JAKARTA, SUMUTPOS.CO – PAKAR hukum tata negara, Bivitri Susanti menyebut, penerbitan Perppu tersebut sangat menabrak hal-hal yang prinsipil. “Ini menggambarkan pola pikir yang benar-benar pro pengusaha dengan menabrak hal-hal prinsipil. Paling tidak dari segi hukum ada dua kesalahan,” kata Bivitri, Senin (2/1).
Pertama, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa UU Cipta Kerja Omnibus Law inkonstitusional bersyarat. Sehingga perlu adanya perbaikan, sampai tenggat waktu dua tahun. “Artinya, UU itu tidak bisa dilaksanakan, tidak punya daya ikat, jadi buat apa kelaurkan Perppu untuk revisi sebagian ini? Ini menguatkan amatan kami di lapangan, pemerintah memang mengabaikan putusan MK itu dan melaksanakan terus UU Cipta Kerja itu,” tegas Bivitri.
Kedua, tidak ada hal kegentingan yang memaksa. Menurut Bivitri, Pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja pada masa libur tahun baru dan juga masa reses DPR RI. Sehingga, tidak ada hal kegentingan untuk menerbitkan Perppu Cipta Kerja. “Ini sama saja presiden ingin mengambil jalan pintas, supaya keputusan politik pro pengusaha ini cepat keluar, menghindari pembahasan politik dan kegaduhan publik. Ini langkah culas dalam demokrasi. Pemerintah benar-benar membajak demokrasi,” cetus Bivitri.
Senada juga disampaikan Direktur Pusat Studi dan Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari. Menurut Feri, penerbitan Perppu tersebut inkonstitusional dan menabrak aturan hukum. “Ini jelas-jelas langkah inkonstitusional yang ditempuh oleh presiden. Padahal MK meminta perbaikan dua tahun UU tersebut, artinya tidak ada hal ihwal kegentingan memaksa yang menjadi dasar presiden mengeluarkan Perppu,” ujar Feri.
Sebagai kepala negara, Presiden Jokowi seharusnya taat hukum. Tidak seharusnya mengakali dengan berbagai cara untuk pembenaran langkah-langkah politis. Presiden seharusnya memahami tata cara pembuatan peraturan perundang-undangan. “Jika presiden tak memahami ketatanegaraan, mestinya seluruh lingkaran di sekeliling yang tidak paham diberhentikan saja,” cetus Feri.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2011-2015, Bambang Widjojanto menilai, Perppu tentang Cipta Kerja yang diterbitkan Presiden Jokowi telah melecehkan marwah Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu lantaran MK dalam putusan nomor: 91/PUU-XVIII/2020 meminta pemerintah memperbaiki UU Cipta Kerja yang inkonstitusional bersyarat dalam jangka waktu paling lama dua tahun hingga 25 November 2023, bukan dengan menerbitkan Perppu.
“Penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 ‘menantang’ Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 untuk tidak menyebutnya ‘mengorupsi’ hingga dapat disebut sebagai State Captured Corruption. Penerbitan Perppu juga dapat dikualifikasi sebagai suatu sikap dan perilaku yang bersifat melecehkan, menyepelekan dan mendekonstruksi muruah Mahkamah Konstitusi,” ujar BW sapaan akrabnya lewat keterangan tertulis, Senin (2/1).
BW memandang kegentingan memaksa yang salah satunya adalah dampak perang Rusia-Ukraina terhadap perekonomian Indonesia sebagaimana disampaikan pemerintah adalah alasan yang prematur. Dia menyatakan pemerintah memanipulasi argumentasi kegentingan yang memaksa tersebut sebagai syarat mengeluarkan Perppu. Dia pun mengutip pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam acara Outlook Perekonomian Indonesia 2023 yang pokoknya menyatakan, kondisi perekonomian Indonesia berada dalam posisi yang stabil, baik dari sisi makro ekonomi, fiskal moneter dan sektor keuangan secara umum.
