26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Mimpi Kuasai Pasar Sumatera

Lie Ho Pheng, Pengusaha Furniture yang Bangga dengan Produk Lokal

Lie Ho Pheng, pengusaha furniture pemegag merek dagang Lipeng, punya mimpi besar. Dalam 5 tahun, furniturnya akan merajai pasar di Pulau Sumatera.

DUNIA perdagangan dikenalnya sejak masih belia. Tepatnya semasih duduk di sekolah dasar.

Saat itu, Lie Ho Pheng yang akrab disapa Hopeng sudah terbiasa mengayuh sepeda sejauh 50 kilometer sambil menjajakan kue buatan sang mama.

Saat berusia berusia 17 tahun, Hopeng memulai bisnis sendiri, berjualan pakan dan anak ayam di Kota Pematangsiantar. Kegiatan ini dilakoninya pulang balik Perbaungan- Siantar. Setahun kemudian, bisnisnya ‘naik derajat’.

Hopeng menjual ayam potong. “Ngambil dari peternakan di Perbaungan, dibawa dengan bus ke Siantar,” ujar Hopeng saat ditemui di tokonya Toko Lipeng di Jalan Letda Sujono.

Saat usahanya mulai menunjukkan hasil memuaskan, Hopeng malah mengalami kecelakaan. “Waktu naikkan ayam saat bus berjalan, saya dihantam ranting pohon.

Saya trauma, risiko pekerjaan dagang ayam terlalu tinggi,” ujarnya.

Lie Ho Pheng.//dok pribadi

Tahun itu juga, 1980, Hopeng banting setir, menjadi buruh di pabrik perabot Makmur Jaya. Di tempat ini, ia cepat menyesuaikan diri. Baru enam bulan bekerja, Hopeng sudah menjadi orang kepercayaan pemilik usaha. “Saya jadi wakil bos. Cepat kan?” ucapnya tersenyum.

Di Makmur Jaya pula Hopeng banyak belajar dunia usaha furniture. Mulai dari pengolahan bahan baku hingga pemasaran.

Dia mulai dikenal pemasok bahan serta para pemilik toko pelemparan hasil pabrik.

Berbekal pengetahuan itu, Hopeng bersama kakaknya membangun pabrik furniture di Perbaungan. Dimulai dari nol, menerapkan pengetahuan yang diperoleh selama berguru di Makmur Jaya. Sayang, beberapa tahun usaha tempatnya menimba ilmu itu gulung tikar.

Ternyata jiwa dagang Hopeng kembali bergelora. Melihat geliat pasar furniture di Kota Medan, Hopeng memilih menyerahkan pengelolaan pabrik furniture di Perbaungan kepada kakaknya. Meski tetap berstatus sebagai salah satu pemilik usaha di Perbaungan, dia memilih hijrah ke Jalan Medan dan membuka usaha jual beli furniture pada 1988.

Baru dua tahun ditinggalkannya, pabrik furnitur di Perbaungan pailit. Utang menumpuk sementara 17 karyawan tidak gajian selama beberapa bulan. “Hutang lebih dari 100 juta. Waktu itu nilai segitu sudah sangat besar. Sementara pemasok bahan sudah tidak percaya lagi kepada abang saya,” kenangnya.

Tak ingin usaha yang dirintisnya dari awal itu gulung tikar. Hopeng turun gunung membenahinya.

Apa yang dilakukannya? “Pertama, saya kumpulkan karyawan dan saya ajak bicara satu persatu. Saya tanya, apakah mereka masih mau bekerja dengan kondisi prihatin kalau saya yang memegang pabrik. Bagusnya, semua mereka bersedia. Kalau Pak Hopeng yang pegang, kami maulah kerja lagi’. Begitu jawaban mereka,” paparnya megenai langkah awal penyehatan usaha tersebut.

Selanjutnya, dia mengangkat seorang karyawan bernama Surono sebagai pelaksana tugas di pabrik. “Kalau di sekarang, fungsi Surono seperti CEO lah. Ternyata usaha mesti seperti itu. Walau cuma usaha keluarga, kita tetap harus mengangkat orang lain untuk membantu menjalankannya,” ungkap Hopeng lagi.

