26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Minta Masyarakat Kaji dan Teliti KUHP

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Masyarakat yang menolak KUHP yang sudah disahkan diminta untuk mengkaji, meneliti dan membaca satu per satu pasal atau ketentuan didalamnya. Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto mengatakan tugas DPR sudah selesai dengan disahkannya RKUHP menjadi KUHP. Bola panas KUHP pun kini ia serahkan ke pemerintah.

Bambang Pacul, sapaan akrab Bambang Wuryanto mengatakan, pihaknya tidak pernah menyatakan bahwa RKUHP merupakan pekerjaan yang sempurna, karena itu adalah produk dari manusia. “Jadi, tidak akan pernah sempurna,” terangnya.

Politisi PDI Perjuangan (PDIP) itu mengatakan, jika ada yang menemukan kekurangan yang menganggu, tidak sepakat dengan pasal yang ada, maka mereka bisa menempuh jalur hukum. Mereka bisa datang ke MK untuk mengajukan uji materi. “Tidak perlu demo, tempuh jalur hukum saja,” paparnya.

Pacul menambahkan, RKUHP yang sudah disahkan itu akan menjadi rujukan dalam penegakan hukum. Banyak kehidupan masyarakat yang diatur dalam UU tersebut. Yang jelas, lanjut Pacul, UU itu akan menjadi bacaan semua masyarakat Indonesia.

Sementara itu pengesahan UU KUHP terus mendapatkan respon negatif dari sejumlah kalangan. Diantaranya disampaikan oleh Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI Kunto Adi Wibowo. Menurut dia dengan disahkannya UU KUHP tersebut, kian meningkatkan ancaman terhadap ruang sipil.

Kekhawatiran tersebut muncul dari analisa pemberitaan dalam kurun 2020-2021 lalu. Menurut dia sepanjang kurun waktu tersebut, ancaman terhadap penyempitan ruang sipil cenderung meningkat. ’’Ditambah dengan disahkannya UU KUHP dengan sejumlah pasal kontroversinya,’’ katanya di Jakarta kemarin.

Kunto menegaskan UU KUHP tersebut berpotensi membelenggu kebebasan berpendapat. Sehingga berakibat sistem demokrasi di Indonesia semakin mundur. Dia mengatakan Indonesia sebagai demokrasi, tetapi anehnya kebebasan menyampaikan pendapat malah dibelenggu.

Dengan produk hukum yang lama saja, banyak masyarakat yang merasa dikriminalisasi. Dia khawatir dengan UU KUHP tersebut, upaya kriminalisasi justru semakin banyak. Dari pengamatannya selama dua tahun terakhir, praktik kriminalisasi banyak muncul pada persoalan tambang dan kemasyarakatan.

Dalam forum yang sama pegiat HAM Sekolah Tinggi Hukum Jentera Asfinawati mengkhawatirkan setelah keluarnya UU KUHP tersebut, Indonesia menjadi semakin seperti masa orde baru (Orba). ’’Zaman orba dan sekarang tidak ada bedanya,’’ katanya.

Dia mencontohkan aksi buruh selama masa Presiden Joko Widodo, hanya satu kali bisa digelar di depan istana. Sisanya sampai saat ini hanya mentok di Patung Kuda yang berjarak hampir 1 km dari dari istana.

Asfinawati juga menyampaikan UU KUHP tersebut membuat kerja jurnalis menjadi terancam. Sebab tiga tahun lagi, ketika aturan UU KUHP efektif berjalan, jurnalis bisa terkana pasal pidana karena beritanya. Sebab ada pasal yang bunyinya kurang lebih, setiap orang yang menyiarkan informasi belum pasti, berlebih-lebihan, menyebabkan kerusuhan, bisa terkna pidana.

Dia menegaskan di dalam UUD 1945 disebutkan bahwa Indonesia berdasarkan kedaulatan rakyat. Jadi sebelum urusan pemerintah, kedaulatan rakyat harus diutamakan. Termasuk adanya kepolisian sebagai alat negara, tugasnya untuk negara. Bukan untuk alat melindungi pemerintah atau korporasi.

Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H. Laoly menegaskan pengesahan KUHP merupakan momen bersejarah dalam penyelenggaraan hukum pidana di Indonesia. Menurutnya, setelah bertahun-tahun menggunakan KUHP produk Belanda, saat ini Indonesia telah memiliki KUHP sendiri.

“Kita patut berbangga karena berhasil memiliki KUHP sendiri, bukan buatan negara lain. Jika dihitung dari mulai berlakunya KUHP Belanda di Indonesia tahun 1918, sudah 104 tahun sampai saat ini. Indonesia sendiri telah merumuskan pembaruan hukum pidana sejak 1963,” ujar Yasonna dalam keterangan tertulis yang diterima Jawa Pos, kemarin.

Menurut Yasonna, produk Belanda tetsebut sudah tidak relevan lagi dengan kondisi dan kebutuhan hukum pidana di Indonesia. Hal itu menjadi salah satu urgensi pengesahan RUU KUHP. Dia pun menegaskan KUHP yang baru saja disahkan telah melalui pembahasan secara transparan, teliti, dan partisipatif.

Meskipun demikian, Yasonna mengakui perjalanan penyusunan RKUHP tidak selalu mulus. Pemerintah dan DPR sempat dihadapkan dengan pasal-pasal yang dianggap kontroversial. Seperti pasal penghinaan Presiden, pidana kumpul kebo, pidana santet, vandalisme, hingga penyebaran ajaran komunis. Yasonna menegaskan bahwa pasal-pasal dimaksud telah melalui kajian berulang secara mendalam. (lum/wan/tyo)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Masyarakat yang menolak KUHP yang sudah disahkan diminta untuk mengkaji, meneliti dan membaca satu per satu pasal atau ketentuan didalamnya. Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto mengatakan tugas DPR sudah selesai dengan disahkannya RKUHP menjadi KUHP. Bola panas KUHP pun kini ia serahkan ke pemerintah.

