26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Bangkit Pasca Pandemi, UMKM Merica Batak Coba Manfaatkan Digitalisasi

ASAHAN, SUMUTPOS.CO – Dahulu, tanaman Merica Batak atau sering dikenal dengan sebutan Andaliman tumbuh liar begitu saja. Namun sejak tanaman rempah-rempah ini mulai dilirik di pasar dunia, Andaliman menjadi komoditas menarik terutama di Pegunungan Toba, Sumatera Utara.

Rempah-rempah ini merupakan tumbuhan endemik dari kawasan Danau Toba. Dia baru akan tumbuh bagus pada ketinggian 1000 DPL. Andaliman sering digunakan sebagai campuran bumbu masakan berbagai hidangan khas Suku Batak seperti Ikan Mas Arsik, Sambal Andaliman, dan masakan Ayam Andaliman. Kandungan rasa andaliman terbilang unik. Ada pedas, getir, edar, juga ada rasa mentolnya, dengan aroma wangi seperti daun jeruk.

“Saya tertarik membudidayakan Andaliman ini sejak tahun 2017 karena peluangnya besar dan dibutuhkan banyak masyarakat bahkan tak sedikit pasar dunia yang pernah membeli komoditas tanaman ini,” kata petani Andaliman, Marandus Sirait di sela-sela kesibukannya mengikuti pelatihan UMKM bidang kuliner dan pertanian di Desa Sionggang Utara, Kecamatan Lumbanjulu Kabupaten Toba, Kamis (11/5/2023).

Andaliman benar-benar menjadi berkah buat dirinya dan para petani sejenis. Sirait yang membina 100 petani Andaliman mengklaim pernah meraup penghasilan Rp50 juta per bulan. Tapi semuanya terjun bebas begitu pandemi Covid-19 menyerang pada awal tahun 2020.

Padahal mereka sebelumnya adalah petani kopi tapi rela beralih ke andaliman yang dianggap lebih menjanjikan keuntungan. Para petani itu pun marah dan sempat meminta tanggung jawab Sirait. Kini petani Andaliman binaannya tinggal 10 orang.
Minimnya permintaan komoditas tersebut membuat para petani frustasi dan membiarkan lahan Andaliman mereka menjadi rusak. “Kalau tak diambil buahnya, pohon andaliman dapat rusak dan mati,” ujarnya.

Sebelum pandemi kelompok tani binaan Sirait dapat menanam 1000 batang pohon Andaliman. Kini hanya sekitar 250-300 batang sejak menurunnya permintaan sebagai imbas Covid-19.

Sirait tak berpangku tangan menghadapi kondisi tersebut. Dia memutar otak untuk melakukan diversifikasi produk. Sirat tak lagi menjual biji mentah andaliman, melainkan mengolahnya menjadi berbagai produk. Ada berupa andaliman bubuk saset dan botol, andaliman biji kering, bumbu arsik saset, sasagun rasa andaliman, dan kripik andaliman.

Harga jualnya pun tentu ikut meningkat, dari yang semula cuma Rp20 ribu menjadi Rp50 Ribu. Toh begitu, Sirait masih melayani jika ada konsumen yang menginginkan biji Andaliman asli. Di hari biasa dia mematok harga Rp10 – 15 ribu / Kilogram. “Namun mendekati Tahun Baru harganya bisa melonjak di kisaran Rp200 – 250 ribu / kilogram,” kata Sirait yang pernah meraih Kalpataru kategori perintis lingkungan hidup dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2005.

Untuk terus mengembangkan bisnis, meluaskan pasar, dan lebih mudah diterima pasar, Marandus Sirait memanfaatkan layanan digital milik BRI. Salah satunya adalah teknologi QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard), fasilitas pembayaran digital untuk memudahkan transaksi.

