Zambia Lakukan Upacara Tabur Bunga Jelang Final Piala Afrika
Bukan hanya Manchester United atau Torino saja yang pernah bersedih akibat tragedi jatuhnya pesawat yang mengangkut skuadnya. Dari Afrika, timnas Zambia juga pernah mengalaminya pada 1993 lalu.
BEGITU tiba di Libreville, Gabon, kemarin, untuk persiapan jelang final Piala Afrika 2012 pada Senin dini hari WIB (13/2), penggawa timnas Zambia tak langsung menuju tempat latihan. Tapi, mereka justru berangkat ke sebuah pantai di wilayah Libreville. Mereka bukan datang untuk berwisata.
Namun, di pantai yang dipenuhi banyak sampah itu mereka melakukan upacara tabur bunga. Kenapa harus di sana? Ternyata, pantai tersebut merupakan titik terdekat dari jatuhnya pesawat Zambian Air Force Buffalo DHC-5D. Pesawat itu mengangkut skuad Zambia yang akan bertarung pada kualifikasi Piala Dunia 1994 melawan Senegal di Dakar.
Nah, sekitar 500 meter dari bibir pantai itulah, pesawat naas tersebut jatuh setelah singgah mengisi bahan bakar di bandara Libreville pada 27 April 1993 lalu. Akibat insiden itu, Zambia kehilangan 18 pemain, empat staf pelatih, dan tiga petinggi FAZ (asosiasi sepak bola Zambia).
Itu belum ditambah dengan lima kru pesawat. Kecelakaan tersebut menjadi hari berkabung nasional.
Pemerintah Zambia pun sampai membuat monumen khusus di Acre, Lusaka, untuk mengingatkan tragedi menyedihkan tersebut.
Kini, setelah 19 tahun berlalu, timnas Zambia kembali lagi ke Gabon.
Tapi, bukan untuk mengisi bahan bakar pesawat, melainkan untuk menjalani pertandingan final Piala Afrika2012.
Merekahanyatinggalselangkah untuk meraih gelar pertama sepanjang keikutsertaan di ajang itu.
“Begitu tiba di Libreville, memang menjadi agenda kami untuk pergi lokasi ini. Kami akan memberikan penghormatan kepada arwah para pahlawan itu. Sangat penting bagi kami bermain demi mereka dan Zambia,” kata Herve Renard, pelatih Zambia, seperti dikutip AFP.
Renard menjadikan spirit tragedi 1993 sebagai pembakar semangat pasukannya. “Satu hal yang membuat kami termotivasi adalah karena tragedi itu. Bila dulu yang terjadi adalah duka, maka kami kembali untuk membawa kesenangan,” terang Renard.
Kapten Zambia Chris Katongo juga punya pandangan serupa.
“Sungguh luar biasa karena kami memainkan final di Gabon. Masyarakat Zambia selalu mengingat tragedi 1993, dan karena final di Gabon, mereka yakin inilah takdir kami untuk juara,” ujar Katongo.
Sebagian besar para pemain yang sekarang membela Zambia masih anak-anak ketika tragedi itu terjadi.
Makanya, yang memimpin penghormatan itu adalah Kalusha Bwalya, kapten Zambia saat tragedi berlangsung dan Presiden FAZ sekarang.
Bwalya yang juga merupakan anggota skuad itu, lolos dari maut karena tidak ikut penerbangan yang sama.
Karena bermain di Eropa membela klub Belanda PSV Eindhoven, membuat dirinya harus terbang sendirian langsung dari Eropa ke Dakar.
Padahal, menurut Bwalya, skuad ketika itu sangat tangguh dan berpeluang besar lolos ke putaran final Piala Dunia 1994. “Anda bisa melihat koneksi dari pasukan 1993 dengan sekarang. Mereka memiliki determinasi yang sama, sikap, kepercayaan diri, dan motivasi. Mereka tahu akan sejarah mereka dan saya pikir inilah kesempatan kami,” kata Bwalya.
“Mereka yang meninggal 19 tahun lalu, memiliki motivasi yang sama dengan kami sekarang. Mereka ingin membuat bangga negaranya, Zambia.
Makanya, mereka akan tetap hidup dalam semangat kami pada final nanti,” kata Bwalya. (ham/bas/jpnn)