JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite mulai langka di sejumlah SPBU akibat jebolnya kuota subsidi. Kemudian Pertamina tidak mau rugi, memaksa pemerintah terkesan lempar handuk.
Kondisi ini membuat pemerintah akan memilih menaikan harga beberapa jenis BBM dan LPG 3 kg. Tujuannya mengurangi beban subsidi energi yang saat ini totalnya sudah mencapai Rp502 triliun.
“Itu pilihan sangat sulit dari beberapa yang ada. Meskipun dampaknya akan luar biasa, karena menaikan harga-harga barang di saat lemahnya daya beli rakyat akibat pandemi Covid19, tapi ini suatu keniscayaan, karena kantong Pemerintah memang lagi bokek, apa boleh buat,” ungkap Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, Minggu (14/8).
Yusri kemudian mempertanyakan program digitalisasi 5.518 SPBU di seluruh Indonesia dengan nilai Rp3,6 triliun oleh PT Telkom. Awalnya program ini diharapkan bisa mengendalikan penggunaan BBM subsidi tepat sasaran, namun tidak berfungsi.
“Bahkan Kepala BPH Migas Fansurullah Asa pernah bersurat resmi ke KPK untuk diaudit tehnologinya, namun tidak ada realisasinya entah apa alasannya,” kata Yusri.
Indikasi lainnya, menurut Yusri, Presiden Jokowi mengungkapkan untuk kelima kalinya bahwa tidak ada negara yang mampu mensubsidi sebesar itu dalam kondisi global terancaman krisis energi dan krisis pangan, serta krisis keuangan akibat dampak perang Rusia dengan Ukraina.
Ucapan itu dilontarkan Presiden Jokowi di hadapan semua Pimpinan Lembaga Tinggi Negara yang diundang ke Istana Presiden pada Jumat (12/8). Hadir di antaranya Ketua MPR, Ketua DPR, Ketua DPD, Ketua Makamah Konstitusi, Ketua Makamah Agung, Ketua BPK dan Ketua Komisi Yudisial.
Sebelumnya, Presiden Jokowi juga sudah pernah menyampaikan hal itu di hadapan forum silahturami PPAD (Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat) di Sentul Jawa Barat, Jumat (5/8). Jokowi mengatakan, subsidi tersebut ditujukan untuk beberapa jenis barang, antara lain LPG 3 kg dan tarif listrik dengan kapasitas di bawah 3.000 VA, serta Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis pertalite yang kini dijual Rp 7.650.
“Kita patut bersyukur, Alhamdulillah kalau bensin di negara lain BBM harganya sudah Rp 32 ribu atau Rp 31 ribu, di Indonesia pertalite masih Rp 7.650,” kata Yusri menirukan ucapan presiden.
Yusri berpendapat agak kurang tepat jika Presiden Jokowi membandingkan harga BBM Indonesia dengan negara lain yang menjual Rp 31 ribu per liter itu. “Sebab, tidak sepadan atau tidak ‘apple to apple’. Kenapa bisa demikian, mungkin Presiden mendengar masukkan yang salah,” terangnya.
Lanjut Yusri, begitu juga soal kesulitan PLN dalam memenuhi kebutuhan batubara sebagai energi primernya. Hampir 60 persen dari seluruh pembangkit listrik PLN menggunakan batubara. Namun, akibat perubahan UU Minerba nomor 3 tahun 2020, hilang kesempantan BUMN Tambang dan anak usaha PLN bisa menguasai 7 tambang raksasa PKP2B milik taipan batubara yang sudah berakhir kontraknya.
“Akibatnya PLN mengemis pasokan batubara berupa kewajiban DMO (Domestic Market Obligation). Saya menilai harus diusut siapa pembisik presiden sehingga mau menyetujui perubahan UU Minerba itu?” geram Yusri.
Parahnya, ada komentar Menteri BUMN Erick Thohir bahwa tidak tepat membandingkan harga BBM Pertamina dengan Malaysia. “Jadi Erick mau dibandingkan dengan negara mana? Sebutkan dong dengan negara mana tepatnya dibandingkan, bukan asal membantah,” tanya Yusri.