Selain itu dia juga mendaftarkan produk-produk Andaliman di katalog usaha binaan BRI atas nama CV Andaliman Mangintir. Untuk modal, sebagai nasabah BRI Unit Lumbanjulu Kabupaten Toba, sejak 10 tahun lalu Marandus Sirait memanfaatkan pinjaman jenis Kredit Usaha Rakyat (KUR).
“Untuk pinjaman berikutnya saya diarahkan untuk mengambil pinjaman berjenis Bisnis,” ujarnya.

Di tengah maraknya pertumbuhan media sosial, Marandus Sirait juga tak mau ketinggalan. Sejak awal 2021
Ia juga membuat memanfaatkan media sosial sebagai sarana memperkenalkan produknya. Tak hanya itu, awal tahun 2021 ia dibantu rekanan mendaftarkan ke akun E-Commerce Shopee untuk memasarkan Andaliman Bubuk Sachet 15 gram.

Berkas kerja kerasnya, Marandus Sirait juga tengah bernegosiasi untuk bermitra dengan perusahaan pengepul Andaliman asal Yogyakarta. Calon mitranya itu mensyaratkan agar produk andaliman olahannya lebih kering dan tidak ada tangkainya.

#Mengidolakan Bob Sadino

Manginder Simbolon (50), anggota Kelompok Tani Andaliman Mangintir, menilai Marandus Sirait sebagai pekerja keras yang selalu berpikir optimistis. Dia antara lain membuat taman konservasi andaliman yang diberi nama “Taman Eden 100”. Modalnya dari hasil penjualan alat-alat musik koleksinya.

“Kalau kalian ke Danau Toba, sebut saja Taman Eden semua orang akan menghubungkannya dengan sosok luar biasa, Marandus Sirait,” ucap Simbolon.

Sirait, kata dia melanjutkan, pandai bergaul dan menjalin kerja sama dengan banyak pihak. “Salah satu hasilnya adalah kucuran CSR dari BRI dalam bentuk angkong dan baju agar produktivitas para petani meningkat. Simbolon juga menyebut Sirait sangat mengidolakan wirausahawan Bob Sadino,” ujar Simbolon. (dat/ila)

ASAHAN, SUMUTPOS.CO – Dahulu, tanaman Merica Batak atau sering dikenal dengan sebutan Andaliman tumbuh liar begitu saja. Namun sejak tanaman rempah-rempah ini mulai dilirik di pasar dunia, Andaliman menjadi komoditas menarik terutama di Pegunungan Toba, Sumatera Utara.

Rempah-rempah ini merupakan tumbuhan endemik dari kawasan Danau Toba. Dia baru akan tumbuh bagus pada ketinggian 1000 DPL. Andaliman sering digunakan sebagai campuran bumbu masakan berbagai hidangan khas Suku Batak seperti Ikan Mas Arsik, Sambal Andaliman, dan masakan Ayam Andaliman. Kandungan rasa andaliman terbilang unik. Ada pedas, getir, edar, juga ada rasa mentolnya, dengan aroma wangi seperti daun jeruk.

“Saya tertarik membudidayakan Andaliman ini sejak tahun 2017 karena peluangnya besar dan dibutuhkan banyak masyarakat bahkan tak sedikit pasar dunia yang pernah membeli komoditas tanaman ini,” kata petani Andaliman, Marandus Sirait di sela-sela kesibukannya mengikuti pelatihan UMKM bidang kuliner dan pertanian di Desa Sionggang Utara, Kecamatan Lumbanjulu Kabupaten Toba, Kamis (11/5/2023).

Andaliman benar-benar menjadi berkah buat dirinya dan para petani sejenis. Sirait yang membina 100 petani Andaliman mengklaim pernah meraup penghasilan Rp50 juta per bulan. Tapi semuanya terjun bebas begitu pandemi Covid-19 menyerang pada awal tahun 2020.