Selesai urusan karyawan, Hopeng mendatangi tauke-tauke tempat kakanya berhutang dan meminta keringanan penundaan pembayaran. “Mereka setuju dan percaya kepada saya. Tapi itu belum cukup. Usaha belum bisa dijalankan karena tidak ada modal sama sekali. Saya kemudian mengutang bahan baku dan mereka memberikan.

Mungkin mereka melihat kesungguhan saya,” katanya pasti.

Sedikit demi sedikit permasalahan dapat diatasi. Perlahan namun pasti, usaha mulai berjalan dan karyawan mulai tenang bekerja.

“Syukurlah. Setelah berjuang bertahun-tahun, pada 1990 semua utang tertutupi dan usaha mulai untung,” ucapnya lega, seolah hal itu baru saja dilaluinya.

Hopeng lalu mengembangkan usahanya dan terus meningkatkan produksi. Tapi tantangan belum selesai. Delapan tahun menikmati masa kejayaan, pada 1998, usahanya dihantam kesulitan, dampak krisis keuangan di Amerika. Hopeng kembali mengutang, tetapi hasilnya malah makin sulit.

Pasar lokal sekalipun susah ditembus. Furniture mereka tidak terserap pasar yang sedang lesu.

Hopeng hampir putus asa. Hingga sebuah cahaya di kejauhan terlihat olehnya. Waktu itu, dia sedang mendengar siaran radio, membahas masalah krisis. Saat itu ekonom Aviliani sedang menjadi pembicara, membahas topik, bagaimana pengusaha bisa bangkit dari hadangan krisis moneter. Saat itu Aviliani menjabat sebagai Wakil Direktur Pengembangan Bisnis Institute for Development of Economics and Finance (INDEF).

Dalam sesi tanya jawab langsung, Hopeng segera menghubungi nomor telepon yang disediakan. “Setelah tersambung, nunggunya lama sekali. Habis banyak pulsa juga waktu itu. Ha… ha… ha…,” kata Hopeng sambil memperbaiki posisi duduknya.

Setelah tersambung, Hopeng diminta memperkenalkan diri dan membeberkan masalahnya. Setelah mendengar penuturan Hopeng, Aviliani memberikan petunjuk.

“Katanya, Pak Hopeng, dalam kondisi ekonomi seperti ini, ada dua hal yang bisa Bapak lakukan. Pertama, turunkan mutu demi menurunkan harga jual dan lemparkan produk ke wilayah yang tidak ter imbas krisis.” Nasihat Aviliani dicermatinya dengan baik. Saran pertama mudah dilakukan, Hopeng lalu menurunkan kualitas produk agar harganya lebih murah. Bagaimana dengan saran kedua? Lama mempelajari, Hopeng memutuskan melempar produknya ke wilayah Asahan dan Labuhan Batu, wilayah pemasok kelapa sawit yang justru menangguk untung besar saat krisis terjadi.

Manjur. Dua saran Aviliani berhasil membuat Hopeng membawa usahanya keluar dari masalah. Usahanya kembali bangkit dengan jangkauan pemasaran yang makin luas. Dari Asahan dan Labuhan Batu, pemasarannya merambah ke Padang dan Riau.

“Makanya, saya lebih percaya pada ahli daripada bertanya pada pekong,” ujarnya.

Hingga saat ini, pasar usahanya sudah mencapai Provinsi Aceh, Riau, Padang dan Jambi.

Hopeng lalu memasang target lebih besar lagi.

“Tahun ini saya menjajaki pasar di Sumatera Selatan. Dalam lima tahun kedepan, saya menargetkan sudah mengisi pasar seluruh Pulau Sumatera,” katanya bertekad.

Untuk mencapai mimpi besarnya, Hopeng menjadikan langkah-langkah yang diambil manajemen Air Asia yang berkembang atas bantuan media massa.

“Saya senang membaca kisah pengusaha sukses, termasuk membaca buku tentang Steve Jobs, si pendiri perusahaan Apple yang melegenda itu,” paparnya lagi. (tms)

Punya Merek Dagang Jempolan

MEREK dagang sejatinya berfungsi memudahkan konsumen mengenal suatu produk . Dan merek Lipin yang disematkan pada springbed dan furnitur lain produksi usaha milik Lie Ho Pheng punya cerita sendiri. Merek lokal ini diambil dari perkawian namanya dan istri. “Li dari nama istri saya, Lili. Kalau Pin dari nama saya,” urainya.

