26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Kuat dan Ricky Divonis Lebih Berat dari Tuntutan JPU

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kuat Ma’ruf dan Ricky Rizal divonis lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Majelis Hakim memvonis Kuat dengan hukuman 15 tahun penjara, lebih tinggi dari Ricky yang divonis 13 tahun penjara. Majelis Hakim menilai, keduanya berbelit-belit dalam memberikan kesaksian selama persidangan.

Untuk Kuat, hakim memberikan alasan pemberat lainnya. Yakni, meyakinkan Ferdy Sambo soal kejadian pelecehan seksual di Magelang dan tidak sopan selama persidangan. Ketidaksopanan itu bahkan tercermin dalam sidang vonis terhadap Kuat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kemarin (14/2)n

Sidang vonis dengan terdakwa Kuat memang dijadwalkan menjadi yang pertama.

Sesaat sebelum dimulai, tampak Kuat menuju ke ruang persidangan dengan dijaga banyak personel kepolisian, setelah melepaskan baju tahanan di depan pintu ruang sidang. Dia mengenakan kemeja putih dengan celana panjang hitam.

Saat memasuki ruang sidang, Kuat mengangkat tangannya ke arah pengunjung sidang dan menunjukkan tangannya yang membentuk tanda finger love. Dia lantas duduk mendengarkan vonis yang dibacakan majelis hakim.

Dalam pembacaan vonis tersebut, Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso menyatakan, Kuat Ma’ruf terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah turut serta dalam melakukan pembunuhan berencana terhadap Yosua. Sesuai dengan dakwaan jaksa penuntut umum (JPU). “Menjatuhkan pidana penjara selama 15 tahun terhadap terdakwa Kuat Ma’ruf,” jelasnya.

Kuat diputus melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP. Putusan 15 tahun penjara itu lebih berat dari tuntutan JPU yang hanya delapan tahun penjara. Dalam pertimbangannya majelis hakim menyebut bahwa ada waktu tiga menit untuk Kuat meyakinkan Ferdy Sambo terkait insiden pelecehan seksual di Magelang. “Pertemuan terdakwa dengan Ferdy Sambo diketahui dari analisa CCTV,” ujar Hakim Anggota Morgan Simanjuntak.

Dari analisa tersebut, Putri mengajak Kuat masuk ke lift menuju ke lantai 3 rumah Saguling sekitar pukul 15.00. Kejadian itu seusai keduanya tes PCR Covid 19 yang dilakukan Putri. “Terdakwa Kuat turun dari lift pukul 15.03,” terangnya.

Diketahui di mana lantai tiga rumah Saguling merupakan, area private untuk keluarga inti Sambo. Ajudan dan asisten rumah tangga dilarang masuk ke area tersebut. Kecuali terdapat ajakan dari Sambo atau Putri. “Atau dalam keadaan mendesak,” paparnya.

Hakim Morgan mengatakan, Putri yang mengajak Kuat ke lantai tiga itu karena penting. Keterangan Kuat sangat penting untuk menambah keyakinan Sambo. “Meyakinkan kebenaran pelecehan seksual di Magelang,” urainya.

Untuk faktor yang memberatkan bagi Kuat, Morgan menuturkan, Kuat tidak sopan selama persidangan. Lalu, terdakwa berbelit-belit dalam memberikan keterangan dan tidak berterus terang. “Terdakwa mengaku tidak bersalah dan malah memposisikan diri tidak tahu menahu,” terangnya.

Setelah pembacaan majelis hakim membacakan vonis, Kuat Maruf lalu mendekat ke kuasa hukumnya. Wajahnya tidak begitu tampak karena mengenakan masker. Salah satu kuasa hukumnya terlihat menepuk-nepuk punggungnya berupaya untuk menguatkannya.

Setelahnya dia menyalami para kuasa hukumnya. Lantas, dia berjalan keluar ruang sidang. Saat melewati JPU, Kuat tidak bersalaman, melainkan memberikan salam metal ke arah JPU. Saat mengenakan baju tahanan, Kuat menuturkan akan mengajukan banding. “Saya bukan pembunuh dan tidak berencana,” ujarnya lantas dikawal menjauh dari ruang persidangan.