Padahal mereka sebelumnya adalah petani kopi tapi rela beralih ke andaliman yang dianggap lebih menjanjikan keuntungan. Para petani itu pun marah dan sempat meminta tanggung jawab Sirait. Kini petani Andaliman binaannya tinggal 10 orang.
Minimnya permintaan komoditas tersebut membuat para petani frustasi dan membiarkan lahan Andaliman mereka menjadi rusak. “Kalau tak diambil buahnya, pohon andaliman dapat rusak dan mati,” ujarnya.

Sebelum pandemi kelompok tani binaan Sirait dapat menanam 1000 batang pohon Andaliman. Kini hanya sekitar 250-300 batang sejak menurunnya permintaan sebagai imbas Covid-19.

Sirait tak berpangku tangan menghadapi kondisi tersebut. Dia memutar otak untuk melakukan diversifikasi produk. Sirat tak lagi menjual biji mentah andaliman, melainkan mengolahnya menjadi berbagai produk. Ada berupa andaliman bubuk saset dan botol, andaliman biji kering, bumbu arsik saset, sasagun rasa andaliman, dan kripik andaliman.

Harga jualnya pun tentu ikut meningkat, dari yang semula cuma Rp20 ribu menjadi Rp50 Ribu. Toh begitu, Sirait masih melayani jika ada konsumen yang menginginkan biji Andaliman asli. Di hari biasa dia mematok harga Rp10 – 15 ribu / Kilogram. “Namun mendekati Tahun Baru harganya bisa melonjak di kisaran Rp200 – 250 ribu / kilogram,” kata Sirait yang pernah meraih Kalpataru kategori perintis lingkungan hidup dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2005.

Untuk terus mengembangkan bisnis, meluaskan pasar, dan lebih mudah diterima pasar, Marandus Sirait memanfaatkan layanan digital milik BRI. Salah satunya adalah teknologi QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard), fasilitas pembayaran digital untuk memudahkan transaksi.

Selain itu dia juga mendaftarkan produk-produk Andaliman di katalog usaha binaan BRI atas nama CV Andaliman Mangintir. Untuk modal, sebagai nasabah BRI Unit Lumbanjulu Kabupaten Toba, sejak 10 tahun lalu Marandus Sirait memanfaatkan pinjaman jenis Kredit Usaha Rakyat (KUR).
“Untuk pinjaman berikutnya saya diarahkan untuk mengambil pinjaman berjenis Bisnis,” ujarnya.

Di tengah maraknya pertumbuhan media sosial, Marandus Sirait juga tak mau ketinggalan. Sejak awal 2021
Ia juga membuat memanfaatkan media sosial sebagai sarana memperkenalkan produknya. Tak hanya itu, awal tahun 2021 ia dibantu rekanan mendaftarkan ke akun E-Commerce Shopee untuk memasarkan Andaliman Bubuk Sachet 15 gram.

Berkas kerja kerasnya, Marandus Sirait juga tengah bernegosiasi untuk bermitra dengan perusahaan pengepul Andaliman asal Yogyakarta. Calon mitranya itu mensyaratkan agar produk andaliman olahannya lebih kering dan tidak ada tangkainya.

#Mengidolakan Bob Sadino

Manginder Simbolon (50), anggota Kelompok Tani Andaliman Mangintir, menilai Marandus Sirait sebagai pekerja keras yang selalu berpikir optimistis. Dia antara lain membuat taman konservasi andaliman yang diberi nama “Taman Eden 100”. Modalnya dari hasil penjualan alat-alat musik koleksinya.

“Kalau kalian ke Danau Toba, sebut saja Taman Eden semua orang akan menghubungkannya dengan sosok luar biasa, Marandus Sirait,” ucap Simbolon.

Sirait, kata dia melanjutkan, pandai bergaul dan menjalin kerja sama dengan banyak pihak. “Salah satu hasilnya adalah kucuran CSR dari BRI dalam bentuk angkong dan baju agar produktivitas para petani meningkat. Simbolon juga menyebut Sirait sangat mengidolakan wirausahawan Bob Sadino,” ujar Simbolon. (dat/ila)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/