pengawasan terhadap lembaga filantropi tetap harus diperketat. Sehingga memang membutuhkan lembaga independen yang khusus mengawasi para institusi pengumpul donasi. (jpc/adz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/