Sidang vonis untuk Ricky Rizal dimulai beberapa jam setelahnya. Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso menuturkan bahwa terdakwa Ricky dinyatakan bersalah melanggar Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP. “Mengadili dan menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana,” ujarnya.

Menjatuhkan hukuman pidana terhadap Ricky dengan penjara selama 13 tahun. Hakim wahyu juga menyebut bahwa tidak ada alasan pembenar dan pemaaf untuk Ricky. “Untuk hal memberatkan, terdakwa juga berbelit-belit dalam memberikan keterangan,” paparnya.

Bahkan, masih berbelit-belit sampai selesai pemeriksaan perkara. Sehingga, sangat menyulitkan untuk jalannya persidangan. “Terdakwa juga mencoreng nama baik institusi Polri,” terangnya dalam vonisnya.

Untuk hal yang meringankan, ada dua poin yang disebutkan majelis hakim. Yakni Ricky masih memiliki tanggungan keluarga. “Lalu, terdakwa juga masih bisa memperbaiki perilakunya di kemudian hari,” jelasnya.

Anggota Majelis Hakim Morgan Simanjuntak mengatakan, Ricky seharusnya bisa menghindarkan kejadian pembunuhan terhadap Brigadir Yosua. Saat mengawasi Yosua yang sedang beraktivitas di taman hingga Sambo datang ke rumah dinas Duren Tiga. “Namun, justru terdakwa ikut mengawal masuk korban,” jelasnya.

Menjadi pelapis kedua bila mana Yosua melakukan perlawanan saat akan dilakukan penembakan. Janji pemberian uang Rp500 juta kepada Ricky juga mempertegas perannya. “Walau pemberian uang itu tidak jadi,” terangnya.

Saat sidang usai, di dalam ruang sidang Ricky menuturkan tidak pernah memiliki niat dan kehendak untuk melakukan pembunuhan terhadap Yosua. “Saya akan mengajukan banding,” terangnya kepada awak media.

Sementara Pakar Hukum Pidana Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto menjelaskan, vonis yang lebih berat terhadap Kuat dibanding Ricky yang merupakan polisi karena intensitas perbuatan Kuat. “Intensitasnya lebih tinggi dari perbuatan Ricky,” ujarnya.

Kuat memantik dari Magelang, yang meminta Putri melapor ke Sambo. Serta, menyebut agar tidak ada duri dalam rumah tangga. “Juga intens bersama Putri dan bertemu Sambo selama tiga menit,” ujarnya.

Menurutnya, vonis hakim terhadap Kuat dan Ricky ini memnuhi rasa keadilan. Namun, tentunya harus lengkap dengan vonis terhadap Richard Eliezer. “Bila vonis terhadap Eliezer masih tinggi, rasa keadilan masyarakat belum sempurna terpenuhi,” urainya.

Sementara Kuasa Hukum Keluarga Yosua Kamaruddin Simanjuntak mengatakan, mewakili keluarga berharap agar Richard mendapatkan keringanan. Kalau bisa dibawah lima tahun penjara. “Kalau bebas mungkin sulit ya,” urainya.

Namun begitu, tanpa ada Richard kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua tidak akan terungkap. “Siapa yang mengungkap kalau tidak ada Richard,” terangnya seusai persidangan.

Di sisi lain, Kejaksaan Agung (Kejagung) merespons positif putusan majelis hakim PN Jaksel. Mereka mengapresiasi putusan yang telah dibacakan oleh majelis hakim untuk Sambo, Putri, Kuat, maupun Ricky. “Kami mengapresiasi vonis majelis hakim,” ungkap Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana kepada awak media di Jakarta, kemarin. Menurut Ketut, putusan itu sekaligus menegaskan bahwa para jaksa penuntut umum yang menangani perkara tersebut bekerja dengan baik.

