29 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Mundur dari Pimpinan KPK, Lili Dinilai Lari dari Masalah

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Lili Pintauli Siregar memilih mundur dari jabatannya sebagai Wakil Ketua KPK sebelum diadili etik oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Langkah yang dilakukan Lili ini, dinilai sebagai upaya melarikan diri dari masalah.

Pengajar dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia, Jentera Bivitri Susanti menilai, dengan mengundurkan diri dan tidak lagi menjadi bagian dari insan KPK, Lili dinyatakan tak memenuhi kualifikasi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Dewan Pengawas (Dewas) KPK diketahui telah menyatakan sidang etik gugur dengan alasan Lili telah mengundurkan diri sebagai pimpinan KPK sehingga tidak lagi menjadi bagian dari insan KPK. Atas dasar itu, Dewas mengklaim tidak bisa memeriksa dugaan tindak pidana penerimaan gratifikasi berupa akomodasi hotel dan tiket menonton MotoGP Mandalika yang diduga menyeret Lili.

“Ini memang cara dia untuk lari dari masalah. Dia sudah menduga, karena Dewas cenderung legalistik, jadinya dia tidak kena,” ujar Bivitri melalui pesan tertulis, Selasa (12/7).

Bivitri yang merupakan pakar hukum tata negara ini mengungkit pola serupa pernah dilakukan Firli Bahuri saat menjabat Deputi Penindakan KPK. Firli pernah melakukan pelanggaran kode etik berat karena menemui sejumlah pihak berperkara. Namun, sebelum pimpinan KPK menyatakan putusan, Firli lebih dulu ditarik ke Mabes Polri.

Kondisi itu membuat Firli leluasa untuk kembali ke lembaga antirasuah sebagai pimpinan KPK. “Jadi, jangan-jangan nanti tahun depan Lili Pintauli Siregar bisa daftar lagi jadi pimpinan, seperti Firli juga, dianggap tidak punya kasus etik,” kata Bivitri.

Hal serupa disampaikan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Padang Feri Amsari. Ia menuding banyak pihak yang menutup-nutupi agar kasus dugaan suap yang melibatkan Lili dan PT Pertamina (Persero) tidak terbongkar. Lili diduga menerima gratifikasi berupa fasilitas akomodasi hotel dan tiket menonton MotoGP Mandalika dari PT Pertamina (Persero). Namun, dugaan tersebut tak diusut Dewas KPK lantaran persidangan etik gugur dengan alasan Lili telah mengundurkan diri sebagai insan KPK per Senin (11/7).

“Saya pikir bukan hanya cara Lili ya, tetapi juga pihak-pihak yang tidak berkeinginan kasus Pertamina ini terbongkar. Dewas dan Presiden jelas terlibat untuk menutup-nutupi kasus ini,” kata Feri.

 

Usut Gratifikasi

Bivitri meminta KPK tidak bergeming terhadap dugaan gratifikasi yang diterima Lili dari Pertamina. Ia menantang lembaga antirasuah untuk mengusut tuntas kasus tersebut. “Harusnya kalau KPK-nya masih baik, seharusnya dugaan gratifikasi bisa dikejar ke Pertamina yang memberikan ke Lili Pintauli Siregar. Jadi, masuk ranah pidana,” ungkap Bivitri.

“Tapi, ya, kita tahu sendiri, KPK akan cenderung melindungi mantan pimpinan, lagi pula ini menyentuh Pertamina, yang juga bisa diduga tidak mau diutak-atik oleh KPK,” sambungnya.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana berpendapat, dihentikannya sidang etik tak serta merta membuat dugaan tindak pidana penerimaan gratifikasi Lili tidak diusut. “Dewan Pengawas harus meneruskan bukti-bukti awal yang telah dimiliki kepada aparat penegak hukum jika ada dugaan kuat adanya gratifikasi yang dianggap suap,” ucap Kurnia. (cnni/adz)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Lili Pintauli Siregar memilih mundur dari jabatannya sebagai Wakil Ketua KPK sebelum diadili etik oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Langkah yang dilakukan Lili ini, dinilai sebagai upaya melarikan diri dari masalah.

Pengajar dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia, Jentera Bivitri Susanti menilai, dengan mengundurkan diri dan tidak lagi menjadi bagian dari insan KPK, Lili dinyatakan tak memenuhi kualifikasi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Dewan Pengawas (Dewas) KPK diketahui telah menyatakan sidang etik gugur dengan alasan Lili telah mengundurkan diri sebagai pimpinan KPK sehingga tidak lagi menjadi bagian dari insan KPK. Atas dasar itu, Dewas mengklaim tidak bisa memeriksa dugaan tindak pidana penerimaan gratifikasi berupa akomodasi hotel dan tiket menonton MotoGP Mandalika yang diduga menyeret Lili.

“Ini memang cara dia untuk lari dari masalah. Dia sudah menduga, karena Dewas cenderung legalistik, jadinya dia tidak kena,” ujar Bivitri melalui pesan tertulis, Selasa (12/7).

Bivitri yang merupakan pakar hukum tata negara ini mengungkit pola serupa pernah dilakukan Firli Bahuri saat menjabat Deputi Penindakan KPK. Firli pernah melakukan pelanggaran kode etik berat karena menemui sejumlah pihak berperkara. Namun, sebelum pimpinan KPK menyatakan putusan, Firli lebih dulu ditarik ke Mabes Polri.

Kondisi itu membuat Firli leluasa untuk kembali ke lembaga antirasuah sebagai pimpinan KPK. “Jadi, jangan-jangan nanti tahun depan Lili Pintauli Siregar bisa daftar lagi jadi pimpinan, seperti Firli juga, dianggap tidak punya kasus etik,” kata Bivitri.

Hal serupa disampaikan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Padang Feri Amsari. Ia menuding banyak pihak yang menutup-nutupi agar kasus dugaan suap yang melibatkan Lili dan PT Pertamina (Persero) tidak terbongkar. Lili diduga menerima gratifikasi berupa fasilitas akomodasi hotel dan tiket menonton MotoGP Mandalika dari PT Pertamina (Persero). Namun, dugaan tersebut tak diusut Dewas KPK lantaran persidangan etik gugur dengan alasan Lili telah mengundurkan diri sebagai insan KPK per Senin (11/7).

“Saya pikir bukan hanya cara Lili ya, tetapi juga pihak-pihak yang tidak berkeinginan kasus Pertamina ini terbongkar. Dewas dan Presiden jelas terlibat untuk menutup-nutupi kasus ini,” kata Feri.

 

Usut Gratifikasi

Bivitri meminta KPK tidak bergeming terhadap dugaan gratifikasi yang diterima Lili dari Pertamina. Ia menantang lembaga antirasuah untuk mengusut tuntas kasus tersebut. “Harusnya kalau KPK-nya masih baik, seharusnya dugaan gratifikasi bisa dikejar ke Pertamina yang memberikan ke Lili Pintauli Siregar. Jadi, masuk ranah pidana,” ungkap Bivitri.

“Tapi, ya, kita tahu sendiri, KPK akan cenderung melindungi mantan pimpinan, lagi pula ini menyentuh Pertamina, yang juga bisa diduga tidak mau diutak-atik oleh KPK,” sambungnya.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana berpendapat, dihentikannya sidang etik tak serta merta membuat dugaan tindak pidana penerimaan gratifikasi Lili tidak diusut. “Dewan Pengawas harus meneruskan bukti-bukti awal yang telah dimiliki kepada aparat penegak hukum jika ada dugaan kuat adanya gratifikasi yang dianggap suap,” ucap Kurnia. (cnni/adz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/