Dosen Pascasarjana Universitas Djuanda ini menilai, penerbitan Perppu Cipta Kerja merupakan bentuk kesewenangan pemerintah. “Pengundangan Perppu itu justru mempertontonkan, bukan penggunaan kewenangan kekuasaan tapi justru indikasi tindak kesewenangan di mana ada kepongahan, kedegilan dan kebrutalan yang mengatasnamakan kewenangan,” tukas BW.
“Ada indikasi kuat kekuasaan telah melakukan ‘subversi’ dengan cara ‘menyabotase’ pelaksanaan putusan MK melalui penerbitan Perppu,” tambahnya.
Sementara itu, Indonesia Memanggil (IM57+) Institute menyatakan, konstitusi kini telah dikorupsi. Jokowi dinilai telah mengakali putusan MK yang sebelumnya menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dengan menerbitkan Perppu.
Organisasi bentukan puluhan mantan pegawai KPK yang dipecat karena disebut tak lolos asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) ini mengkhawatirkan tindakan serupa akan terulang kembali untuk aturan-aturan lainnya. “IM57+ Institute melihat potensi berbahaya yang dapat menjadikan Indonesia menjadi negara yang Rule by Law daripada Rule of Law, sehingga kekuasaan eksekutif menggunakan kekuatan hukumnya sebagai upaya paksa untuk menghindari esensi demokrasi,” kata Ketua IM57+ Institute M Praswad Nugraha.
Mahkamah Konstitusi (MK) enggan menanggapi polemik Perppu tentang Ciptaker ini. “MK tidak ikut menyampaikan statement karena baik Perppu maupun UU potensial diuji dan menjadi perkara di MK,” kata Juru Bicara MK, Fajar Laksono , Senin (2/1).
Fajar menyatakan MK hanya menuangkan pendapat pada saat memutus suatu perkara. “Sekiranya MK menyatakan pendapat, itu disampaikan hanya melalui pendapat hukum dalam putusan perkara dimaksud,” terang dia.
Buruh Siap Judicial Review
Penolakan tegas juga disampaikan serikat buruh, usai mempelajari dan membandingkan antara salinan Perppu Cipta Kerja tersebut dengan UU Cipta Kerja dan UU No 13 Tahun 2003. Karenanya, sejumlah langkah telah disiapkan serikat buruh untuk menjegal jalan Perppu yang diteken Presiden Jokowi pada 30 Desember 2022 lalu. “Kita akan mempertimbangkan sejumlah langkah,” ujar Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Presiden Partai Buruh Said Iqbal dalam konferensi pers, secara daring, kemarin (1/1).
Langkah tersebut dimulai dengan agenda lobi-lobi. Dari upaya ini, diharapkan buruh dapat berkesempatan bertemu dengan Jokowi dan memberikan masukan terkait perubahan perppu. Langkah lain, buruh akan kembali mengajukan langkah hukum dengan melakukan judicial review. Seperti diketahui, serikat buruh juga sukses membuat UU Ciptaker wajib diperbaiki lantaran dinyatakan inkonstitusional bersyarat atas gugatan uji formil oleh Migrant Care.
Selain itu, buruh juga akan mempertimbangkan langkah aksi besar-besaran bila Perppu tetap dijalankan. “Tentang kapan waktu pelaksanaan aksi dan gugatan, kami akan diskusikan terlebih dahulu dengan elemen yang ada Partai Buruh,” jelas Iqbal.
Dalam kesempatan tersebut, Iqbal secara rinci memaparkan sejumlah pasal pada Perppu yang ditolak oleh buruh. Pertama, pasal tentang upah minimum. Menurutnya, ketentuannya sama dengan isi UU Ciptaker yang sejak awal ditolak oleh para buruh. Di mana, dalam Perppu, upah minimum (UM) kabupaten/kota digunakan istilah dapat ditetapkan oleh Gubernur. Yang artinya, bisa ada bisa tidak, tergantung Gubernur. Sementara, buruh minta redaksinya adalah Gubernur menetapkan upah minimum kabupaten/kota.