Buktinya majelis hakim PN Jaksel mempertimbangkan fakta hukum dalam surat tuntutan yang mereka buat. “Penuntut umum telah berhasil meyakinkan majelis hakim,” kata Ketut. Soal tuntutan yang lebih rendah dari putusan, dia menyatakan bahwa hal itu hanya soal sudut pandang dan biasa terjadi dalam proses penegakan hukum. “Tapi, yang jelas teman-teman penuntut umum berhasil meyakinkan hakim dalam hal pembuktian pasal 340 KUHP. Itu yang penting,” tegasnya.

Artinya, lanjut Ketut, penuntut umum berhasil membuktikan bahwa para pihak berperkara telah melanggar pasal primair. Yakni pasal pembunuhan berencana sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan maupun tuntutan. “Terhadap vonis majelis hakim tersebut, Kejaksaan Agung menyampaikan masih akan mempelajari seluruh putusan yang dibacakan pada Senin 13 Februari 2023 dan Selasa 14 Februari 2023 untuk menentukan langkah lebih lanjut,” jelas dia.

Tidak hanya itu, pihaknya juga akan terus mengikuti dan memantau perkembangan pasca putusan dibacakan. Termasuk kemungkinan Sambo, Putri, Kuat, maupun Ricky mengajukan banding. Jika mereka mengambil langkah hukum tersebut, Kejagung memastikan bakal meladeni banding tersebut. “Tugasnya jaksa itu menghadapi proses hukum sampai selesai,” kata mantan wakil kepala kejaksaan tinggi Bali tersebut.

Sementara itu vonis mati Sambo mendapat tanggapan dari Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Usman menyebut meski Sambo telah melakukan kejahatan extrajudicial killing (pembunuhan di luar putusan pengadilan), Sambo tetap berhak untuk hidup.

“Amnesty International tegas menentang hukuman mati untuk segala kasus tanpa terkecuali,” kata Usman melalui keterangan tertulis, kemarin. Menurutnya, prinsip untuk tidak melanggar hak untuk hidup dan hak untuk tidak mengalami perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat harus diterapkan dalam situasi apa pun.

“Terlepas dari siapa yang dituduh melakukan kejahatan, sifat kejahatan ataupun metode eksekusi yang digunakan,” kata Usman. Meski begitu, Usman mengakui bahwa perbuatan Sambo memang tergolong kejahatan yang serius dan sulit ditoleransi. “Terlebih kapasitasnya sebagai kepala dari polisinya polisi,” imbuhnya.

Usman menegaskan, pihaknya bukan berarti anti penghukuman. Bahkan, dia menegaskan Sambo memang perlu dihukum berat atas perbuatannya menghilangkan nyawa Brigadir Yosua secara berencana. “Tetapi harus adil, tanpa harus menjatuhkan hukuman mati. Ini hukuman yang ketinggalan zaman,” ungkap mantan Koordinator KontraS tersebut.

Usman menghormati putusan hakim yang berusaha memenuhi rasa keadilan korban dan juga khalayak umum. Namun, menurutnya, hakim sejatinya bisa lebih adil tanpa harus memvonis mati Sambo. “Negara sebaiknya fokus membenahi keseluruhan sistem penegakan akuntabilitas aparat keamanan yang terlibat kejahatan,” paparnya.

Menurut Usman, hukuman mati bukan jalan pintas untuk membenahi akuntabilitas kepolisian sebagai penegak hukum. Apalagi, kasus pembunuhan Yosua bukanlah kasus satu-satunya yang melibatkan polisi. “Kasus ini seharusnya menjadi pengingat bagi pihak kepolisian untuk segera melakukan pembenahan serius secara internal,” imbuhnya.