Bambang Pacul, sapaan akrab Bambang Wuryanto mengatakan, pihaknya tidak pernah menyatakan bahwa RKUHP merupakan pekerjaan yang sempurna, karena itu adalah produk dari manusia. “Jadi, tidak akan pernah sempurna,” terangnya.

Politisi PDI Perjuangan (PDIP) itu mengatakan, jika ada yang menemukan kekurangan yang menganggu, tidak sepakat dengan pasal yang ada, maka mereka bisa menempuh jalur hukum. Mereka bisa datang ke MK untuk mengajukan uji materi. “Tidak perlu demo, tempuh jalur hukum saja,” paparnya.

Pacul menambahkan, RKUHP yang sudah disahkan itu akan menjadi rujukan dalam penegakan hukum. Banyak kehidupan masyarakat yang diatur dalam UU tersebut. Yang jelas, lanjut Pacul, UU itu akan menjadi bacaan semua masyarakat Indonesia.

Sementara itu pengesahan UU KUHP terus mendapatkan respon negatif dari sejumlah kalangan. Diantaranya disampaikan oleh Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI Kunto Adi Wibowo. Menurut dia dengan disahkannya UU KUHP tersebut, kian meningkatkan ancaman terhadap ruang sipil.

Kekhawatiran tersebut muncul dari analisa pemberitaan dalam kurun 2020-2021 lalu. Menurut dia sepanjang kurun waktu tersebut, ancaman terhadap penyempitan ruang sipil cenderung meningkat. ’’Ditambah dengan disahkannya UU KUHP dengan sejumlah pasal kontroversinya,’’ katanya di Jakarta kemarin.

Kunto menegaskan UU KUHP tersebut berpotensi membelenggu kebebasan berpendapat. Sehingga berakibat sistem demokrasi di Indonesia semakin mundur. Dia mengatakan Indonesia sebagai demokrasi, tetapi anehnya kebebasan menyampaikan pendapat malah dibelenggu.

Dengan produk hukum yang lama saja, banyak masyarakat yang merasa dikriminalisasi. Dia khawatir dengan UU KUHP tersebut, upaya kriminalisasi justru semakin banyak. Dari pengamatannya selama dua tahun terakhir, praktik kriminalisasi banyak muncul pada persoalan tambang dan kemasyarakatan.

Dalam forum yang sama pegiat HAM Sekolah Tinggi Hukum Jentera Asfinawati mengkhawatirkan setelah keluarnya UU KUHP tersebut, Indonesia menjadi semakin seperti masa orde baru (Orba). ’’Zaman orba dan sekarang tidak ada bedanya,’’ katanya.

Dia mencontohkan aksi buruh selama masa Presiden Joko Widodo, hanya satu kali bisa digelar di depan istana. Sisanya sampai saat ini hanya mentok di Patung Kuda yang berjarak hampir 1 km dari dari istana.

Asfinawati juga menyampaikan UU KUHP tersebut membuat kerja jurnalis menjadi terancam. Sebab tiga tahun lagi, ketika aturan UU KUHP efektif berjalan, jurnalis bisa terkana pasal pidana karena beritanya. Sebab ada pasal yang bunyinya kurang lebih, setiap orang yang menyiarkan informasi belum pasti, berlebih-lebihan, menyebabkan kerusuhan, bisa terkna pidana.

Dia menegaskan di dalam UUD 1945 disebutkan bahwa Indonesia berdasarkan kedaulatan rakyat. Jadi sebelum urusan pemerintah, kedaulatan rakyat harus diutamakan. Termasuk adanya kepolisian sebagai alat negara, tugasnya untuk negara. Bukan untuk alat melindungi pemerintah atau korporasi.

Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H. Laoly menegaskan pengesahan KUHP merupakan momen bersejarah dalam penyelenggaraan hukum pidana di Indonesia. Menurutnya, setelah bertahun-tahun menggunakan KUHP produk Belanda, saat ini Indonesia telah memiliki KUHP sendiri.

“Kita patut berbangga karena berhasil memiliki KUHP sendiri, bukan buatan negara lain. Jika dihitung dari mulai berlakunya KUHP Belanda di Indonesia tahun 1918, sudah 104 tahun sampai saat ini. Indonesia sendiri telah merumuskan pembaruan hukum pidana sejak 1963,” ujar Yasonna dalam keterangan tertulis yang diterima Jawa Pos, kemarin.

Menurut Yasonna, produk Belanda tetsebut sudah tidak relevan lagi dengan kondisi dan kebutuhan hukum pidana di Indonesia. Hal itu menjadi salah satu urgensi pengesahan RUU KUHP. Dia pun menegaskan KUHP yang baru saja disahkan telah melalui pembahasan secara transparan, teliti, dan partisipatif.

Meskipun demikian, Yasonna mengakui perjalanan penyusunan RKUHP tidak selalu mulus. Pemerintah dan DPR sempat dihadapkan dengan pasal-pasal yang dianggap kontroversial. Seperti pasal penghinaan Presiden, pidana kumpul kebo, pidana santet, vandalisme, hingga penyebaran ajaran komunis. Yasonna menegaskan bahwa pasal-pasal dimaksud telah melalui kajian berulang secara mendalam. (lum/wan/tyo)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/