Soal makna sepenggal kata yang dipilih, tak pernah diduga kalau itu sebuah ungkapan tentang sukses dan kemapanan. “Dalam bahasa Mandarin, Li berarti kekuatan dan Phin artinya stabil. Kalau digabungkan Lipin berarti kekuatan yang stabil.” Diakui Hopeng, hal itu disadarinya setelah mendapat pemahaman dari beberapa rekannya. Dan ternyata, merek dagang itu diakuinya jempolan. “Saya bangga punya merek dagang sendiri dengan citarasa lokal, tidak meniru merek terkenal yang berbau asing,” ujarnya.

Dengan semangat mempromosikan produk lokal pula, Hopeng aktif mengkampanyekan cinta produk lokal kepada orang-orang, di manapun dan kapan pun. “Bukan hanya produk nasional, tetapi produk lokal,” katanya menegaskan.

Pada 2002 lalu, Hopeng mendaftarkan merek dagangnya ke Kemenkum dan HAM RI. Dengan merek dagang lokal ini pula, Hopeng berani ‘menantang’ furniture sejenis buatan daerah lain, maupun merek-merek internasional.

“Saya bangga dengan produk kami. Semoga masyarakat Sumut juga bangga dan membeli produk-produk buatan Sumatera Utara,” harapnya.

Promosi dari mulut ke mulut dan melalui media massa yang dilakukan sendiri, dirasa lebih tepat dibanding menunggu bantuan promosi dari pemerintah.

Selain itu, Hopeng menjadi salah satu pengusaha kerap menyuarakan antipungli. “Itu karena saya sering bersentuhan dengan masalah pungli yang melibatkan oknum birokrat,” katanya.

Dia mencontohkan ulah petugas sebuah dinas dari Pemkab Deliserdang yang menagih pajak reklame dengan mendatangi tokonya. Petugas meminta Hopeng membayar pajak reklame tahunan senilai hampir Rp3 juta. “Saya cuma bilang, saya hanya akan mau bayar kalau kamu bisa tunjukkan Perdanya. Saya kan tidak bodoh,” ujarnya.

Karena memang Deliserdang tak punya Perda Pajak Reklame, petugas itu akhirnya melongos pergi. (tms)

Bangga Anak cuma Tamat SMA

BERSAMA KELUARGA: Lie Ho Pheng bersama istri dan dua putra dan dua putrinya.//dok pribadi

PUNYA anak yang berhasil menempuh jenjang sekolah tertinggi tentu membanggakan orangtua. Demikian juga Lie Ho Peng. Meski demikian, pengusaha sukses ini sangat bangga dengan anak sulungnya yang hanya lulusan sebuah Sekolah Menengah Atas (SMA).

“Ya bangga lah. Naik berapa tingkat dibanding saya,” sebut Openg, penggilan akrabnya.

Ucapan Hopeng ternyata didasari perjalanan pendidikannya yang tak sampai memegang ijazah Sekolah Dasar (SD).

“Saya Cuma tamatan SDTT,” ucapnya lantas tertawa.

Ternyata singkatan itu bermakna Sekolah Dasar Tidak Tamat. “Saya memang tak lulus SD, karena memilih bekerja daripada sekolah,” sebutnya memberi alasan.

Ia kemudian mengisahkan bagaimana kehidupan keluarganya kala itu yang digambarkannya sebagai keluarga miskin di sebuah kampung di Perbaungan. Dan sedari kecil sudah dipaksa mencari uang. Mulai membantu ibunya berjualan kue, bekerja serabutan hingga memutuskan tidak ikut ujian akhir SD demi mengejar harapan dengan ‘merantau’ ke sejumlah kota hingga berlabuh di Kota Medan.

Pria yang selalu tampil ceria ini lebih berbangga. Meski si sulung hanya bertahan tiga bulan di bangku kuliah, anak keduanya, Indriyani, sudah diwisuda setahun lalu dari sebuah sekolah tinggi bisnis dan manajemen komputer di Medan.