Jadi, tegas Yusri, membandingkan harga BBM Indonesia dengan Malaysia, jauh lebih tepat dari negara lainnya, karena karakteristiknya hampir sama-sama sebagai net importir juga.
“Hanya kita angka import sudah mencapai sekitar 60 persen dari total komsumsi nasional yang katanya hari ini sudah mencapai 1,5 juta barel perhari, tetapi kalau Malaysia hanya sekitar 20 persen importnya,” tambah Yusri.
Selain itu, sambung Yusri, beda pola distribusi Pertamina memang jauh lebih rumit dari pada Malaysia, karena negara kepulauan, pola distribusi paling rumit di dunia tidak bisa dibantah.
“Jadi soal beban biaya distribusi saja yang berbeda, beban itupun selisihnya tidak terlalu signifikan terhadap harga keekonomian BBM, yang signifikan adalah harga minyak mentah dunia dan nilai tukar rupiah serta biaya pengolahaan di kilang” ungkapnya.
Seharusnya, ulas Yusri, dicari akar masalah apa penyebab harga keekonomian BBM Pertamina jauh lebih tinggi dibandingkan harga BBM Malaysia. “Harus diketahui, selain ada komorbid atau penyakit bawaan Pertamina yang rentan terhadap posisi harga minyak mentah dunia, ternyata proses bisnis di Pertamina tidak efisien dari hulu ke hilir,” kata Yusri.
Menurutnya, ada pun komorbidnya, antara lain beberapa kontrak-kontrak LNG jangka panjang yang saat ini sudah disidik KPK. Kemudian articipating Interest (PI) blok migas di luar negeri yang dananya bersumber dari penjualan global bond Pertamina yang katanya sudah mencapai USD 10 miliar diduga indikasi hengkinya kental. Oleh sebab itu pernah ditolak Ahok sebagai Komut, fokus saja eksplorasi didalam negeri lebih baik.
Dijelaskan, ternyata tidak efisienya proses bisnis Pertamina secara menyeluruh juga berimbas langsung ke masyarakat sangat dirugikan sebagai pengguna BBM, yaitu tidak bisa menikmati harga BBM murah dan berkualitas yaitu standar Euro 4. Terbukti BBM Pertamina yang memenuhi standar Euro 4 hanya jenis Pertamax Turbo dan Pertamina Dex, selebihnya standar Euro 2.
“Jelas ini jadi penyebab buruknya kualitas udara di kota-kota besar Indonesia, tentu yang menjadi korban adalah kesehatan masyarakat di pinggir jalan yang menghirup udara kotor itu bisa menimbulkan penyakit, padahal mereka bukan pengguna langsung BBM,” kata Yusri.
Yusri menambahkan, perlu diketahui pada tahun 2018 menjelang berlangsung acara Asian Games di Jakarta, CERI pernah diundang khusus oleh Menteri LHK Siti Nurbaya untuk membahas dampak kualitas BBM Pertamina yang masih Standard Euro 2 yang menyebabkan kualitas udara buruk dan masyarakat penghirup udara di pinggir jalan bisa berpotensi terjangkit penyakit kangker.
“Saat pertemuan itu, Ibu Menteri LHK hanya didampingi oleh Dirjen Pencemaran Udara, Ir Karliansyah. Pada prinsipnya Ibu Menteri sangat kuatir terhadap kualitas BBM Pertamina berpotensi merusak kesehatan masyarakat, itu ada hasil penelitiannya,” kata Yusri.
Akibat sangat prihatinnya, didisarankan membuat surat resmi terkait hal tersebut kepada Menko Maritim dan Investasi, agar menjadi perhatian serius Pemerintah.
“Tetapi faktanya proyek Upgrading Kilang Pertamina atau GRR (Gross Root Refenery) yang direncanakan bisa menghasilkan BBM kualitas Euro 5 hingga saat ini molor semuanya, maka kualitas BBM kita memang menyedihkan,” paparnya.
Dijelaskan Yusri, jika dibandingkan harga BBM di Indonesia dengan Malaysia saja, periode 3 Agustus 2022 hingga 11 Agustus 2022, BBM Pertamina sudahlah sangat mahal dan buruk kualitasnya.