Sepanjang 2022, Amnesty mencatat kasus pembunuhan di luar hukum yang berada di luar wilayah Papua/Papua Barat mencapai 30 kasus dengan 31 korban. Sebanyak 27 kasus diantaranya dilakukan anggota kepolisian. “Dari 27 kasus itu, baru empat yang diproses hukum,” terangnya. (idr/syn/tyo/jpg)

 

 

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kuat Ma’ruf dan Ricky Rizal divonis lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Majelis Hakim memvonis Kuat dengan hukuman 15 tahun penjara, lebih tinggi dari Ricky yang divonis 13 tahun penjara. Majelis Hakim menilai, keduanya berbelit-belit dalam memberikan kesaksian selama persidangan.

Untuk Kuat, hakim memberikan alasan pemberat lainnya. Yakni, meyakinkan Ferdy Sambo soal kejadian pelecehan seksual di Magelang dan tidak sopan selama persidangan. Ketidaksopanan itu bahkan tercermin dalam sidang vonis terhadap Kuat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kemarin (14/2)n

Sidang vonis dengan terdakwa Kuat memang dijadwalkan menjadi yang pertama.

Sesaat sebelum dimulai, tampak Kuat menuju ke ruang persidangan dengan dijaga banyak personel kepolisian, setelah melepaskan baju tahanan di depan pintu ruang sidang. Dia mengenakan kemeja putih dengan celana panjang hitam.

Saat memasuki ruang sidang, Kuat mengangkat tangannya ke arah pengunjung sidang dan menunjukkan tangannya yang membentuk tanda finger love. Dia lantas duduk mendengarkan vonis yang dibacakan majelis hakim.

Dalam pembacaan vonis tersebut, Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso menyatakan, Kuat Ma’ruf terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah turut serta dalam melakukan pembunuhan berencana terhadap Yosua. Sesuai dengan dakwaan jaksa penuntut umum (JPU). “Menjatuhkan pidana penjara selama 15 tahun terhadap terdakwa Kuat Ma’ruf,” jelasnya.

Kuat diputus melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP. Putusan 15 tahun penjara itu lebih berat dari tuntutan JPU yang hanya delapan tahun penjara. Dalam pertimbangannya majelis hakim menyebut bahwa ada waktu tiga menit untuk Kuat meyakinkan Ferdy Sambo terkait insiden pelecehan seksual di Magelang. “Pertemuan terdakwa dengan Ferdy Sambo diketahui dari analisa CCTV,” ujar Hakim Anggota Morgan Simanjuntak.

Dari analisa tersebut, Putri mengajak Kuat masuk ke lift menuju ke lantai 3 rumah Saguling sekitar pukul 15.00. Kejadian itu seusai keduanya tes PCR Covid 19 yang dilakukan Putri. “Terdakwa Kuat turun dari lift pukul 15.03,” terangnya.

Diketahui di mana lantai tiga rumah Saguling merupakan, area private untuk keluarga inti Sambo. Ajudan dan asisten rumah tangga dilarang masuk ke area tersebut. Kecuali terdapat ajakan dari Sambo atau Putri. “Atau dalam keadaan mendesak,” paparnya.

Hakim Morgan mengatakan, Putri yang mengajak Kuat ke lantai tiga itu karena penting. Keterangan Kuat sangat penting untuk menambah keyakinan Sambo. “Meyakinkan kebenaran pelecehan seksual di Magelang,” urainya.

Untuk faktor yang memberatkan bagi Kuat, Morgan menuturkan, Kuat tidak sopan selama persidangan. Lalu, terdakwa berbelit-belit dalam memberikan keterangan dan tidak berterus terang. “Terdakwa mengaku tidak bersalah dan malah memposisikan diri tidak tahu menahu,” terangnya.

Setelah pembacaan majelis hakim membacakan vonis, Kuat Maruf lalu mendekat ke kuasa hukumnya. Wajahnya tidak begitu tampak karena mengenakan masker. Salah satu kuasa hukumnya terlihat menepuk-nepuk punggungnya berupaya untuk menguatkannya.

Setelahnya dia menyalami para kuasa hukumnya. Lantas, dia berjalan keluar ruang sidang. Saat melewati JPU, Kuat tidak bersalaman, melainkan memberikan salam metal ke arah JPU. Saat mengenakan baju tahanan, Kuat menuturkan akan mengajukan banding. “Saya bukan pembunuh dan tidak berencana,” ujarnya lantas dikawal menjauh dari ruang persidangan.