Hal lainnya terkait UM ialah soal kenaikannya yang bergantung pada inflansi atau pertumbuhan ekonomi. Lagi-lagi penggunaan kata “atau” membuatnya harus dipilih antara inflasi atau pertumbuhan ekonomi. Padahal, pada UU 13/2003 didasarkan pada survey kebutuhan hidup layak dan turunannya PP 78/2015 menggunakan inflansi dan pertumbuhan ekonomi. “Harusnya menggunakan kata “dan”, jadi akumulasi dari keduanya,” tegasnya.
Belum lagi adanya variabel indeks tertentu yang turut menjadi patokan kenaikan. Padahal, menurut dia, dalam hukum ketenagakerjaan tidak pernah dikenal indeks tertentu dalam menentukan upah minimum.
Kemudian, dalam 88F yang berbunyi, dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2). Buruh berpendapat, ini seperti memberikan mandat kosong kepada pemerintah. Sehingga bisa seenaknya mengubah-ubah aturan. “Permasalahan lain terkait dengan pengupahan, Perppu juga menegaskan hilangnya upah minimum sektoral,” keluhnya.
Catatan kedua yang ditolak buruh adalah outsourcing atau alih daya. Dalam Perppu disebutkan, perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis. Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan dalam Peraturan Pemerintah. “Ukurannya apa jika diserahkan kepada peraturan pemerintah? Bisa seenak-enaknya dong?,” tuturnya. Untuk itu, pihaknya meminta aturan outsourcing harus kembali ke UU No 13/2003, dengan ada batasan yang jelas.
Soal pesangon juga turut menjadi perhatian serikat buruh. Dalam Perppu tersebut tidak ada perubahan. Padahal, buruh jelas meminta kembali pada UU No 13 Tahun 2003. “Jika upah di tingkat manager atau direksi dinilai terlalu tinggi, bisa dibuat batasan,” sambungnya.
Lalu mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang di UU Cipta Kerja tidak dibatasi periode kotraknya. Di Perppu pun tidak ada perubahan. Buruh jelas menolak hal ini karena pasal terkait pkwt ini bisa dijadikan dalih perusahaan membuat kontrak kerja berulangkali tanpa pengangkatan. “Kemudian soal PHK, juga tidak ada perubahan. Masih sama dengan UU Cipta Kerja. Partai Buruh menolak system mudah rekrut mudah PHK,” jelasnya. Hal yang sama juga terjadi mengenai tenaga kerja asing.
Tak ada perubahan dalam perppu. Karenanya, partai Buruh menolak dan meminta harus ada aturan tegas untuk TKA. Bila izin belum keluar, tidak boleh bekerja. Diakui Iqbal, serikat buruh sejatinya lebih memilih pola Perppu ketimbang omnibus law UU Cipta Kerja dibahas di Pansus atau Baleg DPR RI.
Pilihan itu diambil setelah mempertimbangkan pengalaman di awal pembahasan UU Ciptaker, di mana buruh, petani, nelayan, kelas pekerja merasa dibohongi oleh DPR. “Maka pembahasan ulang UU Cipta Kerja ini kami menolak atau tidak setuju terhadap dilakukan di DPR RI,” ujarnya.
DPR dinilai tidak hanya “menyakiti” buruh dalam kasus omnibus law, tetapi juga lahirnya UU KUHP yang di dalamnya ada pasal karet yang rentan terjadi kriminalisasi. Buruh juga tidak setuju dengan UU PPSK, khususnya terkait JHT yang tidak bisa diambil 100 persen saat PHK dan harus menunggu masa pensiun dengan adanya istilah akun utama dan akun tambahan. Dan yang terdahulu UU KPK, KPK dilemahkan. UU PPRT bahkan tidak kunjung disahkan meski sudah 17 tahun. “Fakta-fakta itulah yang membuat buruh tidak percaya dengan DPR RI yang sekarang,” tegasnya. (jpc/adz)