Sedangkan dua anak kembarnya, Ferdyanto dan Silfanny saat ini masih duduk di bangku SD.(tms)

Lie Ho Pheng, Pengusaha Furniture yang Bangga dengan Produk Lokal

Lie Ho Pheng, pengusaha furniture pemegag merek dagang Lipeng, punya mimpi besar. Dalam 5 tahun, furniturnya akan merajai pasar di Pulau Sumatera.

DUNIA perdagangan dikenalnya sejak masih belia. Tepatnya semasih duduk di sekolah dasar.

Saat itu, Lie Ho Pheng yang akrab disapa Hopeng sudah terbiasa mengayuh sepeda sejauh 50 kilometer sambil menjajakan kue buatan sang mama.

Saat berusia berusia 17 tahun, Hopeng memulai bisnis sendiri, berjualan pakan dan anak ayam di Kota Pematangsiantar. Kegiatan ini dilakoninya pulang balik Perbaungan- Siantar. Setahun kemudian, bisnisnya ‘naik derajat’.

Hopeng menjual ayam potong. “Ngambil dari peternakan di Perbaungan, dibawa dengan bus ke Siantar,” ujar Hopeng saat ditemui di tokonya Toko Lipeng di Jalan Letda Sujono.

Saat usahanya mulai menunjukkan hasil memuaskan, Hopeng malah mengalami kecelakaan. “Waktu naikkan ayam saat bus berjalan, saya dihantam ranting pohon.

Saya trauma, risiko pekerjaan dagang ayam terlalu tinggi,” ujarnya.

Lie Ho Pheng.//dok pribadi

Tahun itu juga, 1980, Hopeng banting setir, menjadi buruh di pabrik perabot Makmur Jaya. Di tempat ini, ia cepat menyesuaikan diri. Baru enam bulan bekerja, Hopeng sudah menjadi orang kepercayaan pemilik usaha. “Saya jadi wakil bos. Cepat kan?” ucapnya tersenyum.

Di Makmur Jaya pula Hopeng banyak belajar dunia usaha furniture. Mulai dari pengolahan bahan baku hingga pemasaran.

Dia mulai dikenal pemasok bahan serta para pemilik toko pelemparan hasil pabrik.

Berbekal pengetahuan itu, Hopeng bersama kakaknya membangun pabrik furniture di Perbaungan. Dimulai dari nol, menerapkan pengetahuan yang diperoleh selama berguru di Makmur Jaya. Sayang, beberapa tahun usaha tempatnya menimba ilmu itu gulung tikar.

Ternyata jiwa dagang Hopeng kembali bergelora. Melihat geliat pasar furniture di Kota Medan, Hopeng memilih menyerahkan pengelolaan pabrik furniture di Perbaungan kepada kakaknya. Meski tetap berstatus sebagai salah satu pemilik usaha di Perbaungan, dia memilih hijrah ke Jalan Medan dan membuka usaha jual beli furniture pada 1988.

Baru dua tahun ditinggalkannya, pabrik furnitur di Perbaungan pailit. Utang menumpuk sementara 17 karyawan tidak gajian selama beberapa bulan. “Hutang lebih dari 100 juta. Waktu itu nilai segitu sudah sangat besar. Sementara pemasok bahan sudah tidak percaya lagi kepada abang saya,” kenangnya.

Tak ingin usaha yang dirintisnya dari awal itu gulung tikar. Hopeng turun gunung membenahinya.

Apa yang dilakukannya? “Pertama, saya kumpulkan karyawan dan saya ajak bicara satu persatu. Saya tanya, apakah mereka masih mau bekerja dengan kondisi prihatin kalau saya yang memegang pabrik. Bagusnya, semua mereka bersedia. Kalau Pak Hopeng yang pegang, kami maulah kerja lagi’. Begitu jawaban mereka,” paparnya megenai langkah awal penyehatan usaha tersebut.

Selanjutnya, dia mengangkat seorang karyawan bernama Surono sebagai pelaksana tugas di pabrik. “Kalau di sekarang, fungsi Surono seperti CEO lah. Ternyata usaha mesti seperti itu. Walau cuma usaha keluarga, kita tetap harus mengangkat orang lain untuk membantu menjalankannya,” ungkap Hopeng lagi.

