JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan, dana senilai Rp1,7 triliun mengalir ke yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT). Dari jumlah tersebut, dari setengahnya atau lima puluh persen lebih mengalir ke kantong pribadi.
Ketua PPATK Ivan Yustiavanda menegaskan, sudah membekukan 843 rekening yang angkanya sudah mencapai Rp11 miliar. “Jadi PPATK melihat ada Rp1,7 triliun uang yang mengalir ke ACT dan kita melihat lebih dari 50 persen itu mengalir ke entitas-entitas yang terafiliasi kepada pihak-pihak pribadi gitu ya, dan itu kan angkanya masih Rp1 triliunan,” kata Ivan.
Aliran dana tersebut, kata dia, dialirkan ke kegiatan-kegiatan usaha lain ACT. Usaha tersebut menerima dan kemudian kembali ke pengurus. “Kelompok-kelompok kegiatan usaha di bawah entitas A ini dimiliki oleh dan terafiliasi dengan para pemilik di A-nya tadi,” papar Ivan.
Ivan menjelaskan, kepentingan dana tersebut guna pembayaran kesehatan, pembelian villa, pembelian rumah, pembelian aset, dan segala macam yang memang tidak diperuntukkan untuk kepentingan sosial.
Dia menduga masih ada 176 lembaga filantropi lain yang memiliki kegiatan serupa ACT. Modusnya, penggunaan dana yang dihimpun publik tidak sesuai dengan peruntukan semestinya.”Dan ada yang lari ke pengurus maupun entitas hukum yang dibentuk para pengurus,” tutur Ivan.
PPATK melihat pengelolaan dana tersebut tidak terlalu dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan yang sesungguhnya sesuai dengan amanat yang disampaikan kementerian sosial.
Dugaan penyimpangan itu, kata Ivan, sudah disampaikan ke Bareskrim Polri untuk didalami lebih lanjut. Harapannya, dugaan penyimpangan itu dapat diproses sehingga lembaga filantropi tidak sembarangan mengalirkan dana yang dikumpulkan dari masyarakat tersebut.
Mengenai dugaan penyelewengan dana oleh 176 lembaga filantropi tersebut, belum ada keputusan yang diambil oleh Menteri Sosial, Risma. Dia mengaku harus melihat terlebih dahulu berkas yang diserahkan oleh pihak PPATK sebelum membuat keputusan lebih lanjut. “Masih harus saya pelajari,” ungkapnya.
Namun, melihat adanya dugaan-dugaan tersebut, Risma merasa perlu mempercepat realisasi pembentukan satgas khusus yang pernah dia wacanakan. Keberadaan satgas itu bertujuan untuk meningkatkan pengawasan terhadap penyelenggaraan PUB dan pengelolaan bantuan sosial (bansos). “Saya saat itu pernah statement akan menggandeng PPATK. Beliau hari ini hadir. Selain silaturahmi, kita punya kesepakatan akan membuat satgas bersama,” ujarnya.
Satgas itu, lanjut dia, akan dibentuk sebelum adanya MoU resmi dengan PPATK. Mengingat, pembuatan MoU bakal memakan waktu yang lama lantaran harus ada administrasi, ketentuan hukum, dan lainnya yang harus disiapkan. Oleh karena itu, dia akan membuat surat tugas khusus untuk memulai kerja sama pengawasan tersebut. “Bukan hanya soal izin PUB, tapi juga bansos,” tegasnya.
Bansos juga menjadi perhatian Risma lantaran masih ada penyelewengan yang ditemukan di lapangan. Dia mencontohkan dalam penyaluran bansos senilai Rp 200 ribu. Dia menemukan adanya pemotongan dana yang diberikan kepada keluarga penerima manfaat (KPM) sasaran. “Jadi kalau ini Rp 200 ribu, diterima barang Rp 160 ribu. Ada Rp 40 ribu ke mana? Nah, ini hak orang miskin. Kalau kemudian mereka nggak terima sebesar itu, padahal pemerintah ngasih segitu,” ungkapnya.
Bahkan, dia pernah melakukan penghitungan dari pemotongan bansos di suatu daerah, dana bisa terkumpul Rp 4 miliar–6 miliar. “Kami nggak tahu ini larinya ke mana,” sambungnya. Karena itu, tugas satgas nanti juga mendalami temuan-temuan di lapangan tersebut. (jpg/ila)