Sidang vonis untuk Ricky Rizal dimulai beberapa jam setelahnya. Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso menuturkan bahwa terdakwa Ricky dinyatakan bersalah melanggar Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP. “Mengadili dan menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana,” ujarnya.

Menjatuhkan hukuman pidana terhadap Ricky dengan penjara selama 13 tahun. Hakim wahyu juga menyebut bahwa tidak ada alasan pembenar dan pemaaf untuk Ricky. “Untuk hal memberatkan, terdakwa juga berbelit-belit dalam memberikan keterangan,” paparnya.

Bahkan, masih berbelit-belit sampai selesai pemeriksaan perkara. Sehingga, sangat menyulitkan untuk jalannya persidangan. “Terdakwa juga mencoreng nama baik institusi Polri,” terangnya dalam vonisnya.

Untuk hal yang meringankan, ada dua poin yang disebutkan majelis hakim. Yakni Ricky masih memiliki tanggungan keluarga. “Lalu, terdakwa juga masih bisa memperbaiki perilakunya di kemudian hari,” jelasnya.

Anggota Majelis Hakim Morgan Simanjuntak mengatakan, Ricky seharusnya bisa menghindarkan kejadian pembunuhan terhadap Brigadir Yosua. Saat mengawasi Yosua yang sedang beraktivitas di taman hingga Sambo datang ke rumah dinas Duren Tiga. “Namun, justru terdakwa ikut mengawal masuk korban,” jelasnya.

Menjadi pelapis kedua bila mana Yosua melakukan perlawanan saat akan dilakukan penembakan. Janji pemberian uang Rp500 juta kepada Ricky juga mempertegas perannya. “Walau pemberian uang itu tidak jadi,” terangnya.

Saat sidang usai, di dalam ruang sidang Ricky menuturkan tidak pernah memiliki niat dan kehendak untuk melakukan pembunuhan terhadap Yosua. “Saya akan mengajukan banding,” terangnya kepada awak media.

Sementara Pakar Hukum Pidana Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto menjelaskan, vonis yang lebih berat terhadap Kuat dibanding Ricky yang merupakan polisi karena intensitas perbuatan Kuat. “Intensitasnya lebih tinggi dari perbuatan Ricky,” ujarnya.

Kuat memantik dari Magelang, yang meminta Putri melapor ke Sambo. Serta, menyebut agar tidak ada duri dalam rumah tangga. “Juga intens bersama Putri dan bertemu Sambo selama tiga menit,” ujarnya.

Menurutnya, vonis hakim terhadap Kuat dan Ricky ini memnuhi rasa keadilan. Namun, tentunya harus lengkap dengan vonis terhadap Richard Eliezer. “Bila vonis terhadap Eliezer masih tinggi, rasa keadilan masyarakat belum sempurna terpenuhi,” urainya.

Sementara Kuasa Hukum Keluarga Yosua Kamaruddin Simanjuntak mengatakan, mewakili keluarga berharap agar Richard mendapatkan keringanan. Kalau bisa dibawah lima tahun penjara. “Kalau bebas mungkin sulit ya,” urainya.

Namun begitu, tanpa ada Richard kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua tidak akan terungkap. “Siapa yang mengungkap kalau tidak ada Richard,” terangnya seusai persidangan.

Di sisi lain, Kejaksaan Agung (Kejagung) merespons positif putusan majelis hakim PN Jaksel. Mereka mengapresiasi putusan yang telah dibacakan oleh majelis hakim untuk Sambo, Putri, Kuat, maupun Ricky. “Kami mengapresiasi vonis majelis hakim,” ungkap Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana kepada awak media di Jakarta, kemarin. Menurut Ketut, putusan itu sekaligus menegaskan bahwa para jaksa penuntut umum yang menangani perkara tersebut bekerja dengan baik.