Selesai urusan karyawan, Hopeng mendatangi tauke-tauke tempat kakanya berhutang dan meminta keringanan penundaan pembayaran. “Mereka setuju dan percaya kepada saya. Tapi itu belum cukup. Usaha belum bisa dijalankan karena tidak ada modal sama sekali. Saya kemudian mengutang bahan baku dan mereka memberikan.

Mungkin mereka melihat kesungguhan saya,” katanya pasti.

Sedikit demi sedikit permasalahan dapat diatasi. Perlahan namun pasti, usaha mulai berjalan dan karyawan mulai tenang bekerja.

“Syukurlah. Setelah berjuang bertahun-tahun, pada 1990 semua utang tertutupi dan usaha mulai untung,” ucapnya lega, seolah hal itu baru saja dilaluinya.

Hopeng lalu mengembangkan usahanya dan terus meningkatkan produksi. Tapi tantangan belum selesai. Delapan tahun menikmati masa kejayaan, pada 1998, usahanya dihantam kesulitan, dampak krisis keuangan di Amerika. Hopeng kembali mengutang, tetapi hasilnya malah makin sulit.

Pasar lokal sekalipun susah ditembus. Furniture mereka tidak terserap pasar yang sedang lesu.

Hopeng hampir putus asa. Hingga sebuah cahaya di kejauhan terlihat olehnya. Waktu itu, dia sedang mendengar siaran radio, membahas masalah krisis. Saat itu ekonom Aviliani sedang menjadi pembicara, membahas topik, bagaimana pengusaha bisa bangkit dari hadangan krisis moneter. Saat itu Aviliani menjabat sebagai Wakil Direktur Pengembangan Bisnis Institute for Development of Economics and Finance (INDEF).

Dalam sesi tanya jawab langsung, Hopeng segera menghubungi nomor telepon yang disediakan. “Setelah tersambung, nunggunya lama sekali. Habis banyak pulsa juga waktu itu. Ha… ha… ha…,” kata Hopeng sambil memperbaiki posisi duduknya.

Setelah tersambung, Hopeng diminta memperkenalkan diri dan membeberkan masalahnya. Setelah mendengar penuturan Hopeng, Aviliani memberikan petunjuk.

“Katanya, Pak Hopeng, dalam kondisi ekonomi seperti ini, ada dua hal yang bisa Bapak lakukan. Pertama, turunkan mutu demi menurunkan harga jual dan lemparkan produk ke wilayah yang tidak ter imbas krisis.” Nasihat Aviliani dicermatinya dengan baik. Saran pertama mudah dilakukan, Hopeng lalu menurunkan kualitas produk agar harganya lebih murah. Bagaimana dengan saran kedua? Lama mempelajari, Hopeng memutuskan melempar produknya ke wilayah Asahan dan Labuhan Batu, wilayah pemasok kelapa sawit yang justru menangguk untung besar saat krisis terjadi.

Manjur. Dua saran Aviliani berhasil membuat Hopeng membawa usahanya keluar dari masalah. Usahanya kembali bangkit dengan jangkauan pemasaran yang makin luas. Dari Asahan dan Labuhan Batu, pemasarannya merambah ke Padang dan Riau.

“Makanya, saya lebih percaya pada ahli daripada bertanya pada pekong,” ujarnya.

Hingga saat ini, pasar usahanya sudah mencapai Provinsi Aceh, Riau, Padang dan Jambi.

Hopeng lalu memasang target lebih besar lagi.

“Tahun ini saya menjajaki pasar di Sumatera Selatan. Dalam lima tahun kedepan, saya menargetkan sudah mengisi pasar seluruh Pulau Sumatera,” katanya bertekad.

Untuk mencapai mimpi besarnya, Hopeng menjadikan langkah-langkah yang diambil manajemen Air Asia yang berkembang atas bantuan media massa.

“Saya senang membaca kisah pengusaha sukses, termasuk membaca buku tentang Steve Jobs, si pendiri perusahaan Apple yang melegenda itu,” paparnya lagi. (tms)

Punya Merek Dagang Jempolan

MEREK dagang sejatinya berfungsi memudahkan konsumen mengenal suatu produk . Dan merek Lipin yang disematkan pada springbed dan furnitur lain produksi usaha milik Lie Ho Pheng punya cerita sendiri. Merek lokal ini diambil dari perkawian namanya dan istri. “Li dari nama istri saya, Lili. Kalau Pin dari nama saya,” urainya.

