Oleh:
Jonson BS Rajagukguk SSos SE MAP
Kader partai Demokrat menjadi berita utama semua media massa beberapa hari belakangan ini. Kesaksian Mindo Rosaline Manullang bukan hal yang mengejutkan kita semua. Sejak awal masyarakat sebenarnya sudah tahu siapa dalang dibalik semua persoalan kasus korupsi pembangunan Wisma Atlet SEA Games Hambalang di Sumatera Selatan. Ini hanya menguatkan dan mengatakan kepada kita bahwa banyak kader partai Demokrat yang terlibat dalam kasus korupsi di Wsima Atlet Palembang tersebut, proyek PLN, dan masih banyak yang belum terdeteksi lagi.
Bahkan kita mendengar istilah ketua besar, bos besar, apel malang yang merupakan kata sandi tingkat tinggi untuk mengatur proyek yang ada di Departemen dan instansi negara lainnya untuk mengeruk uang negara secara kasar. Kita tidak tahu, apa motif penggasakan uang negara dengan cara permainan yang sangat rapi ini. Kita hanya berasumsi, korupsi lahir dari praktik penggunaan kekuasaan yang salah. Korupsi lahir karena kekuasaan mendukung, dan partai Demokrat membutuhkan amunisi menghadapi pemilu 2014 yang semakin dekat.
Hanya saja, apakah dengan alasan menggunakan dana menghadapi Pemilu 2014 Partai Demokrat harus kehilangan ruh dan fungsi utamanya sebagai parpol pemenang pemilu yang dimenangkan oleh suara rakyat secara langsung? Idealnya, sebagai parpol yang dipercaya rakyat dalam pemilu secara langsung, Demokrat perlu memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat demi terbangunnya pondasi politik yang punya basis nilai dan ideologi di negara ini. Ini tidak, Demokrat justru mendorong secara tidak langsung kepada kader parpol untuk mencari amunisi dan gizi politik menghadapi Pemilu 2014. Adanya sokongan kekuasaan membuat banyak kader partai politik dari Demokrat melakukan berbagai manuver yang sangat licin untuk memuluskan proyek kepada para koleganya yang bisa diajakan untuk kompromi. Sekalipun petinggi partai Demokrat selalu menyangkal hal ini.
Keterlibatan kadernya dalam proyek bermasalah merupakan bukti bahwa Partai Demokrat gagal mengemban amanah untuk memberantas korupsi. Masyarakat pun tahu persis, tidak mungkin kadernya senekat itu jika tidak mendapat sokongan kekuasaan, ketiban kadernya sial dan terperangkap hukum partai lepas tangan dengan berpura-pura memproses kadernya melalui sandiwara hukum. Sandiwara yang hanya menjadi tontonan rakyat sebagai akrobat politik yang sangat tidak mendidik, sangat tidak elegan, membuat rakyat hanya menghela nafas melihat politisi di negara kita yang tidak punya cita-cita, nilai, dan ideologi sedikit pun.
Kondisi ini diketahui oleh rakyat, dan rakyat sudah sangat apatis sehingga mereka membenarkan itu sebagai hal yang wajar dalam dunia politik negara kita. Inilah yang sangat berbahaya ke depan. Apa jadinya sebuah negara jika apatisme masyarakat semakin tinggi? Semua kader parpol tentu harus punya visi yang sama, demokrasi adalah persoalan bagaimana menegakkan kedaulatan rakyat dengan cara mensejahterakan rakyat sebagai amanat UUD 1945.
Tontonan politik yang tidak mendidik ini pun menjadi potensi ancaman bagi hibrida demokrasi di negara ini. Konsep politik menjadi kabur karena tidak punya muatan pendidikan politik yang bagus bagi rakyat. Berbicara politik di negara kita di tingkat masyarakat awam berarti berbicara mengenai manipulasi, ketidakjujuran, saling sikut, uang masuk, saling sikut, saling tekel, semuanya bermuara pada makna yang super negatif.
Di mata masyarakat politik selalu memakan korban dan penuh dengan jurus kotor yang penting tujuannya bisa tercapai. Apakah politik memang seperti itu?
Sudah terlalu lelah kita menjelaskan bahwa politik itu tidak kotor, politik bukan arena tipu menipu, dan politik bukan sarana untuk melakukan tindakan manipulasi. Politik dan politisi harus dibedakan dengan jelas.