“Data terakhir ini menunjukkan bahwa, harga jual BBM jenis RON 95 di Malaysia hanya RM 2.05 atau Rp 6.850,-perliter, diesel RM 2.15 atau Rp 7200,- perliter ( kedua jenis tersebut ada subsudi RM 2,05 perliter), serta harga Gasoline RON 97 tanpa subsidi seharga RM 4.55 atau Rp 15.200 perliter (1RM = Rp 3.340 ),” kata Yusri.
Pola Tunjuk Langsung Sesama Anak Usaha Praktik Bisnis Tidak Sehat
Diakui Yusri, kondisi pengadaan barang dan jasa dari sektor hulu ke hilir akibat Peraturan Menteri BUMN nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Cara Pengadaan Barang dan Jasa Dilingkungan BUMN yang dibuat oleh Eric Thohir ikut menyumbang ketidak efisienan itu.
“Sebaiknya minimalkan proses tunjuk langsung antara sesama BUMN maupun anak usahanya, kecuali untuk keahlian khusus atau menggunakan tehnologi yang belum dimiliki oleh pihak swasta nasional tidak menjadi masalah. Namun jika pekerjaan remeh temeh seperti persiapan lokasi bor juga main tunjuk langsung ini namanya sontoloyo, perkiraan kami bisa hilang efisiensinya dari 10% hingga 15% bagi Pertamina jika penujukan langsung itu tetap dilakukan,” kata Yusri.
Yusri menegaskan, Permen BUMN itu selain bertentangan dengan UU nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, harus digugat.
Terbaru, kata Yusri, dua minggu yang lalu pihaknya telah mengungkapkan adanya topeng Sinergi Inkorporasi yang digagas oleh Direktur SDM dan Penunjang Bisnis Subholding PT Pertamina Hulu Energi Oto Gurnita.
“Proses penunjukan langsung antar anak dan cucu perusahaan dari rencana senilai USD 2,16 miliar atau Rp 32,4 triliun, kemudian menjadi target prioritasnya USD 738 atau setara Rp 11,07 triliun,” imbuh Yusri.
Padahal, kata Yusri, CERI sejak 25 Juli 2022 telah mengirim surat mohon Konfirmasi kepada Direktur SDM Penunjang Bisnis PT PHE Oto Garnita.
“Namun hingga hari ini dia bungkam terkait pertanyaan kami itu, proyek Sinergi Inkorporasi idenya dari mana dan apakah sudah dibuat kajian dampak buruknya bagi dunia jasa konstruksi migas swasta nasional, termasuk apakah ada kepentingan dengan oknum timses kandidat Capres 2024 yang rumornya rajin mengganggu direksi-direksi BUMN?” tegasnya.
Dari dokumen Sinergi Inkorporasi yang dimiliki CERI, anak anak usaha Pertamina, yaitu PDC menguasai 121 paket, PT Elsa 89 paket, PT PDSI 36 Paket, PBAS 67 paket, ETSA 45 paket, PGSOL 30 paket, PTK 44 paket, EFK 43 paket, PATLOG 31 paket, PKJ 31 paket, PKG 33 paket, PGNMA 18 paket, IAS 28 paket, PIS 2 paket, EFN 12 dan PKT 14 paket serta lainnya 91 paket.
“Untuk itu, kami mengapresiasi tinggi kepada Dirut PT PGN Tbk Haryo Yunanto yang pada 5 Agustus 2022, Subholding PT PGN Tbk telah bersurat ke Subholding lainnya di Pertamina Holding untuk tidak melibatkan PT PGAS Solution diproyek proyek didalam group Pertamina melalui Sinergi Inkorporasi, PT PGAS Sulution supaya fokus saja dalam proyek jaringan gas (jargas) yang telah ditugasin oleh Pemerintah harus cepat terealisasi,” ujarnya.
“Jadi langkah Dirut PGN Tbk inilah yang harusnya ditiru oleh Direksi Subholding Pertamina lainnya,tutup Yusri,” tutupnya. (dek)