Soal makna sepenggal kata yang dipilih, tak pernah diduga kalau itu sebuah ungkapan tentang sukses dan kemapanan. “Dalam bahasa Mandarin, Li berarti kekuatan dan Phin artinya stabil. Kalau digabungkan Lipin berarti kekuatan yang stabil.” Diakui Hopeng, hal itu disadarinya setelah mendapat pemahaman dari beberapa rekannya. Dan ternyata, merek dagang itu diakuinya jempolan. “Saya bangga punya merek dagang sendiri dengan citarasa lokal, tidak meniru merek terkenal yang berbau asing,” ujarnya.

Dengan semangat mempromosikan produk lokal pula, Hopeng aktif mengkampanyekan cinta produk lokal kepada orang-orang, di manapun dan kapan pun. “Bukan hanya produk nasional, tetapi produk lokal,” katanya menegaskan.

Pada 2002 lalu, Hopeng mendaftarkan merek dagangnya ke Kemenkum dan HAM RI. Dengan merek dagang lokal ini pula, Hopeng berani ‘menantang’ furniture sejenis buatan daerah lain, maupun merek-merek internasional.

“Saya bangga dengan produk kami. Semoga masyarakat Sumut juga bangga dan membeli produk-produk buatan Sumatera Utara,” harapnya.

Promosi dari mulut ke mulut dan melalui media massa yang dilakukan sendiri, dirasa lebih tepat dibanding menunggu bantuan promosi dari pemerintah.

Selain itu, Hopeng menjadi salah satu pengusaha kerap menyuarakan antipungli. “Itu karena saya sering bersentuhan dengan masalah pungli yang melibatkan oknum birokrat,” katanya.

Dia mencontohkan ulah petugas sebuah dinas dari Pemkab Deliserdang yang menagih pajak reklame dengan mendatangi tokonya. Petugas meminta Hopeng membayar pajak reklame tahunan senilai hampir Rp3 juta. “Saya cuma bilang, saya hanya akan mau bayar kalau kamu bisa tunjukkan Perdanya. Saya kan tidak bodoh,” ujarnya.

Karena memang Deliserdang tak punya Perda Pajak Reklame, petugas itu akhirnya melongos pergi. (tms)

Bangga Anak cuma Tamat SMA

BERSAMA KELUARGA: Lie Ho Pheng bersama istri dan dua putra dan dua putrinya.//dok pribadi

PUNYA anak yang berhasil menempuh jenjang sekolah tertinggi tentu membanggakan orangtua. Demikian juga Lie Ho Peng. Meski demikian, pengusaha sukses ini sangat bangga dengan anak sulungnya yang hanya lulusan sebuah Sekolah Menengah Atas (SMA).

“Ya bangga lah. Naik berapa tingkat dibanding saya,” sebut Openg, penggilan akrabnya.

Ucapan Hopeng ternyata didasari perjalanan pendidikannya yang tak sampai memegang ijazah Sekolah Dasar (SD).

“Saya Cuma tamatan SDTT,” ucapnya lantas tertawa.

Ternyata singkatan itu bermakna Sekolah Dasar Tidak Tamat. “Saya memang tak lulus SD, karena memilih bekerja daripada sekolah,” sebutnya memberi alasan.

Ia kemudian mengisahkan bagaimana kehidupan keluarganya kala itu yang digambarkannya sebagai keluarga miskin di sebuah kampung di Perbaungan. Dan sedari kecil sudah dipaksa mencari uang. Mulai membantu ibunya berjualan kue, bekerja serabutan hingga memutuskan tidak ikut ujian akhir SD demi mengejar harapan dengan ‘merantau’ ke sejumlah kota hingga berlabuh di Kota Medan.

Pria yang selalu tampil ceria ini lebih berbangga. Meski si sulung hanya bertahan tiga bulan di bangku kuliah, anak keduanya, Indriyani, sudah diwisuda setahun lalu dari sebuah sekolah tinggi bisnis dan manajemen komputer di Medan.

Sedangkan dua anak kembarnya, Ferdyanto dan Silfanny saat ini masih duduk di bangku SD.(tms)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/