Politik secara konsep bukan untuk menipu dan koruptor. Memang watak koruptif politisi kita sangat kental, bahkan tidak pernah lepas dari isu korupsi. Masalah inilah yang dilihat masyarakat sehingga persepsi mengenai politik kembali menjadi salah. Politik secara konsep harus berakhir pada penciptaan keadilan dan kesejahteraan yang riil bagi rakyat. Politik bermuara pada bagaimana menciptakan sebuah tatanan yang bagus dan bernilai bagi rakyat. Maka politik adalah tempat para kaum moralis, dan inilah yang dikemukakan oleh Aristoteles ribuan tahun yang lalu.
Bagaimana seharusnya Partai Demokrat menghadapi kadernya yang banyak terlibat dalam korupsi kekuasaan? Mulai dari Mohammad Nazarudin, Angelina Sondakh, Mirwan Amir, dan masih banyak kader lainnya yang belum terdeteksi oleh publik.
Partai Demokrat sebagai parpol pemenang pemilu tentu harus bertindak tegas kepada kader yang melakukan korupsi melalui jualan kekuasaan sebagai partai penguasa. Inilah momentum yang paling tepat bagi Partai Demokrat kalau ingin masih dipilih oleh rakyat. Partai Demokrat tidak usah merasa malu memproses kadernya melalui hukum yang tegak. Menggiring kader yang bermasalah ke hukum tentu bukan mempermalukan diri sendiri.
Justru masyarakat akan semakin simpati kepada parpol pemenang pemilu ini. Masyarakat saat ini sudah muak dan prihatin melihat politisi kita yang kian lama makin tidak bermoral. Bicara mengenai kepentingan rakyat, rakyat terus dieksploitasi, kenyataannya mereka banyak yang terlibat kasus korupsi. Kader parpol banyak yang mengatur proyek di DPR. Proses legislasi anggaran dimanfaatkan untuk meluluskan apa yang menjadi proyek mereka. Mereka melakukan persekongkolan dengan pengusaha, eksekutif dalam meloloskan proyek melalui lobi dan suap. Uang dimuka kembali menjadi lagu lama dalam memuluskan niatan yang sarat dengan perilaku korup ini.
Seperti pepatah mengatakan, sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh juga. Berkat kerja keras pegiat antikorupsi, masyarakat, akademisi, LSM segala bentuk korupsi ini tercium oleh publik dan menjadi masalah nasional. Lucunya lagi, Partai Demokrat justru sibuk mempersiapkan agenda untuk perlindungan diri dengan manajemen penyangkalan yang dilakukan oleh mereka. Kader Partai Demokrat melakukan proteksi dengan berbagai dalil, tidak mendukung dan mendorong proses hukum agar kadernya di sidang melalui pengadilan. Padahal, sebagai partai pemenang pemilu yang dipercaya rakyat, Partai Demokrat harus di depan dalam misi pemberantasan korupsi.
Misi pemberantasan korupsi ini mulai hilang karena banyak kader parpol yang bermasalah. Kita tidak tahu, mengapa partai Demokrat yang dipercaya oleh rakyat justru melibatkan diri dalam berbagai kasus korupsi yang melanda negara ini. Apakah memang parpol tidak tahu kadernya banyak terlibat korupsi? Apakah kader seberani itu melakukan tindakan korup jika tidak didukung oleh kekuasaan? Logika yang paling sederhana adalah, tidak mungkin anggota berani macam-macam kalau tidak didukung oleh pimpinan.
Pimpinan yang tegas akan membuat anggotanya takut melakukan hal yang bertentangan dengan hukum. Semoga partai Demokrat mendorong proses hukum pada kadernya sebagai bagian dari pendidikan hukum dan politik di negeri ini, bahwa semua warga negara sama di depan hukum. Jika tidak, partai Demokrat bisa ditinggalkan oleh rakyat pada pemilu 2014. merebut hati rakyat bukan dengan iklan dan pencitraan, tetapi dengan kinerja dan prestasi yang berhubungan dengan kesejahteraan rakyat.(*)
Penulis adalahDosen STIE -STMIK IBBI Medan dan Direktur Eksekutif ELSANEK