Buktinya majelis hakim PN Jaksel mempertimbangkan fakta hukum dalam surat tuntutan yang mereka buat. “Penuntut umum telah berhasil meyakinkan majelis hakim,” kata Ketut. Soal tuntutan yang lebih rendah dari putusan, dia menyatakan bahwa hal itu hanya soal sudut pandang dan biasa terjadi dalam proses penegakan hukum. “Tapi, yang jelas teman-teman penuntut umum berhasil meyakinkan hakim dalam hal pembuktian pasal 340 KUHP. Itu yang penting,” tegasnya.

Artinya, lanjut Ketut, penuntut umum berhasil membuktikan bahwa para pihak berperkara telah melanggar pasal primair. Yakni pasal pembunuhan berencana sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan maupun tuntutan. “Terhadap vonis majelis hakim tersebut, Kejaksaan Agung menyampaikan masih akan mempelajari seluruh putusan yang dibacakan pada Senin 13 Februari 2023 dan Selasa 14 Februari 2023 untuk menentukan langkah lebih lanjut,” jelas dia.

Tidak hanya itu, pihaknya juga akan terus mengikuti dan memantau perkembangan pasca putusan dibacakan. Termasuk kemungkinan Sambo, Putri, Kuat, maupun Ricky mengajukan banding. Jika mereka mengambil langkah hukum tersebut, Kejagung memastikan bakal meladeni banding tersebut. “Tugasnya jaksa itu menghadapi proses hukum sampai selesai,” kata mantan wakil kepala kejaksaan tinggi Bali tersebut.

Sementara itu vonis mati Sambo mendapat tanggapan dari Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Usman menyebut meski Sambo telah melakukan kejahatan extrajudicial killing (pembunuhan di luar putusan pengadilan), Sambo tetap berhak untuk hidup.

“Amnesty International tegas menentang hukuman mati untuk segala kasus tanpa terkecuali,” kata Usman melalui keterangan tertulis, kemarin. Menurutnya, prinsip untuk tidak melanggar hak untuk hidup dan hak untuk tidak mengalami perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat harus diterapkan dalam situasi apa pun.

“Terlepas dari siapa yang dituduh melakukan kejahatan, sifat kejahatan ataupun metode eksekusi yang digunakan,” kata Usman. Meski begitu, Usman mengakui bahwa perbuatan Sambo memang tergolong kejahatan yang serius dan sulit ditoleransi. “Terlebih kapasitasnya sebagai kepala dari polisinya polisi,” imbuhnya.

Usman menegaskan, pihaknya bukan berarti anti penghukuman. Bahkan, dia menegaskan Sambo memang perlu dihukum berat atas perbuatannya menghilangkan nyawa Brigadir Yosua secara berencana. “Tetapi harus adil, tanpa harus menjatuhkan hukuman mati. Ini hukuman yang ketinggalan zaman,” ungkap mantan Koordinator KontraS tersebut.

Usman menghormati putusan hakim yang berusaha memenuhi rasa keadilan korban dan juga khalayak umum. Namun, menurutnya, hakim sejatinya bisa lebih adil tanpa harus memvonis mati Sambo. “Negara sebaiknya fokus membenahi keseluruhan sistem penegakan akuntabilitas aparat keamanan yang terlibat kejahatan,” paparnya.

Menurut Usman, hukuman mati bukan jalan pintas untuk membenahi akuntabilitas kepolisian sebagai penegak hukum. Apalagi, kasus pembunuhan Yosua bukanlah kasus satu-satunya yang melibatkan polisi. “Kasus ini seharusnya menjadi pengingat bagi pihak kepolisian untuk segera melakukan pembenahan serius secara internal,” imbuhnya.

Sepanjang 2022, Amnesty mencatat kasus pembunuhan di luar hukum yang berada di luar wilayah Papua/Papua Barat mencapai 30 kasus dengan 31 korban. Sebanyak 27 kasus diantaranya dilakukan anggota kepolisian. “Dari 27 kasus itu, baru empat yang diproses hukum,” terangnya. (idr/syn/tyo/jpg)

 

 

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/